![]() |
Oleh: Duski Samad
Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat
Judul di atas diangkat dari pertanyaan ketua FKUB Kota Padang Panjang saat dialog pada RAKORDA FKUB se Sumatera Barat yang diselenggarakan Kesbang Provinsi berlangsung tanggal 5-6 November 2025 di Hotel Truntum Padang.
Persentasi Kaban Kesbang dan PLT Kakanwil Kemenag menyatakan bahwa Provinsi Sumatera Barat berdasarkan rilis Kemenag Pusat bahwa tingkat toleransi masih berada di urut 10 terakhir di seluruh Provinsi di Indonesia.
Mengapa tidak kunjung naik indeks toleransi daerah ini menjadi patut diperhatikan, satu pertanyaan menggelitik, ya biasa di Minang ini disamping ada yang tasirek juga ada yang tasuruak, bagaimana ini ditelusuri kata Mak Datuk pensiunan Kemenag Padang Panjang ini?.
KERUKUNAN 2025
Secara keseluruhan kondusif dan semua Kabupaten Kota tidak ada lagi yang masuk kategori intoleransi. Data Kemenag pusat dan Setara Institut memuat hasil yang menunjukkan trend peningkatan.
Berita gembira yang signifikan berasal dari Kota Padang.
Indeks Toleransi Kota Padang meningkat signifikan pada tahunn 2023 berada di peringkat 91 tahun 2024 naik peringkat 72 dan tahun ini 2025 naik drastis ke peringkat 19 dari 100 kota.
Kenaikan ini mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat, sinergi lintas agama, dan kepemimpinan yang inklusif yang Pemko Padang memberikan perhatian serius pelibatan FKUB Kota termasuk bantuan hibah yang berarti.
PERINGATAN (POTENSI GESEKAN)
Patut diingat bahwa potensi gesekan terus diwaspadai.
Posisi indeks toleransi Provinsi Sumatera Barat
termasuk 10 provinsi dengan indeks kerukunan terendah versi Litbang Kemenag 2024 adalah kerja kolektif semua aktor kerukunan.
Namun, dengan strategi mitigatif yang tepat, Sumbar berpotensi “naik kelas” dalam peta nasional kerukunan.
MITIGASI: STRATEGI UNTUK NAIK KELAS
1. Koordinasi Lintas Umat. Membangun budaya perjumpaan, salaman, dan rangkulan untuk memperkuat keakraban sosial.
2. Edukasi dan Dialog Toleransi.
Melalui sosialisasi, temu pemuda lintas agama, dan keterlibatan ormas keagamaan.
3. Kemitraan Tokoh Adat dan Ormas.
Menguatkan kolaborasi ninik mamak, alim ulama, dan pemuka agama demi harmoni sosial.
4. Proyek Pembauran Budaya Lokal.
Menghidupkan nilai-nilai ABS–SBK dalam kegiatan seni, budaya, dan sosial masyarakat.
Setidaknya semua pihak paham dan bergerak memenuhi standart dimensi kerukunan.
DIMENSI KERUKUNAN (BALITBANG KEMENAG)
1. Toleransi sampai 7 indikator penerimaan dan penghormatan terhadap perbedaan.
2. Kesetaraan. Jaminan hak dan layanan publik tanpa diskriminasi.
3. Kebersamaan — Keterlibatan aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan bersama.
Kota-kota yang konsisten dalam 10 besar nasional menunjukkan kekokohan ekosistem sosial dan kepemimpinan yang promotif:
1. Kepemimpinan Masyarakat (Societal Leadership) — Tokoh agama, adat, dan komunitas.
2. Kepemimpinan Politik (Political Leadership) — Kebijakan publik yang mendukung toleransi.
3. Kepemimpinan Birokrasi (Bureaucratic Leadership) — Layanan publik yang adil dan inklusif.
FAKTOR PENENTU INDEKS TOLERANSI
1. Regulasi Pemerintah – Keberadaan PBM, FKUB, dan dukungan APBD kerukunan.
2. Regulasi Sosial – Norma, adat, dan perilaku masyarakat dalam mengelola perbedaan.
3. Tindakan Pemerintah – Respons cepat, komunikasi publik, dan edukasi damai.
Kesimpulan.
Tulisan di atas menegaskan bahwa kondisi kerukunan dan toleransi di Sumatera Barat tengah berada pada fase transisi menuju kematangan sosial-religius. Meskipun provinsi ini masih berada di jajaran 10 daerah dengan indeks toleransi terendah nasional, terdapat capaian positif yang signifikan—terutama di Kota Padang yang berhasil melonjak dari peringkat 91 (2023) menjadi 19 (2025). Fakta ini menunjukkan bahwa kerja kolaboratif lintas agama, dukungan kebijakan pemerintah daerah, dan peran FKUB mulai membuahkan hasil nyata.
Namun, istilah “nan tasuruak” dalam judul menjadi simbol reflektif atas tantangan tersembunyi: masih adanya potensi gesekan dan sikap eksklusif yang belum sepenuhnya terselesaikan. Oleh karena itu, peningkatan indeks toleransi membutuhkan kerja sistemik dan berkelanjutan melalui tiga dimensi utama — toleransi, kesetaraan, dan kebersamaan — yang harus dijaga bersama oleh masyarakat, pemerintah, dan tokoh agama-adat.
Strategi mitigatif yang ditawarkan berupa:
1. Koordinasi lintas umat untuk membangun budaya perjumpaan dan keakraban sosial.
2. Edukasi dan dialog lintas iman sebagai wahana memperkuat kesadaran publik.
3. Kemitraan tokoh adat dan ormas keagamaan sebagai jembatan nilai-nilai lokal dan nasional.
4. Revitalisasi nilai ABS–SBK dalam kehidupan budaya sehari-hari.
Akhirnya, toleransi nan tasuruak menjadi cermin introspeksi bagi masyarakat Minangkabau agar tidak hanya menampilkan harmoni di permukaan, tetapi juga menumbuhkan sikap keterbukaan yang tulus dalam praksis sosial. Kerukunan sejati akan terwujud bila kepemimpinan sosial, politik, dan birokrasi bersinergi menciptakan ruang hidup yang adil, inklusif, dan berakar pada kearifan lokal. DS.06112025.

