![]() |
oleh Re0 Fiksiwan
" Kecantikan adalah kutukan." -- Dewi Ayu(21), Cantik Itu Luka(2002).
"Dia berkhotbah bahwa dunia yang terlihat adalah tipuan dan bahwa realitas sejati terletak di kerajaan para Imam yang tidak terlihat." -- Jorge Luis Borges (1899-196), A Universal History of Infamy(1935; LKiS,2006).
Dalam lanskap sastra Indonesia modern, Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan(49) berdiri sebagai
monumen naratif yang menyatukan sejarah, kekerasan, dan spiritualitas dalam satu tarikan magis.
Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2002, novel ini telah mencapai cetakan ke-35 per Juni 2024 dan diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa, termasuk Inggris, Jepang, Prancis, Denmark, Korea, Yunani, dalam Tiongkok.
Keberhasilan lintas budaya ini bukan semata karena kekuatan cerita, tetapi karena keberanian novel ini menyentuh ranah yang jarang dijelajahi secara eksplisit dalam sastra Indonesia: Okultisme.
Sastra okultisme dalam novel Cantik
Itu Luka dapat diperkaya dengan pemahaman tentang praktik sinkretisme budaya Jawa, sebagaimana diungkap dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa karya George Quinn.
Kedua karya ini menunjukkan
bagaimana kekuatan spiritual dan
tradisi lokal membentuk narasi dan
identitas masyarakat.
Dalam Cantik Itu Luka(2002) Dewi Ayu bangkit dari kubur setelah 21 tahun meninggal. la bukan hanya
tokoh utama, tetapi juga simbol dari kecantikan yang terkutuk, tubuh yang dijadikan komoditas, dan jiwa yang tak pernah benar-benar mati.
Kota Halimunda, latar fiktif novel ini, menjadi panggung bag peristiwa- peristiwa absurd yang menyingkap lapisan terdalam dari sejarah dan Jepang hingga pasca kemerdekaan.
Dalam kota ini, roh-roh gentayangan, kutukan turun-temurun, dan kekuatan tak kasat mata bukanlah hal asing, melainkan bagian dari realitas sehari-harl.
Okultisme dalam novel ini hadir bukan sebagai praktik sihir yang eksplisit, melainkan sebagai atmosfer yang menyelimuti narasi.
Dewi Ayu bangkit bukan karena ilmu hitam, melainkan karena dunia yang belum selesai dengannya.
la adalah manifestasi dari trauma kolektif, dari tubuh perempuan yang dijadikan medan perang ole sejarah dan kekuasaan.
Dalam konteks ini, okultisme bukan sekadar praktik gaib, tetapi simbol dari kekuatan spiritual yang melawan logika kolonial dan patriarki.
Aliran magic realism yang menjadi kerangka estetika novel ini memiliki akar kuat dalam karya One Hundred Years of Solitude (1967; Gramedia,2003)) oleh Gabriel GarcÃa Márquez (1927-2014), peraih Nobel Sastra 1982, kelahiran Kolumbia.
Seperti Marquez, Eka Kurniawan(49) menolak dikotomi antara nyata dan gaib. la membiarkan roh berbicara, kutukan beranak-pinak, dan sejarah berjalan berdampingan dengan mitos.
Dalam dunia Halimunda, waktu tidak linier, dan kematian bukan akhir. Ini adalah bentuk sastra okultisme yang tidak mengandalkan ritual, tetapi pada kekuatan naratif untuk menghidupkan
yang tak terlihat.
Dalam perspektif global, praktik okultisme tidak hanya terbatas pada dunia spiritual, tetapi juga merembes ke dalam sistem moneter dan perdagangan.
Merujuk First Contact: The Cult of
Progress (2018) oleh David Olusoga(55), dari Profesor Sejarah Publik di University of Manchester,
mengungkap bagaimana kolonialisme dan kapitalisme sering kali mengandung elemen mistik dan ritualistik, menyerupai praktik okultisme dalam bentuk modern.
Dalam sistem perdagangan global, misalnya, kepercayaan terhadap pasar, pertumbuhan, dan inovasi sering kali diperlakukan seperti dogma spiritual, dengan simbol-simbol, mantra ekonomi, danpengorbanan sosial yang menyertainya.
Olusoga juga menyoroti bagaimana seni dan arsitektur digunakan sebagai alat untuk menyebarkan "aura peradaban" yang sebenarnya
menyembunyikan kekerasan dan penaklukan.
Dalam hal ini, praktik budaya okultisme tidak hanya terjadi dalam ruang spiritual, tetapi juga dalam
estetika kekuasaan dan narasi
sejarah.
Dalam konteks ini, tubuh Dewi Avu yang dijual dan dibeli menjadi metafora dari bagaimana perempuan dan tanah jajahan dijadikan objek dalam transaksi global yang tak sepenuhnya rasional.
Kutukan kecantikan yang diwariskan kepada anak-anaknya adalah bentuk lain dari hutang spiritual yang tak pernah lunas.
Sinkretisme budaya Jawa, khususnya, sebagaimana dijelaskan ole George Quinn(82), dosen senior di Australian National University (ANU) di Canberra, Australia, dalam Wali Berandal Tanah Jawa(2021) memperlihatkan bagaimana masyarakat Jawa menggabungkan Islam dengan tradisi lokal seperti
animisme, Hindu-Buddha, dan kepercayaan leluhur.
Praktik ziarah ke makam wali nyentrik, seperti Sunan Kalijaga atau tokoh- tokoh lokal yang tidak selalu sesuai dengan ortodoksi Islam, menunjukkan
bahwa spiritualitas di Jawa bersifat cair dan adaptif.
Quinn menyebut bahwa para wali ini sering dianggap „berandal"(Bandit Saints) karena menolak norma keagamaan yang kaku, namun justru menjadi pusat
spiritualitas rakyat.
Dalam konteks Cantik Itu Luka, praktik sinkretisme ini tercermin dalam cara masyarakat Halimunda menerima kehadiran roh, kutukan, dan kekuatan
gaib sebagai bagian dari kehidupan.
Mereka tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan, antara agama dan budaya, antara logika dan mistik. Ini adalah bentuk sastra okultisme yang berakar dalam kenyataan sinkretik masyarakat Indonesia.
Sastra okultisme, seperti yang ditampilkan dalam Cantik Itu Luka, bukanlah genre yang menjual misteri tetapi kritik terhadap sistem yang menyembunyikan kekuasaan di balik
logika.
la mengungkap bahwa di balik perdagangan, sejarah, dan tubuh, ada kekuatan yang tak bisa dijelaskan, tetapi terus bekerja.
Di lain perspektif, cerpen Borges „The Gods"(dalam The Book of Sand,1975) juga mengandung refleksi okultisme budaya.
Dalam cerita ini, ia menulis:
„Para dewa -- vis a vis penguasa(istilah tambahan) -- yang tinggal dalam bayang-bayang bukanlah mereka yang menciptakan dunia, melainkan mereka yang mempertahankan ilusinya.”
Dapat ditafsir kutipan ini menyiratkan bahwa kekuatan okultisme dalam budaya modern bukanlah pencipta realitas, tetapi penjaga ilusi sosial dan politik.
Dalam konteks ini, okultisme menjadi metafora untuk sistem ideologi yang tak terlihat namun mengatur kehidupan manusia.
Dengan demikian, Dewi Ayu adalah saksi dan korban dari kekuatan itu. la bangkit bukan untuk membalas, tetapi untuk mengingatkan bahwa yang gaib bukanlah ilusi, melainkan bagian dari
kenyataan yang telah lama diabaikan.
#coverlagu: Lagu “Every Moment's Magic” oleh Stay Tune dirilis pada 9 Juli 2024. Lagu ini berdurasi 2 menit 54 detik dan diciptakan oleh Rangga Bayu Setiawan(25).
Lagu ini berpusat pada keindahan momen-momen kecil dalam hidup yang sering terlewatkan namun menyimpan keajaiban tersendiri.
Dengan nuansa musik yang lembut dan atmosferik, lagu ini mengajak pendengar untuk lebih hadir dan menghargai detik-detik sederhana—seperti senyuman, tatapan, atau keheningan—yang membentuk pengalaman emosional dan spiritual manusia.

