Type Here to Get Search Results !

Makna, Esensi dan Prinsip Hukum Adat Minangkabau

Oleh: Duski Samad

Pengasuh Mata Kuliah Islam dan Budaya Minangkabau UIN Imam Bonjol 

Pendahuluan

Adat bagi orang Minangkabau bukan sekadar tradisi atau kebiasaan, melainkan sistem hukum yang mengatur kehidupan secara menyeluruh — mulai dari aspek moral, sosial, hingga spiritual. Ia hidup dalam pepatah dan petitih yang diwariskan turun-temurun dan menjadi hukum tidak tertulis yang mengikat.

Sebagaimana diungkapkan pepatah adat:

> “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; syarak mangato, adat mamakai.”

Prinsip ini menunjukkan bahwa hukum adat Minangkabau berakar kuat pada ajaran Islam. Nilai-nilai adat tidak berdiri sendiri, melainkan bersandar pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian, hukum adat Minangkabau adalah perwujudan dari integrasi antara hukum agama dan hukum sosial yang hidup di tengah masyarakat.

1. Makna Hukum Adat Minangkabau

Secara terminologis, hukum adat Minangkabau dapat dipahami sebagai tata aturan hidup yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari nilai-nilai Islam, budaya, dan kesepakatan sosial masyarakat nagari. Ia bukan hukum tertulis seperti peraturan negara, tetapi hukum yang hidup (living law).

Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah “the living law, that governs the life of native communities as a system of customary norms rooted in social consciousness.” (Van Vollenhoven, 1933). Dalam konteks Minangkabau, hukum adat bukanlah statis, melainkan dinamis dan mengikuti perkembangan masyarakat tanpa kehilangan ruh nilai-nilai ilahinya.

Adat yang hidup di Minangkabau dibedakan menjadi empat tingkatan:

1. Adat nan sabana adat – adat sejati yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

2. Adat nan diadatkan – adat yang disepakati oleh ninik mamak dan ulama.

3.Adat nan teradat – kebiasaan sosial yang menjadi norma hidup.

4. Adat istiadat – tradisi dan ekspresi budaya nagari.

Struktur ini mencerminkan tatanan nilai yang hierarkis: dari sumber ilahiyah menuju tatanan sosial dan budaya.

2. Esensi Hukum Adat: Antara Norma dan Spiritualitas

a. Adat sebagai Living Law

Ter Haar (1937) menyebut hukum adat sebagai “the reflection of moral order and communal will.” Artinya, hukum adat bukanlah sekadar aturan formal, tetapi cerminan kesadaran moral masyarakat. Dalam Minangkabau, pepatah “Nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan” melambangkan kekekalan nilai walau bentuknya dapat menyesuaikan zaman.

b. Adat sebagai Sistem Moral dan Sosial

Esensi hukum adat adalah membentuk manusia berbudi, berbasis pada prinsip bajanjang naik, batanggo turun — mengajarkan tata hubungan vertikal (kepada Allah) dan horizontal (kepada sesama). Hukum adat melarang kezaliman, menegakkan keadilan, dan menjunjung martabat manusia.

> “Takuruang dalam adat, tapi lapang di hati.”

Maknanya, hukum adat membatasi hawa nafsu, tetapi membuka jalan kebebasan dalam kebaikan dan kehormatan.

c. Adat Sebagai Identitas Kolektif

Adat Minangkabau adalah simbol eksistensi kolektif masyarakat. Ia membentuk rasa kebersamaan dan memperkuat jalinan antar-kaum dan nagari. Dalam konteks ini, adat menjadi perekat sosial, bahkan lebih kuat dari sekadar ikatan hukum positif.

d. Adat sebagai Sarana Keadilan Sosial

Adat menolak individualisme dan menegakkan prinsip keadilan komunal. Tanah ulayat, misalnya, tidak dimiliki perseorangan melainkan oleh kaum atau nagari. Prinsip “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” menjadi pedoman pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah.

3. Dasar Hukum dan Pengakuan Konstitusional

Hukum adat Minangkabau memiliki legitimasi dalam sistem hukum nasional dan internasional:

1. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

2. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945:

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

PRINSIP HUKUM ADAT.

Landasan Filosofis dan Konstitusional

1. Ulayat Nagari Bersifat Tetap (Hak Guna Pakai)

Dalam sistem hukum adat Minangkabau, tanah ulayat nagari memiliki kedudukan istimewa sebagai milik komunal masyarakat hukum adat. Prinsip utamanya adalah:

> “Ulayat nagari selalu dan tetap, orang yang menggunakannya bukan milik, hanya hak guna pakai (HGP).”

Maknanya, tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan karena ia melekat pada eksistensi nagari sebagai entitas sosial dan kultural. Masyarakat hanya memiliki hak guna pakai, bukan hak milik individual. Prinsip ini sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:

> “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Selain itu, Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa hak ulayat diakui sepanjang kenyataannya masih ada.

2. Ulayat Kaum Dapat Berubah (Yurisprudensi Hibah dan Peralihan)

Berbeda dari ulayat nagari, ulayat kaum (yang dikuasai oleh suku atau keluarga besar matrilineal) dapat berubah kepemilikannya berdasarkan kesepakatan dan perkembangan sosial. Misalnya, sebagian tanah ulayat kaum dapat dihibahkan atau dialihkan untuk kepentingan umum seperti pembangunan masjid, sekolah, atau jalan.

Perubahan ini diakui secara yurisprudensi oleh Mahkamah Agung, antara lain dalam Putusan MA No. 179 K/Sip/1961 yang menegaskan bahwa hak ulayat kaum dapat dilepaskan dengan persetujuan ninik mamak sesuai adat setempat.

3. Prinsip Kesepakatan: “Adat diisi, limbago dituang”

Prinsip kesepakatan antara pemegang ulayat dan pihak pendatang dirumuskan dalam pepatah adat:

> “Adat diisi, limbago dituang.”

Artinya, setiap pemanfaatan tanah ulayat harus melalui musyawarah dan mufakat yang dituangkan dalam aturan adat dan dituangkan dalam kesepakatan hukum adat. Ini sejalan dengan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian yang sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.

Dengan demikian, prinsip adat Minangkabau berjalan harmonis dengan hukum nasional dan perdata Indonesia.

4. Pengakuan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional

Hukum adat menempati posisi penting sebagai sumber hukum nasional. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Penjelasan UUPA Pasal 5 menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Selain itu, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) tahun 2007, yang diratifikasi Indonesia melalui komitmen moral internasional, juga menegaskan hak masyarakat adat atas tanah, budaya, dan sistem hukum mereka.

5. Norma Tak Tertulis tapi Mengikat

Hukum adat Minangkabau bersifat tidak tertulis tetapi mengikat secara sosial dan moral. Contoh konkret dapat dilihat dari pepatah adat:

> “Harta pusako tinggi, dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando.”

Artinya, harta pusaka tinggi adalah simbol eksistensi kaum, tidak boleh dijual atau digadai secara bebas. Norma ini menjadi living law, yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diakui dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (amandemen terakhir UU 13/2022), yang mengakui “hukum yang hidup dalam masyarakat” sebagai sumber hukum.

6. Pengakuan Hukum Adat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Pasal 27 dan 28 DUHAM (1948) menyatakan setiap orang berhak atas kehidupan budaya, hukum, dan tradisinya. Prinsip ini memperkuat kedudukan hukum adat sebagai bagian dari hak kolektif masyarakat hukum adat. Pengakuan ini juga tercermin dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945:

> “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

7. Penguatan melalui Aturan Peralihan Konstitusi

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan:

> “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”

Artinya, sistem hukum adat, termasuk hukum tanah ulayat yang telah eksis sebelum kemerdekaan, tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip konstitusi dan hukum nasional. Dengan demikian, eksistensi hukum adat Minangkabau memiliki dasar konstitusional yang kuat sebagai bagian dari pluralisme hukum Indonesia.

Kesimpulan

Prinsip hukum adat Minangkabau menegaskan bahwa tanah, harta, dan norma adat bukan sekadar benda material, tetapi simbol eksistensi sosial dan spiritual masyarakat. Ia hidup, berkembang, dan diakui oleh sistem hukum nasional dan internasional. Hukum adat menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan hukum nasional berbasis keadilan sosial, keseimbangan, dan kebersamaan.ds. 05112025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.