Type Here to Get Search Results !

Kultur Pragmatisme Holistik

oleh ReO Fiksiwan

“Metode pragmatis pada dasarnya adalah metode penyelesaian perselisihan metafisik yang jika tidak demikian mungkin tidak akan pernah berakhir.” — William James(1842-1910), Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking(1907; Versi eBook,2013).

Di tengah gempita “new socialism” pemerintahan Presiden Prabowo Subianto(74), gerakan kebudayaan tampak belum menjadi arus utama dalam orientasi negara. 

Kementerian Kebudayaan, meski secara struktural hadir, belum menunjukkan arah yang jelas dalam merumuskan kebijakan kebudayaan yang menjawab kompleksitas dan tantangan zaman. 

Dalam situasi ini, pendekatan filsafat kebudayaan dari Morton White(1917-2018), Profesor filsafat di Harvard University, dalam A Philosophy of Culture: The Scope of Holistic Pragmatism(2002) menjadi relevan untuk mengurai stagnasi dan krisis kebudayaan yang melanda Indonesia. 

White menawarkan kerangka pragmatisme holistik yang tidak hanya menekankan pada eksplanasi rasional, tetapi juga pada kepentingan yang melandasi narasi kebudayaan. 

White mengkritik pendekatan tradisional terhadap budaya yang memisahkan antara deskripsi dan norma. 

Dalam pragmatisme holistiknya, ia menolak dikotomi antara fakta dan nilai, dan menegaskan bahwa evaluasi budaya harus dilakukan secara menyeluruh dan interdisipliner.

Secara definitif, holistic pragmatism merupakan pendekatan yang menggabungkan analitik dan sintetik, serta menyatukan filsafat moral dan ilmiah.

Isme ini juga memperluas cakupan filsafat dengan menghubungkan sejarah ide, epistemologi, dan filsafat sosial-politik mutakhir.

Ia menyatakan bahwa: „Kita harus menguji keyakinan budaya kita sebagai bagian dari jaringan keyakinan yang utuh, bukan secara terpisah.”

Artinya, keyakinan budaya tidak bisa diuji secara terpisah — meski secara potensial benturan antara partikuler lokal vs universal global mustahil dinafikan — melainkan harus dilihat sebagai bagian dari jaringan keyakinan yang saling terkait. Ini adalah kritik terhadap pendekatan atomistik atau sektoral dalam studi budaya.

White juga menekankan bahwa: „Pragmatisme holistik menegaskan bahwa pernyataan deskriptif dan normatif dapat direvisi berdasarkan pengalaman” yang terus tumbuh berkembang seperti dipicu oleh labirin algoritme dan dataisme pekat. 

Dengan kata lain, baik pernyataan faktual maupun nilai harus terbuka terhadap koreksi berdasarkan pengalaman yang realistis dan telanjang, termasuk pengalaman budaya yang begitu pedat dan kompleks pada seluruh domain maupun arena seturut ide habitus Bourdieu.

Ia menolak pemisahan antara filsafat dan ilmu sosial, antara teori dan praktik, dan justru mengusulkan pendekatan lintas disiplin yang menyatukan penjelasan dan kepentingan sebagai satu kesatuan analisis.

Dalam konteks Indonesia, krisis kebudayaan bukan hanya bersifat epistemik—yakni kegagalan memahami dan merumuskan nilai-nilai kebudayaan secara konseptual—tetapi juga praksis.

Merujuk pada tindakan praksis yang dimaksud White, individu, kolektif maupun institusi publik tampaknya ikut merepresentasi kekacauan dan disorientasi landasan kulturalnya. Sebut saja, Polri, KPK bahkan lembaga legislatif dan yudikatif lainnya. 

Merujuk pada buku Krisis Budaya? Oase Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI(2016), yang disunting oleh Riris K. Toha Sarumpaet(75), guru besar FIB UI, menunjukkan bahwa kebudayaan Indonesia mengalami disorientasi akibat tekanan globalisasi, komersialisasi nilai, dan lemahnya institusi kebudayaan. 

Dikatakan editornya: „Dengan kondisi yang ada, globalisasi, dan teknologi canggih yang membuat mulut ternganga dan kehidupan pun terbawa, kemajuan pesat yang tak mempertanyakan ketertinggalan apalagi kesiapan, dan pemerintahan yang gamang, buku ini bertanya: akan ke manakah kita sebagai bangsa yang ber-‘budaya krisis’ bergerak dan menuju?”

Selanjutnya, diulas kegelisahan kolektif terhadap arah kebudayaan nasional yang kehilangan orientasi di tengah kemajuan teknologi dan ketidakpastian politik. 

Krisis kebudayaan di sini bukan hanya soal nilai yang luntur, tetapi juga soal ketidaksiapan struktural dan mental dalam menghadapi perubahan zaman.

Ketika kebudayaan tidak lagi menjadi medan refleksi, tetapi sekadar komoditas atau alat legitimasi politik, maka yang lahir adalah patologi sosial: kriminalitas yang banal, korupsi yang sistemik, kemaruk politik yang tak mengenal batas, dan kekerasan simbolik yang merusak solidaritas sosial.

Pragmatisme holistik menuntut agar kebudayaan tidak hanya dijelaskan secara akademik, tetapi juga dipahami melalui kepentingan yang melandasinya. 

Eksplanasi tanpa kepentingan adalah abstraksi; narasi tanpa kepentingan adalah propaganda. 

Negara, melalui Kementerian Kebudayaan RI, Dr. Fadli Zon, seharusnya mampu merumuskan kebijakan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga reflektif dan transformatif. 

Kebudayaan harus menjadi medan artikulasi nilai, bukan sekadar pelengkap seremoni. Padahal, perintah UU. No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan cukup dijadikan panduan. 

Belum lagi, bagaimana mengelola 30.000 koleksi artefak budaya telah diserahkan Ratu Belanda pada lawatan Presiden Prabowo Subianto. 

Dalam pendekatan White, kebudayaan sebagai sistem yang hidup, yang harus dibaca melalui keterkaitan antara pengetahuan, nilai, dan tindakan. 

Ketika negara gagal membaca keterkaitan ini, maka kebudayaan menjadi beku, kehilangan daya hidupnya. Melimpahnya limbah contoh-contoh aktual menunjukkan bahwa krisis kebudayaan bukan sekadar wacana. Tapi, makin mengakar sebagai potensi ancaman malaise kultural.

Korupsi masif yang melibatkan pejabat publik, kriminalitas yang merambah ruang digital — judol, pinjol hingga seksol — dan kemaruk politik yang mengabaikan etika adalah manifestasi dari kebudayaan yang kehilangan orientasi. 

Dalam pragmatisme holistik, ini bukan hanya soal moral, tetapi soal struktur pengetahuan dan kepentingan yang membentuk tindakan tersebut. 

Negara yang tidak mampu membangun narasi kebudayaan yang menyatukan eksplanasi dan kepentingan akan terus terjebak dalam kebijakan parsial yang tidak menyentuh akar persoalan.

Kultur pragmatisme holistik menuntut negara untuk hadir bukan sebagai pengatur, tetapi sebagai fasilitator untuk meregulasi sekaligus menderegulasi kebudayaan yang hidup. Atau, kultur biofilia yang menumbuhkan dan bukan memperkeruh kultur nekrofilia yang saling meniadakan secara destruktif.

Ia harus mampu membaca narasi masyarakat, memahami kepentingan yang melandasi ekspresi budaya sebagai fondasi mentalitas, dan merumuskan kebijakan yang menjembatani antara pengetahuan dan praksis. 

Di era digital, kebudayaan bukan lagi milik elite, tetapi milik publik yang aktif berproduksi dan berpartisipasi secara masif dan sangat terbuka.

Negara yang gagal memahami ini akan kehilangan legitimasi kulturalnya. Juga, akan berhadapan ancaman dan kegarangan kultur nekrofilia destruktif dan akut.

Dengan demikian, dalam refleksi ringkas ini, kultur pragmatisme holistik bukan sekadar tawaran filsafat, tetapi panggilan untuk membangun kebudayaan yang berpikir, merasa, dan bertindak secara utuh. 

Sebuah panggilan kebudayaan yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga mengubahnya untuk masa depan para generasi pelanjut.

#coverlagu: Lagu “Sang Guru” karya Panji Sakti(49) dirilis pada tahun 2023 dan merupakan musikalisasi puisi bertema sufistik yang dipersembahkan untuk gurunya. 

Lagu ini menggambarkan cinta dan penghormatan mendalam terhadap sosok guru yang membimbing dalam pencarian spiritual.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.