![]() |
Oleh: Ririe Aiko
(Puisi esai ini diangkat dari kisah nyata Randika Alzatria Syaputra, 28 tahun, pemuda yang ditemukan tak bernyawa di Cilacap pada bulan Oktober 2025. Ia pernah memohon untuk dipenjara, bukan karena merasa bersalah, tetapi karena di balik jeruji ia berharap bisa diberi makan dan tak lagi merasakan pedihnya perut kelaparan.)¹
---000---
Di sebuah gang sempit di Cilacap,
dunia berhenti berputar.
Sebuah tubuh muda tergolek tanpa nyawa,
ditemani secarik kertas kusam bertuliskan Broken Home.
Bukan puisi, bukan surat cinta,
melainkan identitas terakhir seorang manusia
yang nyawanya terenggut karena kelaparan.
Randika menulis namanya dengan tangan gemetar:
“Randika Alzatria Syaputra.”
Di bawahnya ia tulis:
“Jika aku mati, antarkan aku ke rumah kakek dan nenek di Palembang.”
Kalimat sederhana itu terasa lebih dalam
dari khutbah panjang tentang kemanusiaan,
yang nyatanya tak menyentuh nyawa manusia di jalanan.
Ia lahir dari lingkar kemiskinan,
dari sebuah keluarga yang berantakan,
yang terpaksa membuangnya dalam perantauan.
Bertahan seorang diri mencari penghidupan
di negara yang tak menjamin apa pun,
kecuali jaminan bagi anggota dewan.
---000---
Beberapa tahun lalu,
ia pernah mendatangi kantor polisi,
mengaku mencuri, berharap ditangkap.
Bukan untuk menebus dosa,
melainkan agar ia bisa makan²
dan bertahan hidup di dunia
yang terlalu mahal bagi orang miskin.
Namun aparat menolak menahannya,
tak ada bukti ia mencuri.
Penjara bukanlah untuk orang lapar,
borgol hanya untuk mereka yang bersalah.
Mengapa mereka yang tak bisa makan harus bersembunyi di balik jeruji?
Apakah kelaparan lebih mengerikan daripada menjadi tahanan?
Ia pun kembali pada kehidupan,
yang nyatanya terlalu kejam pada manusia tanpa harta.
Tak ada yang peduli, tak ada yang pernah bertanya,
tanpa seorang pun yang tahu ia ada.
Ia bertahan sendirian,
dalam ruang sunyi bernama putus asa.
Inilah dunia,
di mana orang miskin selalu dianggap hina,
sementara orang kaya selalu dipuja meski berlaku nista.
Randika tak bisa bertahan dalam dunia
yang menakar segalanya dengan harga.
Tak ada lagi kekuatan untuknya bertahan,
tak ada lagi kepingan rupiah untuk mengisi perut hari ini.
Berhari-hari ia biarkan rasa perih memenuhi lambungnya,
hingga ia tergeletak tak bernyawa —
dengan perut kempis dan tulang berbalut kulit tipis.
Entah sudah berapa hari ia bertahan tanpa makanan,
hingga akhirnya Tuhan menyuruhnya pulang.
---000---
Indonesia...
Di mana makna keadilan sosial dan kemanusiaan di negeri ini?
Mengapa satu warga harus mati tanpa sesuap nasi?
Di mana sumber daya alam yang melimpah,
jika satu rakyat saja tak mampu hidup layak di tanahnya sendiri?
Di mana uang-uang yang menumpuk tinggi dalam satu ruangan?
Apakah hanya menjadi angka dalam laporan korupsi?
Di mana mereka
yang bergaji ratusan juta,³
yang berkoar lantang demi rakyat,
namun sibuk ber-flexing dengan uang negara?
Di mana pula mereka
yang hidup penuh tunjangan,
berkendara mewah di jalan-jalan beraspal dari pajak rakyat,
namun tak terguncang sedikit pun
melihat manusia mati karena lapar?
Indonesia,
Lihat!
Rakyatmu menderita,
terjebak dalam lingkar pengangguran
dan harga kebutuhan yang kian menggila.
Berapa banyak Randika lain
yang harus menjadi korban,
terjerat dalam sistem yang
menjebak dalam rantai kemiskinan tak berujung?
Apakah mereka hanya sekadar headline di layar kaca?
Rest in Peace – Randika Alzatria Syaputra
---000---
CATATAN:
¹https://www.tvonenews.com/lifestyle/trend/385281-2-tahun-lalu-randika-alzatria-ngaku-mencuri-demi-dipenjara-tapi-ditolak-polisi-kini-ditemukan-md-di-cilacap-surat-terakhirnya-pilu
²https://jakarta.tribunnews.com/jakarta/425391/kisah-randika-pemuda-yang-ditemukan-tewas-kelaparan-pernah-viral-ingin-dipenjara-biar-bisa-makan
³https://nasional.kompas.com/read/2025/08/18/06000011/gaji-rp-100-juta-wakil-rakyat?page=all

