Type Here to Get Search Results !

Pahlawan dan Peradaban

oleh ReO Fiksiwan

“Kami sekarang mayat

Beri kami arti

Berjagalah terus di garis batas 

penyataan dan impian 

Kenang, 

kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring di antara......” — Chairil Anwar(1922-1949), Penyair Angkatan 45.

“Civilizations can only be understood by those who are civilized”(Peradaban hanya dapat dipahami oleh mereka yang beradab) — Alfred North Whitehead(1861-1947).

Apa yang bisa dimaknai berulang-ulang dari kata pahla- wan. Kata yang diserap dari bahasa Sansekerta, phalawan(नायकः) yang berarti buah pala;Myristica fragrans). Karena itu, istilah ini disamakan dengan kalimat, “patah tumbuh hilang berganti, tumbang satu tumbuh seribu.”

Dalam tradisi Eropa, pahlawan diasalkan pada sumber Yunani(ήρωας) sebagai heros yang memperlakukan dalam cerita-cerita mitologi seperti Herkules, Titan, Zeus, Ares, Apollo, Dyonisus, Hera, Argonot, Narcius, Penelope hingga pahlawan tragis(tragic hero), misalnya, Odipus, Antigone dan Sysiphus.

Kepahlawanan dalam tradisi mitologi lebih dianggap sebagai ekspresi paling fundamental dalam perspektif antropologi dan memuat tiga tatanan(norma; κανόνας) tragedi: phobos(φόβος) atau menghalau ketakutan, eleos (ελεος).

Atau, bahkan dapat menumbuhkan kebajikan(arethe) dan hubris(ύβρις) yang menghasil petaka(dishonouring behavior) atau kathastrope(“kutukan moral”).

Sampai di sini, jejak etimologi pahlawan memiliki tafsir bipolar secara linguistik. Karena itu, sikap kepahlawanan memiliki standar ganda. 

Ambil misal, orang Bugis dalam tradisi siri ni ma passe, mapuis(Minahasa), amuk(Melayu), metayok (Mongondow) dan lagga (Gorontalo), carok (Madura) hingga pecalang (Bali) secara semiotik menghadirkan “tindak pahlawan” dengan lebih memuja budaya nekrofilia timbang biofilia.

Merujuk pada pakar sejarah tradisi, Eric Hobsbawn(1917-2012), sejarah kepahlawanan Eropa, para bandit(lihat, Bandits, 1969; Primitive Rebels, 1959) dapat dianggap sebagai orang yang menghidupkan gairah hidup sosial yang telah kemaruk dan centang perenang di bawah tradisi feodalisme dan kekuasaan yang despot dan otoriter.

Dengan kata lain, pahlawan merupakan kata benda yang telah bermalihrupa(transformatif) dari tindakan moral dasar ke tindakan moral pragmatis. 

Dan satu-satunya pahlawan yang sulit dienyahkan adalah biogenetik tiap orang. Karena biogenetik, satu-satunya senyawa bio-molekuler yang mustahil dimanipulasi. 

Selainnya, sejarah akan menunjukkan siapa sesungguhnya pahlawan dan pecundang.

Siapakah pahlawan sebenarnya? Pertanyaan ini bukan hanya tentang mengoreksi istilah yang praktis mengalami penurunan makna dan makna. 

Selain krisis epistemik, pemaknaan, pemaknaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan telah mengalami pergeseran sejak hubungan manusia secara visual didekatkan melalui teknologi informasi dan komunikasi yang kuat dan cepat.

Alhasil, makna dan nilai kepahlawanan yang beredar dan berkembang pesat di hampir semua benua, pulau atau planet bumi terus bergerak cepat sesuai perputaran ruang dan waktu.

Dalam sejarah fakta dan fiksi, kepahlawanan dipasangkan dengan tokoh (protagonis) atau tokoh dan berlawanan dengan tokoh lawannya, antagonis. Lalu, siapa yang akan menentukan makna dan nilai dasar kepahlawanan atau karakter? 

Penulis, aktor, aktor hingga pembaca atau penonton menentukan apa dan siapa tokoh, pahlawan, dan protagonis. Jika mereka digambarkan atau dipahlawankan, otomatis ada tokoh antagonis.

Dengan perspektif paradoks tentang kepahlawanan dan karakter, sosiologi fakta dan fiksi mudah terperosok dalam penilaian relatif. Penilaian untuk menentukan siapa pahlawan atau protagonis dan siapa yang bukan antagonis. 

Paradoks antara protagonis dan antagonis melalui disiplin semantik atau semiotik semakin mengalami pergeseran dan perubahan epistemologis. 

Dengan kata lain, pengetahuan kita tentang sejarah dan sosiologi pahlawan atau tokoh terus berubah dalam berbagai perspektif dan persepsi yang dijejalkan oleh dialektika sejarah.

Dalam rekaan wayang, tokoh badut sering dianggap sebagai tokoh antagonis karena berperan dalam memutarbalikkan nilai bahkan martabat atau kepahlawanan tokoh.

Jika pun dianggap mati, terutama dalam perjuangan atau perang dalam semua lakon hikayat dan sejarah, otomatis tumbuh rasa atas gelar kepahlawanan. 

Dengan demikian, lakon dan tokoh merupakan hubungan antara apa yang dalam filsafat hidup disebut kesatria atau protagonis. Predikat oksimoron atas keduanya seperti dikatakan sebelumnya, pun bersinonim sebagai homo negans. 

Tokoh atau pahlawan dalam perspektif sejarah, di sisi lain, seperti yang ditulis oleh sejarawan Inggris Thomas Carlyle(1795-1881) dalam bukunya, On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1884), telah mengusulkan perspektif universal tentang apa nilai-nilai kepahlawanan dalam perjalanan sejarah. 

Salah satu definisi yang disebutnya sebagai “Orang-orang Hebat” – karena para rasul, nabi, wali, termasuk dalam “nilai, fakta, peristiwa” – sebagai sesuatu yang lebih bernilai metafisik, yaitu: ketuhanan.

Karakter, pahlawan, protagonis, dan bahkan antagonis, dari sudut pandang nilai-nilai ketuhanan Carlyle, berada pada tahap yang lebih dari sekadar tindakan melawan musuh manusia. Namun, musuh manusia yang tersembunyi di setiap tindakan kepahlawanan tidak dapat diungkapkan oleh siapa pun. 

Bukankah tindakan kepahlawanan seperti yang dikatakan Muhammad — salah satu ‘pemuja pahlawan’ yang diulas oleh Carlyle — „kita baru saja kembali dari perang kecil,“ kata Muhammad kepada para pengikutnya.

„Lalu, perang besar apa sebenarnya, ya Muhammad,“ ujar salah satu pengikutnya. ‘’Perang melawan nafsu egois(opcit., tak terbatas pada manusia),“ tukas Muhammad.

Akhirnya, para tokoh dan pahlawan menjadi tolok ukur hasrat manusia yang bergejolak, termasuk dalam peperangan hingga ambisi mengejar segala fasilitas menyenangkan yang telah disediakan planet bumi ini.

Dan pun, akan terus dikobarkan dengan ‘biologi iman’ yang disebut Carlyle sebagai ‘ ‘pemujaan pahlawan’(hero-worship) dan ‘pahlawan sebagai dewa‘(Godhero).

Singkatnya, kepahlawanan dan kepahlawanan adalah nilai, makna dan peristiwa yang berada dalam rantai nilai ketuhanan (ketuhanan) dan kemanusiaan. 

Sekali lagi, siapa pahlawannya? 

Silahkan menilai sendiri. Karena setiap orang memilikinya, protagonis atau antagonis, dalam proses kelangsungan hidup manusia.

Terkait hubungan pahlawan dan peradaban, khusus di kalangan umat Islam, Islam muncul pada abad-6 ketika Muhammad Bin Abdullah lahir di kota Mekah pada 570 masehi atau lebih dari setengah milenial sejak Yesus Almasih bin Maryam dilahirkan yang ditetapkan sebagai tahun 1 Masehi(Anno Domino). 

Sebelum itu, tak kurang dari tujuh peradaban besar yang telah mengisi lebih 100 abad evolusi umat manusia sebelum Islam tepatnya. 

Di antaranya, Mesopotamia (4000-3500 BC), Ancient Egypt (3100 BC), Ancient India (3300 BC), Ancient China (2000 BC), Ancient Peru (1200 BC), Ancient Mesoamerico (1200 BC), Ancient Greek (1000-500 BC).

Menurut banyak penulis sejarah peradaban sejak Herodotus pada abad keenan SM dan diteruskan oleh penulis-penulis klasik lainnya seperti Ibnu Katsir pada abad- 8, Ibnu Khaldun(Mukadimah) dan Ibnu Batutah(Rihlah) pada abad-14, pada abad-abad selanjutnya peradaban berlanjut dari agrikultur ke industrialisasi dipenuhi tiga wujud besar, artefak, sosiofak dan mentifak.

Setidaknya, ada tiga penulis sejarah peradaban yang sangat terkenal dan karya mereka telah dianggap paripurna dan magnum opus, Arnold Toynbee(1889-1975), Will Durant(1885-1982) dan Oswald Spengler(1880-1936) dan agak kontemporer boleh ditambahkan Norbert Elias(1897- 1990) dengan karyanya dari bahasa Jerman diinggriskan: The Civilizing Process”(1939). 

Secara sejarah peradaban Islam ditulis oleh Thomas W. Arnold(1864-1930) dalam The Preaching of Islam(1896) dan Histroy of Arab(1937) dari Philip K. Hitti(1886-1978).

Dari sedikit sumber ini bagaimana mengevaluasi sejarah evolusi peradaban Islam yang tumbuh dari lokal Mekah menjadi global akibat muncul dari dua imperium besar, Romawi dan Sassaniyah(Persia), dan muncul kembali ke lokus peradaban lokal yang terbentang dari jazirah Arab hingga ke Eropa(Barat) dan Asia. 

Walhasil, peradaban Islam hingga hari ini salah satu dari sejumlah peradaban yang tak pernah menggeser fondasi dialektikanya: teosentris dan antroposentris.

Untuk itu, saat saya diundang Fakultas Ushuldin IAIN Manado untuk menyampaikan seminar dengan topik Sejarah Peradaban Islam dalam Perspektif Kebudayaan Lokal Sulawesi Utara(27/9/22) di Aula IAIN Manado silam, topik itu memiliki kaitan dengan sejarah kepahlawanan itu sendiri.

Apakah kepahlawanan itu yang dirujuk pada peradaban atau peradabanlah yang memfasilitasi lahirnya para pahlawan. Bagaimana memaknai hubungan keduanya?

Merujuk lagi pada sejawaran Carlyle di atas, kecenderungan heroik(pahlawan) dalam penafsiran sejarah adalah salah satu penafsiran kuno yang dikenal manusia, dan itu berarti perbuatan orang-orang hebat itulah yang membuat peristiwa sejarah di dunia ini. 

Karena itu, merupakan salah satu dari tiga interpretasi sejarah, selain pula arah ketuhanan dan arah manusia. 

Ada kepercayaan di suatu era dalam sejarah bahwa kereta sejarah dikemudikan oleh para pahlawan pejuang yang perkasa, dan orang-orang percaya bahwa ini lebih unggul dari rakyat jelata.

Thomas Carlyle, lagi-lagi patut dirujuk, adalah salah satu pembela tren heroik yang paling terkenal dalam interpretasi sejarah, dan itu perspektif di bukunya yang dirujuk sebelumnya: 

“Dalam keyakinan saya bahwa sejarah umum adalah sejarah yang membawa manusia ke dunia ini. Akan tetapi, itu adalah sejarah orang-orang yang muncul di dunia di antara orang-orang hebat yang memahami para imam dan mereka adalah penyesuaian hal-hal dan mereka adalah model dan pencipta segala sesuatu yang telah dicapai oleh orang-orang di dunia ini dan semua bahwa dunia telah mencapai, dan semua yang Anda lihat dalam keberadaan ini.’’

Inilah yang berlaku untuk Imam Ali as, ketika kehidupan kepahlawanannya dicontohkan dari awal panggilan Islam, dan itu adalah salah satu rukun agama Islam. 

Dengan panah Tuhan Yang Maha Esa, dikatakan: 

„Wahai Rasulullah, dan apakah panah Tuhan Yang Maha Esa. Dia berkata: Ali bin Abi Thalib, aku tidak pernah mengutusnya dalam rombongan kecuali bahwa aku melihat Jibril di sebelah kanannya, Michail di sebelah kirinya, dan seorang raja di depannya, dan awan yang menaungi dia, sampai Allah memberikan kemenangan dan kemenangan. Sementara pertempuran ini tidak terjadi kecuali pada pedangnya (saw), inilah sebabnya dia (semoga doa Allah besertanya dan keluarganya) berkata: “Tidak pernah ada kebenaran agama atau muncul kecuali dengan dua hal: Uang Khadijah dan pedang Ali bin Abi Thalib.’’

Carlyle memberi kita contoh tentang pahlawan dalam sejarah dari sejarah Islam, Imam Ali as., dan dia menggambarkannya dengan mengatakan: 

“Mengenai Ali, kami tidak bisa tidak cintai dan kagumi dia, karena dia adalah anak laki-laki terhormat, bersemangat tinggi, yang hati nuraninya dipenuhi dengan belas kasihan dan kebenaran, dan hatinya diyakinkan dan antusias, dan dia lebih berani daripada Laith.“

Tapi itu adalah keberanian yang bercampur dengan kelembutan, kasih sayang, kasih sayang dan kelembutan yang layak dimiliki para Ksatria Salib di Abad Pertengahan, dan dia dibunuh di Kufah untuk waktu yang lama(dikutip: https://archives.palarch.nl/index.php/jae/ar- ticle/view/7751/7285).

Dapat disimpulkan semudah mungkin bahwa hubungan pahlawan dan peradaban merupakan trilogi yang bisa memperjelas bagaimana tafsir sejarah atas personalitas kepahlawanan dan peradaban sebagai pengejawantahan atas perintah historis ilahi(divine history) pada seluruh umat manusia.

*Diunggah dan diedit ulang dari buku, 66 Risalah Akal Profetis(Serat 2023) untuk merefleksikan Hari Pahlawan 10 November 2025.

#coverlagu: “Pahlawan Merdeka”, ciptaan komponis Cornel Simanjuntak(1921-1946) yang dinyanyikan oleh Masnun, penyanyi Indonesia sejak era 1950-an hingga 1970-an, dan dipublikasikan secara daring pada 26 Oktober 2017, dan merupakan bagian dari album lagu perjuangan yang diedit oleh Pramono Budiman.

Lagu ini dikenal sebagai salah satu lagu bertema patriotik yang menggambarkan pengorbanan para pahlawan bangsa. 

Liriknya menyentuh, dengan metafora seperti “gugur sebagai bunga” dan “pecah sebagai ratna”, menekankan keindahan dan nilai luhur dari perjuangan demi kemerdekaan Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.