![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„A Hero is a man of truth—of what is really true, not of what men please to call true.” — Thomas Carlyle(1795-1881), On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1841).
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden Republik Indonesia ke-2, H.M. Soeharto (1921–2008), kembali membuka kotak pandora sejarah bangsa.
Di satu sisi, ada yang menyambutnya sebagai bentuk pengakuan atas jasa besar dalam pembangunan dan stabilitas nasional selama 30 sejarah Orde Baru(1968-1998).
Di sisi lain, tak sedikit yang menolak, mengingat luka sejarah yang belum sembuh: pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan sipil, dan warisan otoritarianisme yang membekas dalam memori kolektif bangsa.
Kontroversi ini bukan hanya soal politik atau sejarah, melainkan menyentuh inti persoalan filsafat manusia: siapa yang layak disebut pahlawan, dan siapa yang berhak menilainya?
Dalam esainya, Denny JA menulis tentang “kacamata merah muda” yang digunakan sebagian orang untuk melihat Soeharto sebagai pahlawan.
Kacamata ini, menurutnya, adalah metafora dari cara pandang yang selektif, yang hanya menyoroti keberhasilan pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan peran Soeharto dalam menjaga keutuhan NKRI.
Namun, Swary Utami Dewi dalam refleksinya tentang Memori Kolektif, Narasi Kekuasaan(2025), dan Rekaan Pahlawan mengingatkan bahwa pahlawan bukanlah entitas netral.
Ia adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh narasi dominan, oleh siapa yang berkuasa atas ingatan, dan oleh siapa yang menulis sejarah.
Demikian pula,konteks kepahlawanan dari pandangan Bertold Damhäuser, seorang penerjemah dan diplomat Jerman yang pernah diutus pemerintahnya untuk menemui Soeharto, memberikan perspektif yang menarik.
Dalam artikel Suharto, di Mata Penerjemah Jerman yang ditulis oleh Ayu Purwaningsih, Bertold Damhäuser(68) — aktif sebagai akademisi, penerjemah, dan editor sastra di Jerman dan mengajar di Universitas Bonn sejak tahun 1986 serta dikenal sebagai seorang indonesianis yang produktif menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman — menggambarkan Soeharto sebagai sosok yang tenang, penuh perhitungan, dan sangat sadar akan citra dirinya di mata dunia.
Ia melihat Soeharto sebagai pemimpin yang memahami pentingnya stabilitas dan pembangunan dalam konteks Perang Dingin dan geopolitik global. Namun, Damhäuser juga tidak menutup mata terhadap sisi gelap kekuasaan Orde Baru.
Ia mencatat bahwa kekaguman terhadap Soeharto di kalangan diplomat asing sering kali bercampur dengan keprihatinan atas represi politik dan pembatasan kebebasan sipil.
Pandangan ini memperkuat bahwa penilaian terhadap Soeharto tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya, dan bahwa kekaguman terhadap prestasi tidak boleh menghapus kritik terhadap pelanggaran.
Dalam konteks hakikat sejarah pahlawan, dalam On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History dari Thomas Carlyle, terulas pandangan filosofis tentang hakikat kepahlawanan sebagai kekuatan transformatif dalam sejarah.
Dikutip salah satu esensi penting dari Carlyle bahwa: „The history of the world is but the biography of great men“(Sejarah dunia hanyalah biografi orang-orang hebat).
Dapat dipetik bahwa Carlyle melihat pahlawan sebagai pusat gravitasi sejarah—mereka bukan sekadar tokoh, tetapi agen perubahan yang membentuk arah zaman.
Kepahlawanan, menurutnya, bukan hanya soal keberanian atau kekuasaan, tetapi tentang keagungan karakter dan pengaruh spiritual yang mampu menggerakkan umat manusia.
Carlyle membagi tipe pahlawan dalam enam kategori: sebagai dewa, nabi, penyair, pendeta, penulis, dan raja(penguasa).
Ia percaya bahwa dalam setiap zaman, manusia membutuhkan figur yang dapat dijadikan panutan, bukan karena mereka sempurna, tetapi karena mereka mampu mengartikulasikan makna hidup dan memberi arah moral bagi masyarakat.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa pahlawan adalah manusia besar yang membentuk sejarah melalui kekuatan pribadinya.
Namun, dalam dunia modern yang plural dan demokratis, konsep pahlawan tak lagi bisa ditentukan oleh kekuasaan atau karisma semata. Definisi filosofis itu, tentu bisa dan akan terus digeser oleh tuntutan perubahan sejarah zaman.
Demikian hal bisa diacu dari seorang filosof, David Hume(1711-1776) dalam An Enquiry Concerning Human Understanding1748), meski sejatinya tak membahas kepahlawanan secara eksplisit seperti Carlyle.
Akan tetapi, ia memberikan landasan filsafat tentang hakikat dan kodrat manusia yang relevan untuk memahami relativisme pahlawan.
Dikutip ungkapannya: „Be a philosopher; but, amidst all your philosophy, be still a man“(Jadilah seorang filsuf; namun, di tengah semua filsafatmu, jadilah tetap seorang manusia).
Dari pernyataan ringkas ini, Hume mau menegaskan bahwa manusia — meskipun mampu berpikir abstrak dan mendalam — tetap terikat pada kodratnya sebagai makhluk yang terbatas, emosional, dan sosial.
Dalam konteks kepahlawanan, Hume mengingatkan bahwa penilaian terhadap manusia harus mempertimbangkan kompleksitas pengalaman dan keterbatasan moralnya.
Juga, bahwa penilaian moral manusia tidak pernah absolut. la dibentuk oleh pengalaman, konteks, dan
persepsi kolektif.
Pahlawan bukanlah figur ideal yang sempurna, melainkan manusia nyata yang bertindak dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan kontradiksi.
Hume juga menekankan bahwa semua pengetahuan dan penilaian moral berasal dari pengalaman dan persepsi, bukan dari prinsip-prinsip absolut.
Maka, dalam menilai seseorang sebagai pahlawan, kita harus melihat konteks sejarah, dampak sosial, dan persepsi kolektif, bukan hanya tindakan tunggal atau citra yang dibentuk oleh kekuasaan.
Karena itu, ketika kita menilai, khusus Soeharto sebagai Presiden RI kedua, kita tidak hanya menilai tindakannya, tetapi juga bagaimana tindakan itu dipahami, dirasakan, dan diwariskan dalam kesadaran publik.
Hannah Arendt dalam The Human Condition menekankan pentingnya tindakan (action) dalam ruang publik sebagai dasar dari keutamaan manusia.
Hannah Arendt(1906-1975) dalam The Human Condition(1958) mengatakan bahwa filsafat kepahlawanan dari adalah: „Action is the only activity that goes on directly between men without the intermediary of things or matter.”
Dalam kutipan ini, Arendt menekankan bahwa tindakan(action) adalah inti dari eksistensi manusia dalam ruang publik.
Kepahlawanan, menurutnya, bukanlah soal kekuasaan atau dominasi, melainkan kemampuan seseorang untuk bertindak secara otentik dan menciptakan dunia bersama melalui interaksi yang bebas dan bermakna.
Pahlawan adalah mereka yang mampu mengungkapkan diri dalam tindakan yang jujur dan berani, bukan mereka yang sekadar memerintah atau menguasai.
Arendt juga membedakan tiga aktivitas utama manusia: labor, work, dan action. Di antara ketiganya, hanya action yang memungkinkan manusia tampil sebagai individu unik di hadapan publik dan dikenang dalam sejarah.
Dengan demikian, kepahlawanan bukanlah hasil dari jabatan atau prestasi teknis, tetapi dari keberanian untuk bertindak demi kebaikan bersama, meski tanpa jaminan keberhasilan.
Pahlawan, dalam pandangan Arendt, adalah mereka yang mampu bertindak secara otentik dalam ruang publik, menciptakan dunia bersama yang lebih adil dan bermakna.
Namun, ketika tindakan itu dibungkus oleh kekuasaan yang menindas, ketika ruang publik dibungkam dan narasi dimonopoli, maka keotentikan itu patut dipertanyakan.
Semisal,kritik Arendt, apakah pembangunan yang dilakukan dengan menyingkirkan kebebasan bisa disebut keutamaan? Apakah stabilitas yang dibangun di atas ketakutan bisa disebut jasa?
Relativisme pahlawan muncul ketika kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk.
Sejarah adalah arena abu-abu, tempat di mana jasa dan dosa saling bertaut.
Semua tahu dan sejarah bisa dikulik: Soeharto membangun jalan, bendungan, dan swasembada pangan, tetapi juga membiarkan korupsi merajalela dan membungkam oposisi.
Dengan demikian, pertanyaannya bukan hanya apakah ia berjasa, tetapi juga bagaimana kita menimbang jasa itu dalam timbangan moral dan historis yang adil. Apakah kita bisa memisahkan antara pribadi dan sistem? Apakah kita bisa mengakui keberhasilan tanpa mengabaikan penderitaan?
Penganugerahan gelar pahlawan bukanlah sekadar seremoni administratif. Ia adalah pernyataan nilai, penegasan tentang siapa yang kita anggap layak dikenang dan diteladani.
Dalam masyarakat demokratis, penilaian itu seharusnya lahir dari diskursus publik yang terbuka, bukan dari keputusan elite yang tertutup.
Ketika gelar pahlawan diberikan tanpa konsensus moral, maka yang lahir bukan penghormatan, melainkan perpecahan. Kita tidak sedang memperingati jasa, tetapi sedang memperdebatkan makna.
Relativisme pahlawan mengajarkan bahwa setiap generasi berhak menilai ulang siapa yang layak dikenang. Namun, penilaian itu harus jujur, adil, dan reflektif.
Ia tidak boleh lahir dari nostalgia buta atau dendam sejarah, tetapi dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks, dan sejarah adalah cermin retak yang harus dibaca dengan hati-hati.
Dengan kata lain, dalam menilai Soeharto, kita harus berani melihat dengan mata terbuka: mengakui keberhasilannya tanpa menutup mata terhadap luka yang ditinggalkannya.
Sebab pahlawan sejati bukanlah mereka yang sempurna, tetapi mereka yang mampu menginspirasi kebaikan, bahkan setelah itu maupun seterusnya sejarah menguji mereka dengan segala paradoksnya.
#coverlagu: Lagu “Pahlawanku” oleh Sanisah Huri(73) dirilis pada tahun 1970-an dan menjadi salah satu lagu patriotik populer di Malaysia.
Lagu ini sering diputar dalam peringatan Hari Pahlawan dan acara kenegaraan karena liriknya yang menyentuh dan penuh penghormatan terhadap jasa para pejuang bangsa.
Sanisah Huri dikenal sebagai penyanyi era 1960–1980-an yang banyak membawakan lagu-lagu bertema cinta, tradisi, dan nasionalisme. Kini, ia masih aktif bernyanyi dan tampil di konser, terutama di Malaysia dan Singapura.
“Pahlawanku” menampilkan vokal khasnya yang lembut namun penuh semangat, dengan aransemen yang menggugah rasa hormat dan haru terhadap pengorbanan para pahlawan.

