Type Here to Get Search Results !

POLITISI SANTRI: Tantangan di Era Politik Fitnah dan Jebakan Machiavelli

Oleh: Duski Samad

Guru Besar UIN Imam Bonjol 

Judul politisi santri di atas hadir untuk meresponi heboh berita OTT KPK 10 orang PUPR dan pengusaha. Ada dua info yang berseliweran Gubernur dan Wakil Gubernur termasuk yang OTT. Namun infokom Pemda Riau merilis Gubernur dan Wakil Gubernur hanya dimintai keterangan oleh KPK. 

Memang di zaman digital medsos sesat yang bangkrut tabayyun, cek and ricek, dengan mudah mengunakan informasi untuk membunuh karakter dan nama baik orang. 

Bagi mereka yang pernah bertemu dan berinteraksi dengan Abdul Wahid Gubernur Riau ini, sulit menerima berita OTT ini. Vidio mubaligh sejuta umat UAS memperkuat berita Gubernur hanya dimintai keterangan tentu dapat memahami masalah hukum yang memang rusak parah di negeri ini. 

AKIBAT BURUK MENSHARE BERITA BELUM PASTI

Dalam era digital, berita menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Satu pesan di media sosial dapat menjangkau ribuan orang dalam hitungan detik. Namun, di balik kecepatan itu, banyak berita yang tidak diverifikasi, tidak berimbang, bahkan sengaja direkayasa untuk menyesatkan opini publik.

Pemberitaan yang tak benar (hoaks, fitnah, atau disinformasi) bukan sekadar kesalahan informasi — ia adalah kejahatan moral dan sosial yang dapat meruntuhkan kepercayaan, memecah persaudaraan, dan merusak tatanan bangsa.

Dampak Sosial dan Moral

a. Hilangnya Kepercayaan Publik

Berita bohong mengikis kepercayaan masyarakat terhadap media, pemerintah, dan tokoh masyarakat. Akibatnya, kebenaran menjadi relatif dan masyarakat sulit membedakan mana fakta dan mana manipulasi.

“Apabila kepercayaan hilang, maka semua hubungan sosial menjadi hancur.” — Ibn Khaldun

b. Fitnah dan Perpecahan Sosial

Pemberitaan yang salah bisa memecah belah umat, suku, bahkan keluarga. Fitnah adalah senjata yang lebih tajam dari pedang, karena melukai hati dan memecah ukhuwah.

Al-Qur’an mengingatkan:

 “Fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 191)

c. Terjadinya Polarisasi dan Kebencian

Ketika berita palsu menyasar identitas (agama, ras, atau politik), ia menumbuhkan prasangka dan kebencian kolektif. Bangsa kehilangan rasa saling percaya, dan ruang publik berubah menjadi arena saling hujat.

Dampak Politik dan Hukum

a. Rusaknya Proses Demokrasi

Dalam politik, berita palsu sering digunakan untuk mendiskreditkan lawan, membangun opini palsu, dan memanipulasi suara rakyat. Demokrasi yang seharusnya berbasis pada kesadaran publik berubah menjadi panggung kebohongan massal.

b. Munculnya Ketidakstabilan dan Kekerasan

Berita palsu bisa memicu kerusuhan, sebagaimana banyak konflik sosial di Indonesia berawal dari isu hoaks.

Pemerintah melalui UU ITE dan UU Pers menegaskan bahwa penyebar berita bohong dapat dikenai sanksi pidana, karena efeknya dapat menimbulkan kerugian sosial yang besar.

Dampak Psikologis dan Spiritual

a. Kecemasan dan Ketidaktenangan Jiwa.

Masyarakat yang terus terpapar berita palsu hidup dalam ketakutan, marah, dan cemas. Ini adalah bentuk “kerusakan batin” yang diakibatkan oleh hilangnya rasa aman.

Rasulullah bersabda:

“Cukuplah seseorang disebut pendusta jika ia menceritakan semua yang didengarnya.” (HR. Muslim)

b. Hilangnya Adab dan Etika Tabayyun

Penyebaran berita bohong menunjukkan lemahnya tradisi tabayyun (klarifikasi) yang diajarkan Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah kebenarannya agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Tabayyun bukan sekadar etika komunikasi, tapi pondasi akhlak intelektual umat Islam.

Tanggung Jawab Umat dan Tokoh

Para tokoh agama, pendidik, dan politisi santri memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi penjernih informasi, bukan penyambung kabar dusta. Media dakwah, masjid, dan lembaga pendidikan harus mengajarkan literasi digital berbasis akhlak, agar umat tidak mudah terseret arus fitnah dunia maya.

Pemberitaan yang tak benar bukan hanya persoalan teknologi, melainkan ujian akhlak dan nurani.

Ia mengajarkan kita bahwa kebenaran bukan sekadar soal fakta, tetapi juga soal kejujuran dan tanggung jawab sosial.

Bangsa yang hidup dalam berita palsu akan kehilangan arah; sedangkan bangsa yang menegakkan tabayyun dan kebenaran akan tumbuh dalam kedamaian. “Kebenaran mungkin lambat, tapi ia tidak pernah kalah.”

— Duski Samad.

POLITISI SANTRI

Politisi santri adalah figur yang membawa nilai-nilai keislaman ke dalam dunia politik. Mereka diharapkan menjadi penegak etika, keadilan, dan moralitas di tengah dinamika kekuasaan. Namun, realitas politik modern sering kali penuh dengan fitnah, manipulasi, dan strategi licik yang dipengaruhi oleh logika Machiavellian — di mana “tujuan menghalalkan segala cara.” Dalam ruang inilah, integritas politisi santri diuji.

2. Ciri Politik Machiavelli

Pemikiran Niccolò Machiavelli dalam Il Principe menegaskan bahwa penguasa yang efektif harus siap menggunakan tipu daya, kekerasan, dan kebohongan demi mempertahankan kekuasaan. Prinsipnya sederhana: “lebih baik ditakuti daripada dicintai jika tidak bisa memiliki keduanya.”

Dalam praktik politik kontemporer, hal ini tampak pada:

Manipulasi opini publik dan citra;

Pembusukan karakter lawan melalui fitnah;

Politik uang dan kooptasi moral;

Pembelahan sosial melalui identitas agama atau etnis.

3. Tantangan Utama bagi Politisi Santri

a. Fitnah dan Distorsi Citra

Politisi santri sering menjadi sasaran fitnah yang merusak reputasi karena kejujurannya dianggap kelemahan. Mereka diserang dengan narasi palsu atau framing media untuk menurunkan kredibilitas.

b. Jebakan Politik Machiavelli

Dalam politik kekuasaan, kesetiaan dan idealisme diuji oleh pragmatisme. Jebakan Machiavellian membuat politisi santri dihadapkan pada dilema antara moral dan strategi.

c. Degradasi Moral Publik

Budaya politik transaksional membuat kejujuran dan amanah sering dianggap tidak efisien. Ketika rakyat lebih menghargai pencitraan daripada kinerja, politisi santri harus melawan arus besar populisme dangkal.

d. Tekanan Internal dan Eksternal Partai

Struktur partai yang elitis dan kepentingan oligarki sering membatasi ruang gerak santri yang idealis. Mereka dipaksa menyesuaikan diri agar tetap relevan di arena politik yang keras.

4. Strategi Ketahanan dan Etika Santri

a. Memperkuat Basis Ruhani dan Nalar Akhlak

Santri harus berpegang pada prinsip al-amanah wal-istikamah (kepercayaan dan konsistensi), sebagaimana diajarkan Rasulullah.

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian...” (HR. Muslim).

b. Membangun Literasi Politik Akhlaki

Menyinergikan ilmu agama dan strategi politik agar tidak terjebak dalam naïvisme moral, tapi tetap berprinsip.

c. Menguatkan Komunitas dan Jaringan Santri

Soliditas komunitas santri dalam membangun “politik nilai” menjadi benteng dari kooptasi oligarki.

d. Mengedepankan Transparansi dan Keadilan Sosial

Menjadi politisi yang menyeimbangkan antara maslahah ummah dan maqashid syariah dengan realitas demokrasi modern.

5. Kajian Psikologis dan Spiritualitas

Secara psikologis, politisi santri menghadapi stres moral tinggi (moral distress) karena benturan antara nilai pribadi dan tuntutan sistem. Solusinya adalah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah), agar setiap langkah politik menjadi ibadah, bukan sekadar strategi.

6. Penutup

Era politik fitnah menuntut politisi santri menjadi penjaga moral bangsa. Mereka bukan hanya sekadar aktor kekuasaan, tetapi penerus tradisi ulama yang menegakkan nilai al-haq di tengah kegelapan tipu daya.

Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali:

“Rusaknya rakyat karena rusaknya penguasa, dan rusaknya penguasa karena rusaknya ulama.”

Maka, santri yang memasuki politik harus menjadi ulama yang berpolitik, bukan politisi yang mempermainkan agama.ds.041125.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.