Type Here to Get Search Results !

HAKORDIA: Korupsi sebagai Dosa Publik dan Ancaman Masa Depan Bangsa

Oleh: Duski Samad

Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) seharusnya tidak berhenti pada seremoni, slogan, atau baliho moral. Ia mesti menjadi momen muhasabah nasional: sejauh mana bangsa ini benar-benar serius memerangi korupsi sebagai kejahatan hukum sekaligus dosa sosial. Sebab korupsi bukan hanya soal angka kerugian negara, tetapi menyangkut kerusakan akhlak, pengkhianatan amanah, dan runtuhnya kepercayaan publik.

Korupsi adalah penyakit lama yang terus bermetamorfosis. Ia hidup subur bukan karena lemahnya hukum semata, tetapi karena pembiaran moral. Ketika korupsi dinormalisasi, ditoleransi, bahkan dibungkus dengan bahasa “rezeki jabatan”, maka sesungguhnya yang sedang rusak bukan hanya sistem, tetapi nurani kolektif bangsa.

Korupsi: Lebih dari Sekadar Kejahatan Hukum

Dalam perspektif Islam, korupsi adalah khianat al-amānah. Al-Qur’an dengan tegas melarang memakan harta orang lain dengan cara batil (QS. Al-Baqarah: 188). Rasulullah ﷺ bahkan menggunakan istilah laknat bagi pelaku suap: pemberi, penerima, dan perantaranya. Laknat bukan sekadar kutukan teologis, melainkan penegasan bahwa korupsi mencabut keberkahan hidup, jabatan, dan bangsa.

Di sinilah perbedaan mendasar antara pendekatan hukum positif semata dan pendekatan moral-spiritual. Hukum bisa menghukum, tetapi iman dan akhlaklah yang mencegah. Tanpa fondasi etika, hukum mudah dinegosiasikan; tanpa rasa malu dan takut kepada Allah, jabatan menjadi ladang pembenaran.

Sejarah Mengajarkan: Negara Runtuh dari Dalam

Sejarah peradaban menunjukkan satu pola berulang: negara tidak runtuh karena miskin sumber daya, tetapi karena busuk dari dalam. Ibnu Khaldun telah lama mengingatkan bahwa kezaliman dan penyalahgunaan kekuasaan adalah tanda awal kehancuran negara. Ketika elit sibuk menumpuk harta dan memanipulasi kebijakan, sementara rakyat dibiarkan menanggung beban, maka kehancuran hanya soal waktu.

Dalam konteks Indonesia, korupsi telah menjelma menjadi kejahatan struktural. Ia tidak lagi berdiri sebagai tindakan individual, tetapi terjalin dalam jejaring kekuasaan, politik biaya tinggi, dan lemahnya keteladanan. Ironisnya, semua itu terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama dan menjunjung nilai moral di ruang simbolik, tetapi sering mengabaikannya dalam praktik kekuasaan.

Korupsi dan Luka Sosial

Korupsi bukan kejahatan tanpa korban. Ia melahirkan kemiskinan yang dipelihara, pelayanan publik yang timpang, pendidikan yang mahal, kesehatan yang tidak merata, serta bencana sosial yang berlapis. Ketika anggaran disunat, proyek dimark-up, dan kebijakan dijual, maka yang menderita adalah rakyat kecil—mereka yang tidak pernah duduk di meja kekuasaan.

Lebih jauh, korupsi melukai kepercayaan sosial. Rakyat menjadi sinis terhadap negara, hukum kehilangan wibawa, dan agama terancam kehilangan makna sosialnya jika hanya berhenti pada ritual tanpa keberpihakan etis. Inilah bahaya terbesar korupsi: menggerogoti sendi peradaban secara perlahan tetapi pasti.

Pendidikan Anti Korupsi: Dari Kognisi ke Integritas

Pemberantasan korupsi tidak akan efektif jika hanya mengandalkan penindakan. Pendidikan anti korupsi harus menyentuh akal, hati, dan perilaku. Ia tidak cukup diajarkan sebagai mata pelajaran, tetapi harus dihidupkan sebagai budaya integritas.

Islam menekankan amanah sebagai inti kepemimpinan. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak” (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini bukan hanya perintah moral, tetapi prinsip tata kelola. Pendidikan yang gagal menanamkan amanah akan melahirkan generasi cerdas tetapi culas, terampil tetapi licik.

Karena itu, pendidikan anti korupsi harus dimulai dari keteladanan: di rumah, di sekolah, di kampus, dan terutama di ruang publik. Anak-anak belajar lebih kuat dari apa yang mereka lihat ketimbang apa yang mereka dengar.

Ulama dan Tanggung Jawab Moral Publik

Dalam konteks masyarakat religius, peran ulama sangat strategis. Ulama bukan sekadar penyampai hukum halal-haram, tetapi penjaga nurani publik. Diamnya ulama terhadap korupsi adalah kehilangan fungsi profetik. Mimbar, masjid, dan majelis taklim seharusnya menjadi ruang peneguhan integritas, bukan sekadar pelipur ritual.

Ulama harus berani menyampaikan bahwa korupsi adalah dosa besar, harta haram, dan pengkhianatan terhadap umat. Lebih dari itu, ulama perlu hadir dalam pendidikan karakter, advokasi moral, dan pembelaan terhadap kepentingan publik. Sejarah Islam menunjukkan bahwa ulama besar selalu berdiri di sisi keadilan, meski berhadapan dengan penguasa.

Masa Depan Bangsa di Persimpangan

HAKORDIA mengingatkan kita bahwa masa depan bangsa sedang berada di persimpangan. Jika korupsi terus dibiarkan—dengan berbagai kompromi dan pembenaran—maka bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi, dan kekayaan alam menjadi sumber konflik tanpa kesejahteraan.

Sebaliknya, jika bangsa ini berani menjadikan integritas sebagai nilai utama, maka harapan masih terbuka. Negara yang kuat bukan hanya yang memiliki sumber daya besar, tetapi yang memiliki pemimpin beramanah, sistem adil, dan masyarakat berintegritas.

Penutup

HAKORDIA bukan sekadar hari peringatan, tetapi seruan moral. Korupsi harus dilawan sebagai kejahatan hukum dan dosa publik. Perang melawan korupsi adalah jihad peradaban: dimulai dari diri sendiri, ditegakkan oleh hukum yang adil, diperkuat oleh pendidikan yang berkarakter, dan dipandu oleh ulama yang berani.

Jika amanah ditegakkan, bangsa akan berdiri tegak. Jika amanah dikhianati, runtuhlah segalanya—pelan, tapi pasti.

— Duski Samad

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.