![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Kepercayan publik(public trust) bisa mengalahkan senjata, partai dan uang.“ — Tom Lembong(54), Podcast Endgame #243 Gita Wirjawan.
Podcast Endgame#243 yang dipandu Gita Wirjawan(60) — pernah menjabat Menteri Perdagangan Indonesia (2011–2014) dan Kepala BKPM (2009–2012) — dengan menghadirkan Rocky Gerung(66) dan Tom Lembong, tayang 20 November 2025 silam dan telah ditonton ratusan ribu orang, menjadi ruang publik yang memantik refleksi kritis tentang apakah meritokrasi mungkin tumbuh di tengah mediokrasi?
Diskusi itu menyingkap paradoks politik Indonesia: di satu sisi ada harapan bahwa talenta, kapasitas, dan integritas individu dapat menjadi dasar kepemimpinan.
Salah satu fondaai filsafat talenta bisa diacu dari Kenneth Aggerholm(55), profesor filsafat olahraga dan pedagogi di Norwegian School of Sport Sciences (NIH), Oslo, Norwegia dan mantan presiden International Association for the Philosophy of Sport (IAPS), dalam Talent Development, Existential Philosophy and Sport: On Becoming an Elite Athlete(2015), mengulas:
“Bakat(talenta) bukan hanya anugerah alami, tetapi juga cara untuk berkembang, fondasi bagi kekuatan karakter melalui komitmen eksistensial.”
Aggerholm hendak menegaskan bahwa “talenta adalah filsafat hidup: ia bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan fondasi eksistensial yang membentuk manusia menjadi pribadi yang kuat, berkarakter, dan otentik.”
Akan tetapi, di sisi lain, realitas politik yang sarat konsesi dan kompromi justru menafikan talenta dan melahirkan mediokrasi, di mana kekuasaan lebih ditentukan oleh jaringan patronase dan kalkulasi elektoral ketimbang kualitas intelektual dan moral atau etikabilitas menurut istilah RG.
Jelang setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto(74) bersama Kabinet Merah Putih yang populer dengan citra “gemoy,” publik menyaksikan bagaimana dinamika politik pasca Pilpres 2024 masih dibayangi oleh tekanan interes dan konsesi yang menggerogoti.
Kabinet yang terbentuk lebih mencerminkan hasil negosiasi politik daripada seleksi meritokratis atas talenta terbaik bangsa ini.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa meritokrasi di Indonesia masih terjebak dalam mediokrasi — mediocre(biasa, rata-rata) yang berarti “pemerintahan oleh orang-orang biasa/medioker,” atau “rule by the mediocre.” — atau sebuah kondisi di mana rata-rata dan kompromi menjadi norma, sementara keunggulan dan keberanian berpikir kritis sering kali harus tersingkir.
Merujuk pada Kishore Mahbubani(77), akademisi, diplomat senior, pendiri sekaligus dekan pertama Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore (NUS),keturunan Sindhi India, dalam Can Asians Think?(1998; Gramedia 2004) menyoroti dilema Asia yang sering kali gagal membangun paradigma berpikir independen, karena masih terikat pada struktur kuasa dan tradisi yang mengekang kreativitas.
Kritik Mahbubani relevan dengan konteks Indonesia: meritokrasi sulit tumbuh karena sistem politik lebih menghargai loyalitas dan konsesi daripada kapasitas intelektual dan sekaligus kekuatan talenta.
Mahbubani, diplomat senior Singapura dan mantan Duta Besar untuk PBB dan Presiden Dewan Keamanan PBB, menulis: „Jika orang Asia ingin dianggap serius, mereka harus belajar berpikir mandiri, kritis, dan kreatif, bukan sekadar meniru ide-ide Barat.”
Ia menekankan bahwa karakter berpikir Asia harus berani keluar dari bayang-bayang Barat, karena hanya dengan cara itu Asia bisa membangun peradaban yang setara dalam percaturan global.
Selain itu, Ng Aik Kwang(70), profesor psikologi asal Singapura yang aktif di University of Queensland, Australia, dalam Why Asians Are Less Creative than Westerners(2013; Kaifa-Mizan 2016) menambahkan bahwa budaya konformitas dan hierarki di Asia sering kali menekan kreativitas individu.
Ulas Kwang: “Masyarakat yang menganut warisan Konfusianisme menekan perilaku kreatif, sementara masyarakat Barat hidup dalam masyarakat individualis liberal yang mendorong kreativitas.”
Dengan demikian, Ng Aik Kwang menekankan bahwa perbedaan karakter berpikir kreatif antara Asia dan Barat terutama ditentukan oleh budaya.
Tulisnya: “Asia cenderung menekan kreativitas demi harmoni, sementara Barat mendorong kreativitas demi kebebasan dan inovasi.”
Mediokrasi politik Indonesia adalah cerminan dari budaya itu, di mana keberanian berpikir out of the box dianggap ancaman, bukan aset.
Rocky Gerung dalam diskusi Endgame menekankan bahwa meritokrasi hanya mungkin jika ada ruang bagi kebebasan berpikir.
Sementara Tom Lembong menyoroti perlunya sistem yang memberi insentif bagi talenta untuk tampil.
Meski data statistik mengungkap hampir 90% keluarga di Indonesia tidak berpendidikan sarjana, Tom percaya pada fakta bahwa talenta, kepercayaan(trust) dan kreativitas rata-rata sangat baik, khusus bagi keluarga generasi milenial yang berbasis algoritme pengetahuan medsos.
Namun, keduanya sepakat bahwa budaya mediokrasi telah menjadi tabiat politik Indonesia: kompromi yang berulang, distribusi jabatan sebagai konsesi, dan pengabaian terhadap kualitas.
Mediokrasi bukan sekadar kelemahan sistem, melainkan mentalitas yang mengakar, di mana kuasa lebih dihargai daripada talenta.
Walhasil, epistemik meritokrasi menuntut bahwa kekuasaan harus tunduk pada talenta, bukan sebaliknya. Namun dalam praktik politik Indonesia, talenta sering kali harus tunduk pada kuasa.
Krisis ini bukan hanya menimpa dunia politik, melainkan soal budaya: bagaimana masyarakat memandang kepemimpinan, bagaimana elite mendefinisikan keberhasilan, dan bagaimana demokrasi substantif harus dijalankan.
Mediokrasi adalah gejala dari demokrasi yang kehilangan substansi, di mana prosedur elektoral menutupi absennya kualitas substantif.
Dengan kata lain, kekuasaan menampik karakter talenta dalam mengorkestrasi budaya memimpin dan kepemimpinan itu sendiri..
Karena itu, refleksi filosofis ringkas atas meritokrasi di tengah mediokrasi ini mengingatkan kita bahwa bangsa yang besar tidak bisa hanya bergantung pada kompromi politik.
Ia membutuhkan keberanian untuk menempatkan talenta di atas kuasa, integritas di atas konsesi, dan kreativitas di atas konformitas.
Tanpa itu, demokrasi hanya akan melahirkan mediokrasi yang stagnan, sementara meritokrasi tetap menjadi utopia yang jauh dari kenyataan.
Mengacu pada Podcast Endgame#243, Gita Wirjawan, dan dibarengi kritik Mahbubani dan Ng Aik Kwang, sedikit banyak telah menyingkap tabiat mediokrasi yang menjerat perilaku fatalistik politik Indonesia, terutama lebih dari dua dekade rezim pemerintahan paska reformasi.
Pertanyaannya bukan lagi apakah meritokrasi mungkin, melainkan apakah bangsa ini berani melawan, menekan bahkan memberangus serentak watak akut mediokrasi.
Karena pada akhirnya, masa depan politik demografi di Indonesia sangat ditentukan oleh keberanian menempatkan talenta sebagai dasar kekuasaan, bukan sekadar konsesi politik yang gemoy gemerlap di permukaan namun rapuh di dalam.
#coversongs: Play the Game” dirilis oleh Queen pada tahun 1980 sebagai bagian dari album The Game.
Lagu ini ditulis oleh Freddie Mercury(1946-1991) dengan makna sebagai ajakan untuk membuka hati, menerima cinta, dan berani menjalani hubungan meski penuh risiko.

