![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Imam Bonjol Padang
Bencana banjir bandang adalah peristiwa yang telah menghancurkan fisik, memporak-porandakan infrastruktur, dan menguji ketahanan sosial. Namun bagi jiwa manusia, bencana juga membuka ruang pengalaman batin yang sangat khas—dalam khazanah tasawuf disebut sebagai dzauq, rasa spiritual yang lahir dari keterhubungan terdalam antara manusia dengan Tuhan dan sesama.
Banjir bandang yang melanda Sumatera pada 27 November 2025 memperlihatkan bagaimana dzauq kemanusiaan itu muncul dan mengalir secara alami di tengah masyarakat. Dzauq bukan sekadar rasa kasihan atau empati sesaat; ia adalah getaran batin yang mendorong seseorang untuk hadir, membantu, dan memikul beban orang lain dengan tanpa pamrih.
1. Dzauq: Rasa yang Menggerakkan Kemanusiaan
Dalam tasawuf, dzauq adalah “rasa yang menghidupkan hati”, sebuah kondisi ketika batin menangkap realitas secara lebih dalam daripada yang mampu dijangkau akal. Saat bencana terjadi, dzauq ini tampak dalam tiga wujud:
a. Dzauq al-Ukhuwah – rasa persaudaraan
Tanpa perintah dan komando, manusia saling menolong. Uluran tangan hadir dari perantau, alumni, jamaah surau, komunitas kecil, bahkan orang-orang yang tidak saling mengenal. Mereka hadir karena merasakan kedekatan jiwa, bukan kedekatan hubungan darah.
b. Dzauq al-Alam – rasa pedih melihat penderitaan
Ribuan relawan menangis bersama para korban. Tangis itu bukan kelemahan, tetapi isyarat bahwa hati masih hidup. Sebagaimana sabda Nabi: “Siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.” Hal inilah yang tampak dalam pelukan para ibu yang kehilangan anak, atau para pemuda yang membersihkan puing-puing rumah tetangganya tanpa diminta.
c. Dzauq al-Tadayyun – rasa penghambaan
Bencana menjadi pengingat akan ketergantungan total manusia kepada Allah. Banyak yang mengatakan, “Ini kehendak Allah, kita hadapi dengan sabar dan tawakal.” Dzauq ini membuat masyarakat kuat, tidak larut dalam keputusasaan, dan mampu bangkit bersama.
2. Ketika Dzauq Masyarakat Mengalahkan Mekanisme Negara
Fenomena yang tampak di lokasi bencana menunjukkan bahwa gerakan kemanusiaan masyarakat jauh lebih cepat daripada mekanisme negara. Ketika ratusan motor dan mobil relawan masuk ke lokasi terdampak, aparat kedinasan masih sibuk menunggu instruksi teknis. Koordinasi lemah, struktur komando tidak tegas, dan aparatur gagap ketika harus bekerja tanpa kehadiran pimpinan.
Di sisi lain, masyarakat bergerak dengan “rasa”—rasa peduli, rasa iba, rasa panggilan jiwa. Mereka tidak menunggu anggaran cair atau status bencana naik level.
Inilah perbedaan fundamental antara dzauq dan proseduralisme: Dzauq menggerakkan hati untuk bertindak sekarang. Proseduralisme sering menunda aksi hingga semua syarat formal terpenuhi. Dalam konteks ini, masyarakat tampil lebih siap, lebih empatik, dan lebih manusiawi dibanding negara.
3. Dzauq dan Pancasila: Kemanusiaan yang Hidup Dalam Jiwa Bangsa
Dzauq kemanusiaan yang muncul dari masyarakat memperlihatkan bahwa sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bukan slogan kosong. Ia hidup dalam spontanitas gotong royong, dalam air mata keprihatinan, dan dalam kesediaan berbagi. Kearifan Minangkabau seperti “barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang” adalah manifestasi lokal dari dzauq kemanusiaan itu. Ia diwariskan turun-temurun sebagai etos moral untuk menghadapi masa-masa sulit.
4. Dzauq Sebagai Fondasi Moral Kepemimpinan
Bencana menguji pemimpin bukan pada kemampuan berpidato, tetapi pada ketajaman rasa: Apakah pemimpin merasakan getirnya korban? Apakah ia bergerak cepat tanpa menunggu sorotan kamera? Apakah ia mampu menyelami kecemasan masyarakat tentang masa depan?
Pemimpin tanpa dzauq akan sibuk dalam pencitraan, berhitung anggaran, dan membuat jarak dari rakyatnya. Sebaliknya pemimpin yang memiliki dzauq akan menjadi yang pertama hadir, terakhir pulang, dan paling tulus bekerja.
5. Esensi Dzauq Kemanusiaan Saat Bencana
Dari lapangan, ada beberapa esensi yang dapat ditarik: (1) Dzauq mengalahkan struktur. Ketika mekanisme formal lamban, dzauq menggerakkan masyarakat untuk mengambil alih tugas kemanusiaan. (2) Dzauq memperkuat sosial-batin masyarakat. Ia membangun kembali jembatan psikologis antara mereka yang selamat dan mereka yang kehilangan.
(3) Dzauq meneguhkan identitas bangsa. Gotong royong adalah manifestasi dzauq kolektif yang menjadikan bangsa ini bertahan di tengah krisis berulang. (4) Dzauq menuntut negara untuk belajar. Negara harus belajar dari rakyatnya bahwa empati tidak memerlukan konferensi pers, dan pertolongan tidak menunggu tanda tangan anggaran.
Dzauq kemanusiaan adalah anugerah spiritual yang memuliakan manusia saat bencana. Ia hadir sebagai cahaya di tengah gelapnya duka, sebagai kekuatan batin yang membuat masyarakat mampu berdiri kembali. Jika negara ingin kuat menghadapi bencana-bencana besar di masa depan, ia harus menumbuhkan dzauq kemanusiaan dalam setiap unsur birokrasi: rasa peduli, rasa cepat tanggap, rasa tanggung jawab moral. Karena pada akhirnya, bukan hanya fisik yang runtuh saat bencana, tetapi juga martabat bangsa—dan dzauq kemanusiaanlah yang menjaga agar martabat itu tetap tegak.
MASIH KUATNYA DZAUQ MASYARAKAT
Refleksi menyaksikan langsung ke lokasi bencana banjir bandang yang melanda masyarakat terlihat nyata masih kuatnya semangat gotong royong sesama warga, pemberian sumbangan dari kelompok masyarakat sipil dan bantuan yang terus mengalir walau disana sini ada dinamikanya. Namun yang jelas dukungan kelompok masyarakat, ormas dan lembaga swadaya masyarakat terus mengalir, realitas kuat dzauq umat.
Realitas di lokasi bencana terasa bahwa pihak yang bertanggung jawab secara kedinasan seringkali gagap dan gamang dalam menghadapi situasi darurat dan penuh keterbatasan. Terasa sekali kordinasi kerja belum maksimal dan cendrung ketika pimpinan atau pejabat atasanya sudah tidak di lokasi kerja tidak maksimal. Seorang korban bencana mengeluhkan bagaimana jadinya kalau bencana tsunami terjadi seperti yang beberapa waktu lalu disimulasikan di Padang?
Bencana yang melanda Sumatera pada akhir November 2025 kembali membuka tabir tentang dua wajah kemanusiaan: satu wajah yang penuh empati dari masyarakat sipil, dan satu lagi wajah negara yang tampak gamang, ragu, bahkan terjebak dalam kalkulasi prosedural. Temuan dilapangan di atas beririsan sebuah berita yang dikutip media Benteng Sumbar (Sabtu, 06 Desember 2025) Rocky Gerung menyindir keras pencitraan pejabat di tengah musibah. Menurutnya, bila pejabat “mau tampil” justru di saat warga berduka, itu bukan empati—melainkan pamer.
Namun di balik kritik tersebut, ada fenomena sosial yang jauh lebih penting untuk dicatat: kuatnya rasa kemanusiaan rakyat Indonesia yang muncul spontan, tulus, dan massif. Tanpa menunggu komando, masyarakat sipil bergerak cepat. Uluran tangan datang dari berbagai penjuru: komunitas kecil, perantau, alumni sekolah dan pesantren, majelis taklim, organisasi kepemudaan, dan individu-individu tanpa nama yang mengirimkan tenaga, logistik, bahkan sekadar pesan penguatan.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Nilai Pancasila yang Masih Hidup
Aksi solidaritas ini membuktikan bahwa sila kedua Pancasila—Kemanusiaan yang Adil dan Beradab—bukan wacana kosong. Ia hidup, nyata, dan mengalir melalui kepedulian yang tidak dibatasi suku, agama, maupun kelompok sosial.
Pada titik inilah kita menyaksikan bahwa modal sosial masyarakat jauh lebih tangguh daripada yang sering diasumsikan. Solidaritas bukan hanya reaksi darurat, tetapi refleksi dari nilai-nilai budaya—kearifan Minangkabau, misalnya, yang menyebut “duduak samo randah, tagak samo tinggi; barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.”
Bencana meruntuhkan rumah dan jembatan, tetapi ia tidak sanggup meruntuhkan rasa persaudaraan yang sudah berurat-akar dalam jiwa masyarakat.
Ketika Negara Ragu: Antara Anggaran dan Keputusan Politik
Berbeda dengan masyarakat yang bergerak spontan, negara justru tampak penuh pertimbangan sebelum menetapkan status bencana nasional. Kritik muncul karena penanganan yang lambat berarti hilangnya jam-jam emas penyelamatan, minimnya koordinasi, dan terhambatnya bantuan logistik.
Tidak salah bila masyarakat membaca hal ini sebagai bentuk keraguan yang tidak seharusnya terjadi. Bila negara berhitung dulu soal konsekuensi anggaran, implikasi politik, atau birokrasi, maka negara telah kalah oleh kecepatan empati masyarakat.
Padahal konstitusi menegaskan bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia adalah kewajiban negara yang tidak boleh ditunda. Ketika negara lamban, rakyat bergerak; ketika birokrasi ragu, kemanusiaan mengambil alih.
Bencana Sebagai Cermin Moral dan Kepemimpinan
Bencana bukan hanya peristiwa alam. Ia adalah ujian moral—bagi individu, masyarakat, maupun negara. Bagi masyarakat, bencana menjadi panggilan jiwa untuk menolong sesama. Bagi pemimpin, bencana adalah momen untuk menunjukkan keberanian moral, bukan kecakapan retorika. Bagi negara, bencana adalah ukuran efektivitas sistem, ketegasan kebijakan, dan integritas dalam melindungi rakyatnya.
Kesigapan masyarakat sipil menunjukkan bahwa bangsa ini masih memiliki energi moral yang luar biasa. Namun energi itu membutuhkan negara yang hadir secara penuh, bukan negara yang sibuk menghindari konsekuensi atau mencari ruang tampil di media.
Harapan: Kolaborasi yang Seharusnya Terjadi
Idealnya, negara dan masyarakat saling melengkapi dalam penanganan bencana. Negara memberikan kebijakan, anggaran, dan infrastruktur; masyarakat menguatkan jejaring solidaritas dan gotong royong. Ketika dua kekuatan ini bersinergi, pemulihan akan berjalan cepat dan menyeluruh. Namun ketika masyarakat bergerak sendiri karena negara ragu, kesenjangan itu menjadi catatan serius bagi tata kelola kebencanaan kita ke depan.
Rasa kemanusiaan rakyat Indonesia kembali terbukti sebagai fondasi paling kokoh bangsa ini. Di tengah duka dan kerentanan, masyarakat menunjukkan siapa sebenarnya penopang negeri ini: bukan elite, bukan pejabat, tetapi rakyat yang bergerak dengan hati. Negara perlu belajar dari rakyatnya—bahwa empati tidak pernah memerlukan konferensi pers, dan keputusan penyelamatan tidak boleh menunggu persetujuan anggaran.
Bencana memperlihatkan luka. Tetapi bencana juga memperlihatkan martabat moral bangsa. Dan kali ini, masyarakat yang menjadi teladan, sementara negara masih harus mengejar ketertinggalannya. Apakah negara siap belajar? Waktu dan bencana berikutnya akan menjawab.
KESIMPULAN
Bencana banjir bandang yang melanda Sumatera pada 27 November 2025 memperlihatkan dua realitas yang kontras: kecepatan empati masyarakat sipil dan keraguan negara dalam mengambil keputusan strategis. Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat bergerak spontan, tulus, dan massif; mereka memperlihatkan kekuatan modal sosial yang meneguhkan kembali nilai sila kedua Pancasila sebagai nilai hidup, bukan slogan.
Di sisi lain, aparat kedinasan terlihat gagap, lamban, dan terjebak dalam proseduralisme. Keterlambatan koordinasi, minimnya efektivitas tindakan darurat, serta ketergantungan pada kehadiran pejabat di lokasi menegaskan bahwa sistem kebencanaan belum bekerja optimal. Kritik publik yang muncul—seperti yang disampaikan Rocky Gerung—menunjukkan adanya krisis kepercayaan ketika pejabat lebih tampak hadir untuk pencitraan dibanding menghadirkan solusi.
Bencana ini sekaligus menjadi cermin moral dan kepemimpinan. Wajah kemanusiaan rakyat tampil lebih mulia daripada wajah negara yang ragu mengambil keputusan. Namun energi moral rakyat ini tidak akan cukup tanpa negara yang hadir penuh, cepat, dan tegas. Karena itu, sinergi antara negara dan masyarakat adalah kebutuhan mendesak untuk memperkuat tata kelola kebencanaan Indonesia.
REKOMENDASI
1. Penguatan Sistem Komando dan Koordinasi Kebencanaan. Negara perlu memastikan bahwa struktur komando di lapangan bekerja secara independen dari kehadiran pejabat. SOP penanganan darurat harus kuat, terlatih, dan mampu dijalankan kapan pun tanpa menunggu instruksi tambahan dari atasan.
2. Penetapan Status Bencana Secara Cepat dan Berbasis Data. Keputusan menaikkan status bencana tidak boleh bergantung pada pertimbangan politik atau anggaran. Mekanisme penetapan harus objektif, berbasis indikator ilmiah, dan memprioritaskan keselamatan warga.
3. Profesionalisasi Aparatur Penanggulangan Bencana. BNPB, BPBD, aparat daerah, dan unsur kedinasan lainnya membutuhkan pelatihan intensif, audit kapasitas, dan peningkatan integritas sehingga tidak gagap menghadapi situasi darurat. Simulasi tsunami di Padang harus menjadi alarm serius untuk evaluasi komprehensif.
4. Penguatan Kolaborasi Negara–Masyarakat. Solidaritas masyarakat terbukti kuat dan cepat. Negara perlu membangun skema kolaborasi formal yang mengintegrasikan relawan, ormas, komunitas lokal, dan lembaga sosial ke dalam sistem penanggulangan bencana. Gotong royong tidak boleh berdiri sendiri—ia harus dipadukan dengan kebijakan dan infrastruktur negara.
5. Transparansi Anggaran dan Akuntabilitas Publik. Untuk menghindari kecurigaan publik, pemerintah perlu membuka alur penggunaan anggaran bencana secara jelas dan real time. Transparansi ini menjadi modal membangun kepercayaan warga.
6. Perbaikan Komunikasi Risiko (Risk Communication). Negara perlu membangun sistem komunikasi risiko yang lebih efektif, menghindari pencitraan, dan memprioritaskan informasi keselamatan. Komunikasi pejabat harus berbasis empati, data, dan solusi, bukan narasi defensif.
7. Penguatan Pendidikan Kebencanaan Berbasis Nilai Kemanusiaan. Bencana adalah ruang pendidikan sosial. Pemerintah daerah, sekolah, kampus, dan pesantren perlu mengintegrasikan pendidikan kebencanaan berbasis nilai Pancasila, gotong royong, dan kearifan lokal seperti
“barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.” DS.06122025.

