Type Here to Get Search Results !

MENJAGA BATAS IMAN, MERAWAT KERUKUNAN: PBM 8 dan 9 Tahun 2006 sebagai Penjaga Ruang Ibadah dan Ruang Kebangsaan

Oleh: Duski Samad

Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat 

Setiap kali isu Natal Bersama mengemuka, publik seolah dihadapkan pada pilihan biner: toleransi atau intoleransi. Padahal, persoalan yang sesungguhnya bukanlah itu. Persoalannya adalah di mana batas iman harus dijaga, dan di mana ruang kebangsaan harus dirawat. 

Negara Indonesia sejatinya telah menyediakan rambu yang cukup jelas melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006—namun sering kali rambu ini diabaikan atau dibaca secara parsial.

Toleransi Tidak Sama dengan Pencampuran Akidah

Islam sejak awal menegaskan ko-eksistensi yang jujur, bukan asimilasi iman. Al-Qur’an menyatakan:

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

(QS. Al-Kāfirūn: 6)

Ayat ini bukan tembok permusuhan, melainkan garis batas teologis.

Islam memerintahkan berbuat adil, berbuat baik, dan hidup damai dengan pemeluk agama lain, tetapi melarang pencampuran akidah dan ritual. Kaidah fikih menegaskan:

“Al-‘ibādāt mabnāhā ‘ala al-ittibā‘”(Ibadah dibangun atas dasar ketentuan, bukan kompromi).

Karena itu, keterlibatan dalam ritual keagamaan agama lain bukan wilayah toleransi sosial, melainkan wilayah iman. Di sini, ulama dan lembaga fatwa berwenang memberi batas, bukan negara.

Negara Menjamin, Bukan Menyeragamkan

UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menegaskan jaminan kebebasan beragama. Makna jaminan itu adalah perlindungan dan fasilitasi, bukan penyeragaman ekspresi keagamaan. Negara tidak boleh: menilai sah atau tidaknya ibadah, memaksa simbol toleransi yang melukai keyakinan, atau menciptakan ruang ibadah campuran atas nama kebersamaan.

Negara justru wajib menjaga ketertiban, rasa aman, dan keadilan antarumat beragama.

Tugas inilah yang dioperasionalkan melalui PBM 8 dan 9 Tahun 2006.

PBM 8 dan 9 Tahun 2006: Rambu yang Sering Dilupakan

PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat sesungguhnya adalah dokumen kunci dalam mengelola relasi antarumat beragama.

PBM ini menegaskan beberapa prinsip penting:

Kerukunan tidak berarti peleburan ajaran

Kerukunan dimaknai sebagai hubungan sosial yang harmonis, bukan pencampuran ibadah atau simbol teologis.

Peran negara bersifat fasilitatif dan protektif

Negara hadir untuk memastikan setiap umat dapat beribadah sesuai agamanya, tanpa tekanan dan tanpa gangguan.

FKUB sebagai ruang dialog, bukan lembaga fatwa. FKUB bertugas membangun komunikasi dan pencegahan konflik, bukan menetapkan hukum agama. Penghormatan terhadap sensitivitas lokal dan keyakinan umat.

Setiap kebijakan keagamaan harus mempertimbangkan kearifan lokal dan kondisi sosiologis masyarakat setempat.

Dalam konteks ini, PBM 8 dan 9 Tahun 2006 sejatinya menjadi penjaga batas: agar negara tidak melampaui iman, dan agar iman tidak digunakan untuk meniadakan kebersamaan.

Natal Bersama: Membaca dengan Kacamata PBM

Masalah Natal Bersama muncul ketika kegiatan keagamaan internal dibingkai sebagai agenda kebangsaan, tanpa kejelasan batas. Jika Natal Bersama berisi: doa dan liturgi Kristen, simbol-simbol teologis, perayaan sakramental, maka ia adalah ibadah umat Kristiani yang harus dihormati—tetapi tidak wajib dan tidak pantas diikuti umat agama lain.

PBM tidak pernah mewajibkan partisipasi lintas iman dalam ibadah.

Namun, jika yang dilakukan adalah: silaturahmi kebangsaan,

pesan damai tanpa ritual,

penghormatan sosial non-teologis, maka itu berada di ruang sosial yang sah, selama tidak memaksa dan tidak mengaburkan iman.

PBM 8 dan 9 Tahun 2006 justru mengingatkan: kerukunan lahir dari kejelasan peran, bukan dari simbolisme yang dipaksakan.

Indonesia Religius, Bukan Abai Akidah

Fakta sosial Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat kita religius dan sensitif terhadap simbol iman. Banyak konflik keagamaan justru dipicu oleh: ketidakpekaan elite, pemaksaan simbol toleransi, atau tafsir kebijakan yang mengabaikan rasa keadilan umat.

PBM hadir sebagai jalan tengah sosiologis: menjaga harmoni tanpa melukai keyakinan. Sayangnya, ia sering diperlakukan sekadar dokumen administratif, bukan pedoman etik kebangsaan.

Sinergi Negara dan Otoritas Keagamaan

Dalam kerangka ini, sinergi menjadi kunci. Negara melalui Kementerian Agama Republik Indonesia mengelola urusan teknis dan kerukunan. Sementara urusan batas akidah diserahkan kepada otoritas keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia dan ormas-ormas Islam. Ketika masing-masing berjalan di relnya, konflik dapat dicegah.

Penutup: PBM sebagai Etika Hidup Bersama

PBM 8 dan 9 Tahun 2006 bukan alat pembatas kebebasan beragama, melainkan instrumen etika hidup bersama. Ia mengajarkan bahwa:

iman harus dijaga dengan jujur, negara harus hadir secara adil, dan toleransi harus dewasa, bukan kabur.

Kerukunan tidak lahir dari pencampuran iman,

tetapi dari penghormatan yang berlandaskan kejujuran keyakinan.

Kesimpulan

Polemik Natal Bersama sejatinya bukan pertarungan antara toleransi dan intoleransi, melainkan persoalan ketidakjelasan batas antara iman dan ruang kebangsaan. Islam—sebagaimana agama-agama lain—mengajarkan hidup berdampingan secara damai, namun dengan kejujuran akidah dan ketegasan batas ibadah.

Prinsip ini sejalan dengan nash Al-Qur’an dan kaidah fikih yang menegaskan bahwa toleransi tidak identik dengan pencampuran keyakinan.

Konstitusi Indonesia menempatkan negara sebagai penjamin kebebasan beragama, bukan penentu atau penyeragaman ekspresi iman. Peran negara adalah melindungi, memfasilitasi, dan menjaga ketertiban—bukan mendorong simbol toleransi yang justru berpotensi melukai keyakinan sebagian umat.

Dalam konteks itulah PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 hadir sebagai rambu etik kebangsaan. PBM menegaskan bahwa kerukunan dibangun melalui hubungan sosial yang harmonis, pembagian peran yang jelas, serta penghormatan terhadap sensitivitas lokal dan keyakinan umat.

Kerukunan tidak lahir dari peleburan ajaran, melainkan dari kejelasan peran dan kejujuran iman.

Fakta sosial Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat kita religius dan sensitif terhadap simbol-simbol keagamaan. Mengabaikan fakta ini justru membuka ruang konflik. Karena itu, membaca isu Natal Bersama dengan kacamata PBM adalah langkah dewasa untuk menjaga iman tetap utuh dan kebersamaan tetap terawat.

Saran

Bagi Pemerintah dan Kepala Daerah

Menjadikan PBM 8 dan 9 Tahun 2006 sebagai pedoman substantif, bukan sekadar administratif. Setiap agenda keagamaan yang bersinggungan dengan ruang publik perlu dirancang dengan kejelasan batas antara ibadah dan kegiatan sosial-kebangsaan, serta tanpa paksaan simbolik.

Bagi FKUB

Memperkuat peran FKUB sebagai ruang dialog, edukasi, dan pencegahan konflik, bukan sebagai lembaga penentu hukum agama. FKUB perlu aktif menjelaskan batas toleransi yang sehat kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan.

Bagi Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan

Terus memberikan panduan yang menyejukkan, tegas dalam prinsip namun santun dalam bahasa, agar umat tidak terjebak pada dikotomi sempit antara iman dan kebangsaan.

Bagi Pejabat Publik dan Elite Sosial

Mengedepankan kepekaan sosiologis dan keadilan simbolik. Kehadiran dalam kegiatan lintas iman harus ditempatkan secara proporsional, transparan, dan tidak menimbulkan tafsir pencampuran akidah.

Bagi Media dan Masyarakat Sipil

Menghindari narasi yang menyederhanakan persoalan menjadi hitam-putih. Media perlu berperan sebagai penjernih wacana, bukan penguat polarisasi.

Penegasan Akhir

Iman yang dijaga dengan jujur akan melahirkan toleransi yang dewasa.

Kerukunan yang langgeng hanya tumbuh dari batas yang adil dan dihormati bersama. DS. 25122025..

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.