Type Here to Get Search Results !

Ketika Pemimpin tak Melindungi, Rakyat Menjadi Yatim Kekuasaan

Oleh: Duski Samad

Di negeri yang saban tahun dihantam bencana, suara rakyat selalu sama: “Di mana pemimpin kami?”

Pertanyaan itu bukan keluhan kosong. Itu jeritan publik yang kehilangan perlindungan pada saat paling genting dalam hidup mereka. Ketika banjir merendam rumah, tanah longsor menelan kampung, dan sungai menerkam permukiman, yang mestinya berdiri paling depan bukanlah kameramen televisi, bukanlah petugas BPBD seorang diri, tapi pemimpin yang mendapat mandat Allah untuk melindungi rakyatnya.

Tetapi sayangnya,—dan ini menyakitkan untuk diakui—bencana di negeri ini sering terasa lebih cepat datang daripada pemimpinnya.

Amanah Kepemimpinan: Bukan Slogan, Tapi Kewajiban Ilahi

Di dalam khazanah keislaman, pemimpin itu bukan cuma “jabatan”, ia adalah perisai rakyat (HR. Bukhari–Muslim).

Tugasnya sederhana tapi berat:

melindungi, menyelamatkan, dan memastikan rakyat hidup aman.

Nabi menegaskan dengan tegas:

> “Tidaklah seorang pemimpin yang menipu rakyatnya kecuali surga haram baginya.” (HR. Ahmad)

Jika seorang kepala daerah, pejabat, atau pemimpin publik tidak peduli, tidak hadir, atau tidak mengurus keselamatan rakyat, maka ia tidak hanya gagal secara politik, tetapi sedang terancam secara akidah dan akhirat.

Kuat sekali pesan agama terhadap mereka yang diberi kuasa tetapi lalai menjalankannya.

Negeri Tanpa Pilot: Bencana Berulang, Kesalahan yang Sama

Kita ini seperti negeri tanpa pilot.

Setiap kali bencana menyapu daerah, pola yang muncul tidak berubah:

tata ruang dilanggar,

sungai disempitkan,

izin-izin melewati akal sehat,

korupsi anggaran mitigasi,

dan pejabat turun belakangan—kadang hanya untuk foto.

Bencana itu bukan hanya “takdir”. Dalam banyak kasus, ia adalah akumulasi pengkhianatan kebijakan, “dosa struktural” yang dilakukan mereka yang memegang pena, stempel, dan anggaran.

Dalam bahasa ulama siyasah klasik seperti Al-Māwardī, pemimpin yang tidak menjaga keselamatan rakyat gugur syarat kepemimpinannya.

Ibn Taimiyyah lebih tegas lagi:

> “Tujuan kekuasaan adalah kemaslahatan rakyat. Jika tidak tercapai, kekuasaan itu batal secara syar’i.”

Artinya, ketika pemimpin tidak mampu melindungi, rakyat sesungguhnya hidup tanpa kepemimpinan meski struktur pemerintahannya tetap berdiri.

Ketika Rakyat Menjadi Yatim Kekuasaan

Di tengah bencana, banyak warga yang menjerit:

“Rumah kami hanyut, kami bertahan di pohon, kami terjebak lumpur—di mana wakil rakyat kami?”

Pertanyaan itu bukan politis. Itu eksistensial.

Karena rakyat yang tidak dilindungi adalah rakyat yang menjadi yatim dari kepemimpinan.

Kehadiran pemimpin saat bencana bukan sekadar formalitas. Ia adalah simbol negara masih hidup.

Ia adalah tanda bahwa rakyat tidak sendirian.

Ketiadaan pemimpin di saat rakyat terancam keselamatannya adalah penghinaan terhadap amanah.

Bahkan Umar bin Khattab pernah berkata:

> “Jika seekor keledai mati karena tersandung di Irak, aku takut Allah menanyakannya kepadaku.”

Bagaimana jika bukan keledai, tapi manusia?

Bagaimana jika bukan tersandung, tapi terseret banjir, tertimbun longsor, dan hanyut tanpa pertolongan?

Bencana Akan Selalu Datang, Tapi Kepemimpinan Tidak Boleh Absen

Sumatera Barat, dan banyak wilayah lain di Indonesia, adalah daerah rawan bencana. Itu fakta geologis yang tidak bisa kita ubah.

Yang bisa kita ubah adalah caranya kita dipimpin.

Pemimpin tidak harus mampu menghentikan hujan.

Tidak mampu menghentikan gempa.

Tapi pemimpin wajib:

mengantisipasi,

memitigasi,

hadir, bertindak cepat,

dan berdiri paling depan.

Jika itu pun gagal dilakukan, maka itu bukan lagi “kecelakaan alam”.

Itu adalah kegagalan moral, kegagalan kebijakan, dan kejahatan kepemimpinan.

Apa yang Kita Butuhkan Sekarang?

Kita butuh pemimpin yang menganggap amanah sebagai takut kepada Allah, bukan sebagai proyek politik.

Kita butuh pemimpin yang menganggap rakyat sebagai titipan, bukan sebagai angka statistik.

Kita butuh pemimpin yang datang duluan, bukan belakangan.

Yang berdiri di depan rakyatnya, bukan di belakang kamera.

Kita butuh kepemimpinan yang melindungi—bukan yang membuat rakyat menjadi yatim dari kekuasaan.

Penutup

Bencana boleh datang, itu bagian dari sunnatullah.

Tetapi kegagalan melindungi rakyat tidak pernah menjadi takdir, itu adalah pilihan buruk manusia.

Dan setiap pilihan buruk pemimpin akan selalu dibayar mahal oleh rakyat kecil:

oleh ibu-ibu yang kehilangan rumah, oleh anak-anak yang kehilangan ayah, oleh keluarga yang kehilangan tempat tinggal.

Sudah saatnya kita berkata tegas:

Pemimpin yang tidak melindungi rakyat adalah pemimpin yang gagal, dan kegagalan itu bukan hanya administratif—tetapi moral dan akhirat.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.