Type Here to Get Search Results !

Membaca Tragedi Sumatera Lewat Lensa Analisis AI

Oleh : Ririe Aiko 

Sejak bangku sekolah dasar, kita sudah diajarkan tentang reboisasi dan pentingnya menanam kembali hutan yang gundul. Tetapi pelajaran itu seakan hanya menjadi hafalan wajib untuk ujian sekolah yang tak mampu mengubah kebijakan yang justru membiarkan deforestasi dinormalisasi. 

Bencana besar di Sumatera yang menelan ratusan jiwa dan memusnahkan permukiman membuat saya tertarik untuk meminjam sudut pandang AI—sebuah sistem tanpa empati, tanpa kepentingan politik, dan tanpa hubungan dengan konsesi atau keuntungan siapa pun. Karena itulah, apa yang ia tampilkan terasa telanjang. Namun justru melalui ketelanjangan data itulah, kita yang awam terhadap dinamika alam dapat melihat lebih jelas bahwa apa yang terjadi saat ini tidak bisa dianggap sebagai bencana alam murni. 

Pertanyaan pertama yang saya ajukan pada AI: mengapa banjir dahsyat di Sumatera bisa terjadi? Dalam hitungan menit, AI menampilkan data historis dan citra satelit yang menunjukkan jejak deforestasi yang terus merambat. Dari tahun 2001–2024, lebih dari 4,4 juta hektare hutan hilang di Sumatra. Di banyak provinsi seperti Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, tutupan hutan yang dulu menjadi penyangga alam kini tinggal sebagian kecil. Tanah kehilangan daya serap, sungai kehilangan vegetasi penahan, dan wilayah hulu kehilangan fungsi utamanya. Ketika curah hujan ekstrem datang, ramuan bahaya itu meledak: air meluap, pemukiman tenggelam, korban berjatuhan. Tidak ada variabel mistis, hanya sebab-akibat yang terlalu jelas.

Dari sana AI menyimpulkan bahwa bencana ini bukan sekadar masalah cuaca, tetapi akumulasi keputusan manusia selama puluhan tahun: pembukaan lahan, izin konsesi, dan pengabaian fungsi ekologis. 

Lalu saya mengajukan pertanyaan kedua pada AI: mengapa pemerintah memberi izin padahal dampaknya jelas? AI tidak memahami politik, tetapi ia melihat adanya pola kepentingan yang berulang, dorongan ekonomi, kepentingan korporasi, tumpang-tindih perizinan, lemahnya pengawasan, hingga adanya faktor korupsi. Setiap hektare hutan yang hilang selalu memiliki dokumen legal. Bagi mesin, hal ini tampak kontradiktif: bagaimana sesuatu yang merusak daya dukung lingkungan bisa terus diberi jalan legal?

Ketika pemerintah menghitung pemasukan, alam membayar kerusakan yang lebih mahal: tanah rusak, keanekaragaman hayati hilang, risiko banjir dan longsor meningkat. Akibatnya, masyarakatlah yang paling menderita, kehilangan rumah, penghidupan, bahkan nyawa.

Dan pertanyaan terakhir yang saya ajukan: mengapa bencana sebesar ini tidak ditetapkan sebagai bencana nasional? Dengan korban lebih dari 750 jiwa, bukankah itu sudah memenuhi kriteria? Penetapan bencana nasional bukanlah keputusan teknis; itu keputusan politis. AI tidak memahami lobi kekuasaan atau perhitungan elektoral, tetapi ia bisa membaca ketidakkonsistenan. Ketika bencana lain yang skalanya setara pernah ditetapkan sebagai bencana nasional, sementara yang ini tidak, mesin hanya menandai adanya faktor non-teknis. AI hanya menyodorkan data dan kesenjangan logika.

Ironinya, bahkan mesin yang tidak punya empati bisa melihat ketidakseimbangan antara skala tragedi dan respons negara. AI tahu lebih dari 750 jiwa bukan sekadar angka statistik. Tetapi di dunia manusia, hal sederhana bisa berubah menjadi perdebatan panjang, mengaburkan fakta bahwa ada keteledoran dalam keputusan. AI sebuah mesin kecerdasan yang hanya menunjukkan satu hal: data memang tidak berbohong, tapi yang sering berbelok justru keputusan manusianya.

Pada akhirnya refleksi ini menunjukkan kenyataan getir: ketika AI bisa membaca bahwa bencana ini lahir dari ulah manusia dan secara logis layak menjadi bencana nasional, manusia yang punya nurani, justru terjebak dalam kesulitan mengakui kesalahan dan mengambil keputusan dengan bijak. Mesin tidak punya empati, tetapi ironinya, manusia yang memilikinya justru membuat keputusan yang tak mencerminkan nurani.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.