Type Here to Get Search Results !

Membaca Anugrah Fiksi Szalay dan Deem

oleh ReO Fiksiwan

„Tawaran transisi adalah untuk menjelajahi tulisan-tulisan, gerakan, perkembangan-perkembangan

suara bermakna di dalam pemikiran kritis, karena suara-suara ini menentukan dan ditengahi oleh tindakan-tindakan penafsiran sastra dan budaya. 

Rangkaian-rangkaian ini juga berupaya untuk menguji kemungkinan-kemungkinan bagi pembacaan, analisis dan janji-janji kritis yang lain di mana gagasan mengenai transisi; seperti transisi yang diaktifkan/dimulai dengan resepsi dari oeuvre sang pemikir dan warisan yang mengikutinya- membuatnya mungkin.“ — Julian Wolfrey(65), Editor dalam Julia Kristeva and Literary Theory(2005;2013), Megan Becker-Leckrone. 

Kemenangan Flesh karya David Szalay, penulis Inggris-Hungaria kelahiran Kanada tahun 1974, dalam Booker Prize 2025 dan Jose Kecil dalam Dirimu karya Kaisar Deem, lahir di Makassar, 30

Oktober 1991, dalam Dermakata Award 2025 menghadirkan dua lanskap sastra yang berbeda, namun sama-sama menegaskan vitalitas fiksi sebagai ruang perenungan manusia. 

Szalay, penulis Inggris-Hungaria kelahiran Kanada ini , menulis dengan prosa ringkas yang menyingkap perjalanan seorang pria bernama István dari perumahan sederhana di Hongaria menuju rumah mewah kaum super kaya di London. 

Novel ini bukan sekadar kisah mobilitas sosial, melainkan sebuah meditasi tentang kelas, kekuasaan, migrasi, maskulinitas, dan keintiman. 

Dengan rentang waktu puluhan tahun, Flesh menampilkan bagaimana pengalaman formatif membentuk manusia, dan bagaimana tubuh serta kehidupan sosialnya terus digerogoti oleh peristiwa tak terduga.

Sebaliknya, Kaisar Deem, penulis muda berusia 34 tahun, menegaskan suara generasi baru Indonesia melalui Jose Kecil dalam Dirimu. 

Frase yang dikutip dari karya Deem —“Aku merindukan kebebasan tapi ragaku terkurung di sini, maka aku beralih ke fiksi. Mawar tak bisa tumbuh di padang tandus, tapi puisi tentangnya bisa mekar di mana-mana”—menjadi semacam manifesto tentang daya fiksi sebagai ruang kebebasan sekaligus pembebasan. 

Jika Szalay menyoroti tubuh dan kelas sosial dalam lintasan sejarah Eropa, Deem menekankan tubuh yang terkurung namun tetap mampu melahirkan kebebasan melalui imajinasi.

Dua karya ini, bila dibaca bersama, memperlihatkan bagaimana fiksi berfungsi sebagai medium untuk menegosiasikan secara cair keterbatasan manusia. 

Merujuk pada perspektif teori sastra, Michael Ryan(79), profesor emeritus di University of California, Irvine, dan dikenal sebagai penyair sekaligus kritikus sastra, dalam Literary Theory: A Practical Introduction(2007; 2011) menekankan bahwa karya sastra selalu berhubungan dengan konteks sosial dan politik yang melingkupinya. 

Mengutip Ryan: „Fiksi bukanlah cerminan realitas, melainkan cara mengorganisasikan pengalaman, memberi bentuk pada imajinasi manusia dan makna sosial.”

Demikian halnya, mengacu pada Megan Becker-Leckrone(57), profesor di University of Nevada, Las Vegas (UNLV), Amerika Serikat, dalam Julia Kristeva and Literary Theory(2005; 2013) menegaskan bahwa teori sastra adalah cara untuk memahami bagaimana teks berfungsi dalam membentuk identitas dan pengalaman manusia.

Berikut mengutip Leckrone: „Fiksi adalah tempat di mana bahasa menampilkan dirinya sendiri, bukan sekadar refleksi realitas, tetapi produksi makna melalui hubungan tekstual."

Leckrone melalui Julia Kristeva(84), profesor emerita di Université Paris Cité, sekaligus penulis, kritikus sastra, dan psikoanalis, dengan gagasan intertekstualitas, menunjukkan bahwa teks selalu berhubungan dengan teks lain.

Walhasil, Flesh dan Jose Kecil dalam Dirimu dapat dibaca sebagai percakapan lintas budaya: satu berakar pada tradisi Eropa dengan problem kelas dan migrasi, satu lagi pada tradisi Indonesia dengan problem kebebasan dan keterkurungan.

Kemenangan Szalay di London dan Deem di Jakarta menegaskan bahwa fiksi tetap menjadi arena global dan sekaligus lokal — sosiolog George Ritzer(85) mengistilahkan glokalitas dalam The Globalization of Nothing(2003) — untuk mengartikulasikan maupun mempercakapkan pengalaman manusia secara universal. 

Booker Prize, dipelopori pada tahun 1969 oleh penerbit Tom Maschler dan Graham C. Greene, dengan dukungan perusahaan Booker McConnell Ltd. dengan sejarah panjangnya, telah membentuk kanon sastra dunia.

Sementara, Dermakata Award dari gagasan Kreator Era Artificial Intelligence(KEAI) oleh Denny JA(62), Ketua Umum Satupena yang baru muncul pada 2023 silam, menjadi ruang bagi suara-suara baru fiksi di Indonesia. 

Kedua penghargaan ini memperlihatkan bahwa sastra tidak hanya merayakan otonomi estetika, klasik maupun kontemporer. 

Akan tetapi, meluaskan pengakuan karya fiksi sebagai cara manusia memahami dirinya, tubuhnya, dan dunia yang membatasinya.

Membaca Szalay dan Deem berarti membaca dua horizon — Erwartunghorizont resepsi sastra dari Hans Robert Jauss(1921–1997), teoretikus sastra Jerman dari mazhab Konstanz — yang berbeda.

Namun pada sisi similiritas fiksi saling melengkapi: horizon global yang menyoroti kelas dan migrasi, serta horizon lokal yang menekankan kebebasan dan keterkurungan dari pemaknaan mutakhir berkebudayaan(civilized). 

Keduanya menegaskan bahwa fiksi adalah ruang di mana manusia, dengan segala keterbatasan dan harapannya, terus menerjang dan mencari makna dalam krisis progresfobia nalar dan nurani peradaban glokalitas. 

Dalam konteks pertumbuhan „digitalisasi“ teori sastra mutakhir, karya-karya ini memperlihatkan bahwa fiksi tetap relevan sebagai medium kritik, refleksi, dan apresiasi atas pengalaman manusia yang tak pernah selesai.

#coverlagu: „Fiction” adalah lagu Avenged Sevenfold yang dirilis pada 23 Juli 2010 dalam album Nightmare. Lagu ini ditulis oleh Jimmy “The Rev” Sullivan, drummer band yang meninggal pada Desember 2009. 

Maknanya adalah sebuah perpisahan emosional, semacam “swan song” atau pesan terakhir dari The Rev kepada band dan para penggemarnya.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.