![]() |
Oleh: Ririe Aiko
Seperti yang kita ketahui bersama, anak-anak generasi muda saat ini sudah jarang sekali kita temukan duduk santai sambil membaca buku. Pemandangan di kafe atau taman kota kini berbeda, bukan lagi mereka yang tenggelam dalam lembaran karya Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Nh. Dini, atau Taufiq Ismail, melainkan anak-anak muda yang sibuk menatap layar ponsel, scrolling TikTok tanpa henti.
Jangankan membaca buku-buku sastra, bahkan karya fiksi populer atau novel ringan pun kian jarang disentuh. Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa dunia digitalisasi telah mengubah cara manusia menikmati bacaan. Teks panjang dianggap membosankan; paragraf berderet membuat mata lelah. Generasi kini lebih menyukai sesuatu yang instan, singkat, cepat, dan mudah dicerna.
Lalu, apa jadinya jika generasi penerus bangsa semakin jauh dari dunia literasi? Jika mereka tak pernah lagi mengenal sastra, dan kecintaan terhadapnya berhenti di generasi kita? Lambat laun, semua akan menjadi sejarah, hanya tinggal nama-nama sastrawan besar yang terukir di lembaran buku pelajaran, tanpa makna yang hidup dalam kesadaran pembacanya. Padahal membaca adalah bagian penting dalam membentuk peradaban yang intelektual, kritis, dan berkarakter. Sastra bukan hanya tentang keindahan bahasa, melainkan tentang jiwa kemanusiaan yang berdenyut di balik setiap kata.
Sastra memantik kepekaan sosial, menumbuhkan empati, dan mengasah nurani manusia untuk peka terhadap penderitaan orang lain. Namun di era digitalisasi, banyak anak muda yang justru semakin apatis, lebih memilih berdiam di rumah menatap layar ketimbang berinteraksi dengan lingkungan sosial. Tayangan-tayangan media sosial yang dangkal dan instan lambat laun membentuk pola pikir yang miskin refleksi. Lantas, di mana tempat bagi anak-anak yang masih ingin mencintai literasi? Bagaimana cara agar mereka kembali jatuh cinta pada sastra?
Berlandaskan keresahan itu, hati saya tergerak untuk terus membimbing anak-anak melalui Gerakan Literasi Bandung, menumbuhkan semangat membaca, menulis, dan mencintai sastra. Salah satu jembatan yang saya temukan untuk menghubungkan generasi digital dengan dunia sastra adalah puisi esai. Mengapa puisi esai? Karena puisi esai memadukan keindahan bahasa dengan kekuatan narasi. Ia tak serumit puisi klasik, namun tetap sarat makna. Struktur yang fleksibel dan naratif membuatnya lebih mudah diterima oleh generasi muda, mereka dapat memahami isi, merasakan emosi, sekaligus belajar menggali makna di balik kisah yang diceritakan.
Puisi esai memberi ruang bagi anak muda untuk menulis dengan bebas, mengekspresikan kegelisahan tanpa merasa terbelenggu oleh kaidah sastra yang kaku. Mereka bisa menjadi dirinya sendiri, menuliskan luka, cinta, keresahan sosial, atau mimpi dengan bahasa mereka sendiri. Di sinilah roh sastra tetap hidup, dalam bentuk yang lebih luwes, lebih dekat dengan jiwa zaman. Menulis puisi esai kini bahkan bisa dilakukan dengan bantuan teknologi. Generasi muda dapat menggunakan AI untuk menulis, mengembangkan ide, atau mencari inspirasi dalam melahirkan karya puisi esai yang bisa dinikmati banyak orang.
Lalu muncul pertanyaan, apakah dengan bantuan AI, menulis kehilangan konteksnya? Menurut saya, tidak juga. Karena AI hanyalah alat bantu. Setiap karya, setiap ide yang lahir, tetap dimulai dari pemikiran, pengalaman, dan perasaan seseorang. AI hanya menjadi rekan kreatif, bukan pengganti jiwa manusia di balik kata-kata itu. Puisi esai tidak membatasi siapa pun. Bahkan Denny JA, sebagai penggagasnya, menegaskan bahwa setiap orang bisa menjadi penulis. Puisi esai membuka ruang bagi siapa pun yang ingin menulis, tanpa rasa khawatir akan standar-standar sastra yang sering membuat mereka ragu untuk mulai berkarya.
Melalui puisi esai, generasi muda merasa diterima. Mereka bisa ikut ambil bagian menjadi bagian dari sejarah dunia sastra Indonesia, tanpa tekanan, tanpa batasan, dan tanpa harus merasa rendah diri di hadapan nama-nama besar. Karena yang terpenting bukan siapa yang menulis, melainkan keberanian untuk menulis.
Menulis, terutama menulis puisi esai, bagi saya adalah bentuk perlawanan terhadap zaman yang serba instan. Ia adalah usaha kecil untuk menjaga agar generasi muda tidak kehilangan akar kemanusiaannya. Kuncinya sederhana: biarkan diri berekspresi tanpa beban.
Tidak perlu takut akan kritik, tidak perlu cemas pada penilaian. Menulis adalah proses menemukan diri sendiri. Dan jika di antara ribuan anak muda itu ada satu saja yang kembali mencintai sastra karena sebuah puisi esai, maka perjuangan ini tidak sia-sia. Selama masih ada yang menulis, selama masih ada yang tersentuh oleh bahasa, sastra tidak akan pernah mati.

