![]() |
Di berbagai sudut Sulawesi Utara—Manado, Minahasa, Minut, Tomohon, Bitung, hingga Bolmong Raya—ada suara yang sama bergema dari ruang-ruang guru. Bukan suara tawa santai saat istirahat, bukan pula semangat pagi saat menyambut siswa. Ini adalah suara curhat, suara yang selama ini mereka simpan rapat-rapat, tapi kini mulai pecah karena kegelisahan yang semakin sulit dibendung.
Sebagai guru, mereka terbiasa sabar. Terbiasa mengalah. Terbiasa berkata, “Tidak apa-apa, demi anak-anak.”
Namun, ada saat ketika perasaan perlu disuarakan. Bukan karena melawan, tapi karena ingin dipahami.
Curhat ini datang dari para guru yang merasa kebijakan Calon Kepala Sekolah (Cakep) telah membuat pengabdian mereka seolah tidak memiliki nilai. Mereka merasa dihargai berbeda, meski sama-sama ASN, sama-sama berdiri di depan kelas, dan sama-sama mendidik anak bangsa dengan penuh cinta.
Dan inilah curhat panjang itu—curhat yang semoga sampai ke telinga mereka yang bisa memperbaiki keadaan.
I. Akar Permasalahan: Masa Kerja Honorer yang Tidak Diakui bagi PNS
Sejak lama, guru-guru honorer di Sulawesi Utara bekerja tanpa pamrih. Mereka mengajar dengan gaji minim, kadang hanya ratusan ribu rupiah sebulan. Namun semangat mereka tidak pernah berhenti. Mereka mengajar dengan tekun, menyusun RPP, memeriksa tugas, mengisi raport, bahkan ikut pelatihan dan kegiatan sekolah sebagaimana guru ASN.
Lalu setelah bertahun-tahun, ketika akhirnya nasib membawa mereka diangkat sebagai CPNS, mereka merasa lega. Setidaknya masa depan mereka mulai jelas.
Namun kegembiraan itu berubah menjadi rasa tidak adil ketika mereka mengetahui satu hal:
> Masa kerja sebagai honorer tidak dihitung sebagai syarat mengikuti Cakep.
Dengan kata lain, pengalaman dan pengabdian yang mereka bangun bertahun-tahun seakan “terhapus” hanya karena status administrasi berubah menjadi CPNS.
Dan di sinilah cerita para guru dari Sulawesi Utara dimulai.
II. Kisah Pak Guru Abbas: 13 Tahun Mengajar, Tapi Dihitung Hanya 8 Tahun
Di Manado, ada seorang guru yang kisahnya menjadi perbincangan banyak rekan sejawat. Namanya Pak Guru Abbas.
Beliau mulai menjadi honorer pada tahun 2014. Dari gaji honorer yang hanya cukup untuk hidup sederhana, hingga akhirnya ia diangkat sebagai CPNS pada tahun 2019.
Sebagai guru yang berdedikasi, ia ingin meningkatkan kariernya sebagai pemimpin sekolah. Namun syarat untuk mengikuti Cakep bagi PNS adalah:
minimal pangkat IIIC,
dan membutuhkan 8 tahun masa kerja sejak TMT CPNS, bukan sejak menjadi honorer.
Hitungan jadi seperti ini:
Honorer: 2014–2019 → tidak dihitung
CPNS/TMT: 2019–2027 → ini yang dihitung
Artinya, Pak Abbas baru bisa ikut Cakep pada tahun 2027, padahal ia sudah mengajar sejak 2014.
Total ia telah mengajar 13 tahun, tetapi yang diakui kebijakan hanya 8 tahun.
Ini membuatnya berkata dalam hati:
> “Saya mengajar dari pagi hingga sore sejak 2014, tapi di mata aturan seolah saya baru lahir sebagai guru tahun 2019.”
Dan yang membuat perasaan itu semakin berat adalah ketika melihat rekan PPPK mendapatkan perlakuan berbeda.
III. PPPK Diakui Masa Honorernya, PNS Tidak: Di Sini Rasa Tidak Adil Bermula
Kisah berikutnya datang dari guru PPPK, misalnya Pak Guru Ahmad.
Pak Ahmad mulai mengajar sebagai honorer pada tahun 2017, kemudian diangkat menjadi PPPK pada tahun 2024.
Namun berbeda dengan PNS, masa kerja honorer bagi PPPK diakui untuk mengikuti Cakep. Syarat mengikuti Cakep bagi PPPK dihitung sejak awal ia mengajar sebagai honorer, bukan sejak SK PPPK diterbitkan.
Hitungan Pak Ahmad menjadi:
Honorer: 2017–2024 → dihitung
PPPK: 2024
Total hingga 2025: sudah 8 tahun
Hasilnya?
Tahun 2025, Pak Ahmad sudah dapat panggilan untuk ikut Cakep.
Padahal:
masa kerja sebagai PPPK: baru 1 tahun,
tetapi masa honorer dihitung sebagai pengalaman profesional.
Dan di sinilah letak persoalan yang sangat mengganggu para guru PNS.
Karena bagi mereka, ini bukan soal status ASN. Ini soal rasa keadilan.
Banyak guru PNS di Sulawesi Utara bertanya:
> “Mengapa PPPK dihitung masa honorernya, sementara PNS tidak? Padahal dulu kami sama-sama berjuang sebagai honorer.”
Pertanyaan itu bergulir dari ruang guru ke grup WhatsApp. Dari sudut-sudut sekolah ke pertemuan MGMP.
Dan semakin dibahas, semakin dalam perasaan tidak adil itu terasa.
IV. Suara-suara dari Sulawesi Utara: “Tolong, Hargai Pengabdian Kami Sejak Honorer”
Curhat ini bukan sekadar keluhan barisan sakit hati. Ini jeritan para guru yang selama ini tidak berani bersuara keras.
Berikut beberapa kutipan dari guru-guru di Sulawesi Utara, yang sengaja disamarkan namanya:
1. Guru di Minahasa
> “Kami mengajar anak-anak sejak masa honorer. Kami mengerjakan tugas yang sama, beban yang sama. Tapi kenapa masa itu dianggap tidak ada?”
2. Guru perempuan di Tomohon
> “Saya mulai mengajar tahun 2015, diangkat CPNS 2020. Hitung-hitungan Cakep membuat saya baru bisa ikut tahun 2028. Padahal saya sudah mengabdikan 13 tahun. Rasanya tidak adil sekali.”
3. Guru di Minahasa Utara
> “Kalau PPPK diakui masa honorernya, kenapa PNS tidak? Bukankah kami sama-sama ASN, sama-sama guru? Kenapa aturannya berbeda?”
4. Guru senior di Bolaang Mongondow
> “Kalau masa honorer kami dianggap tidak ada, lalu apa gunanya semua kerja keras kami selama bertahun-tahun sebelum diangkat PNS?”
Kutipan ini bukan dibuat-buat. Inilah suara hati yang sesungguhnya.
V. Dampak Psikologis dan Profesional pada Guru
Banyak guru yang merasa semangat mereka meredup. Bukan karena malas atau enggan berkembang, tetapi karena merasa perjuangan panjang mereka tidak dihargai.
Beberapa dampaknya:
1. Motivasi Menurun
Guru merasa apa yang mereka lakukan selama belasan tahun menjadi tidak berarti di mata pemerintah.
2. Ketimpangan Antar ASN
Guru PNS merasa kebijakan membuat mereka tertinggal jauh dari PPPK dalam hal pengembangan karier seperti:
naik jabatan,
masuk pelatihan kepemimpinan,
ikut Cakep,
mendapat tugas tambahan struktural.
3. Perasaan Dipisahkan Bukan Dibina
Padahal UU ASN menyebutkan:
> “ASN adalah profesi yang harus dikelola secara adil, nondiskriminatif, dan berdasarkan prestasi.”
Namun kenyataannya, aturan Cakep justru membuat profesi yang sama diperlakukan berbeda hanya karena perbedaan status administrasi.
VI. Harapan Besar dari Sulawesi Utara: “Kembalikan Keadilan Administrasi bagi Guru”
Guru-guru di Sulawesi Utara tidak meminta yang muluk-muluk. Mereka hanya meminta pengakuan yang setara.
Harapan mereka:
1. Masa Honorer untuk PNS Diakui
Jika PPPK bisa diakui masa honorer, maka PNS pun semestinya mendapat perlakuan yang sama.
2. Revisi Regulasi Tentang Cakep
Regulasi yang menghitung masa kerja hanya dari TMT CPNS membuat banyak guru kehilangan kesempatan.
3. Pengembangan Karier yang Setara
Baik PNS maupun PPPK mestinya mendapatkan peluang yang sama dalam kompetisi profesional.
4. Penghargaan Terhadap Pengabdian
Karena dulu, sebelum ada status PPPK dan sebelum diangkat PNS, para guru ini sudah mengajar dengan sepenuh hati.
Seorang guru di Minut menutup curhatnya dengan kalimat yang membuat banyak orang terdiam:
> “Kami bukan meminta naik jabatan cepat. Kami hanya ingin dihargai sejak awal kami mengajar. Tolong jangan anggap masa honorer kami sebagai masa tanpa nilai.”
VII. Penutup: Curhat Ini Semoga Didengar, Bukan Diabaikan
Guru adalah pilar pendidikan. Mereka berdiri sebelum bel masuk berbunyi dan pulang setelah matahari hampir tenggelam. Mereka mengajar bukan hanya di kelas, tapi juga di hati anak-anak.
Namun ketika kebijakan membuat sebagian guru merasa tidak dihargai, maka pendidikan secara keseluruhan ikut terluka.
Curhat panjang dari guru-guru Sulawesi Utara ini bukan keluhan kosong. Ini adalah suara yang membawa pesan:
> “Tolong dengarkan kami. Tolong perbaiki kebijakannya. Tolong kembalikan rasa adil di sekolah.”
Karena tanpa guru yang dihargai, pendidikan tidak akan pernah maju.
Dan tanpa keadilan, tidak ada kebijakan yang benar-benar bermakna.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

