![]() |
Oleh: Duski Samad
Dosen UIN Imam Bonjol Padang
Banjir bandang yang menenggelamkan kampung-kampung di Palembayan, Kabupaten Agam, 27 November 2025, bukan sekadar peristiwa alam yang datang tiba-tiba. Ia adalah tragedi kebijakan—buah pahit dari keputusan yang salah urus, tanda tangan yang “berharga mahal”, dan absennya negara dalam menjaga keselamatan rakyatnya.
Tulisan Rosadi Jamani “Tragedi Palembayan, Bencana Akibat Tanda Tangan” membuka secara vulgar realitas yang sesungguhnya: hutan ditebang serampangan, kayu dijarah, sungai dikeruk untuk galian C, rawa dan sawah ditimbun untuk perumahan, dan semua itu terjadi bukan karena kurangnya pengetahuan, tetapi karena izin-izin yang melintas mulus setelah nego yang bersumpal uang.
Palembayan adalah contoh telanjang bagaimana sebuah kebijakan dapat berubah menjadi kejahatan struktural.
Kejahatan Bernama "Kebijakan"
Dalam banyak kasus bencana ekologis di Sumatera Barat, pola yang sama berulang:
kawasan lindung dikonversi jadi tambang bukit dipangkas jadi lahan perumahan.
izin galian C keluar seperti kacang goreng rencana tata ruang daerah disesuaikan dengan selera pemodal pejabat pengawas memilih diam masyarakat dibiarkan menanggung akibatnya
Dari perspektif lingkungan, ini disebut ecological misconduct. Dalam bahasa moral, ini adalah dosa sosial. Dalam logika negara, ini adalah pengkhianatan terhadap amanah publik.
Al-Qur’an telah mengingatkan secara eksplisit:
> “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia.”
(QS. ar-Rūm: 41)
Kerusakan itu bukan dari langit, bukan pula takdir alam tanpa sebab. Ia hasil langsung dari pena dan tanda tangan pemilik kuasa—yang membuat hutan botak, sungai dangkal, dan kampung kehilangan daya tahan alamiah.
Taubat Pemimpin:
Dimulai dari Penentu Kebijakan
Hari ini, istilah taubat bukan hanya urusan pribadi. Yang paling pertama harus bertaubat adalah penentu kebijakan.
Taubat bukan sekadar menangis, tetapi mengembalikan integritas:
menghentikan izin bermasalah
menertibkan galian C ilegal
menolak proyek yang merusak ekologis
memutus rantai suap-menyuap perizinan
memperbaiki tata ruang sesuai kajian ilmiah, bukan pesanan pemodal
Al-Qur’an menyebutkan kelompok yang paling bertanggung jawab atas kehancuran suatu negeri:
> “Kami beri kesempatan kepada para elitnya, lalu mereka berbuat kerusakan…”
(QS. al-Isrā’: 16)
Kata mutrafīn menunjuk langsung pada elit politik dan ekonomi yang menikmati kekayaan, tetapi membangun kebijakan yang merusak. Mereka inilah yang paling pertama diperintahkan untuk berhenti dan bertaubat.
Rakyat
Menuntut Hak, Bukan Sedekah
Setiap kali bencana datang, rakyat menerima bantuan. Tetapi yang sebenarnya mereka butuhkan bukan bantuan beras dan selimut—melainkan jaminan keselamatan hidup.
Rakyat berhak mempertanyakan:
siapa yang mengizinkan tebang hutan?
siapa yang mengeluarkan izin galian C?
siapa yang mengalihkan sawah jadi perumahan?
untuk kepentingan siapa izin-izin itu dibuat?
Negara wajib menjawab karena amanah itu bukan privilese, tetapi tanggung jawab. Firman Allah mengingatkan:
> “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanah kepada ahlinya.”
(QS. an-Nisā’: 58)
Jika kebijakan lahir dari ruang gelap, maka Negara telah gagal menjalankan perintah Tuhan.
Cendekiawan
Tidak Boleh Diam
Di tengah tragedi ekologi seperti ini, suara cendekiawan menjadi kebutuhan publik yang mendesak. Akademisi, ahli tata ruang, dan pakar lingkungan tidak boleh tenggelam dalam kenyamanan ruang kuliah dan seminar.
Perintah agama jelas:
> “Bertanyalah kepada para ahli jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. an-Naḥl: 43)
Artinya, para ahli wajib hadir memberi penjelasan, menegur pemerintah, dan memperingatkan masyarakat mengenai bahaya kebijakan yang salah arah.
Diamnya cendekiawan adalah salah satu penyebab mengapa kejahatan kebijakan dapat berjalan jauh tanpa kontrol.
Penguasa Profesional: Bukan yang Ramai di Media, Tetapi yang Taat Amanah
Nabi Muhammad saw sudah menegaskan bahwa kehancuran akan datang jika jabatan diberikan bukan kepada ahlinya.
> “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari)
Profesionalitas pemimpin bukan dilihat dari jam terbang tampil di panggung seremonial, tetapi:
adakah ia bekerja berdasarkan data dan ilmu?
adakah ia mendengar pakar lingkungan sebelum mengeluarkan izin?
adakah ia mengutamakan keselamatan rakyat di atas kepentingan investasi?
Dalam fikih siyasah, syarat pemimpin ada tiga:
1. Amanah → jujur, antisuap
2. Kifā’ah → kompeten secara ilmu dan teknis
3. Mas’ūliyyah → siap mempertanggungjawabkan keputusan
Bila tiga hal ini hilang, bencana hanya menunggu giliran.
Bencana yang Diciptakan, Bukan Datang Sendiri
Kerusakan ekologis Palembayan menjadi bukti bahwa kita hidup di era bencana yang diproduksi manusia.
Kajian lingkungan menunjukkan:
hutan gundul membuat tanah tidak mampu meresap air
bukit yang dipangkas menambah kecepatan aliran air
sungai yang dikeruk berlebihan membuat tebing rapuh
rawa dan sawah yang ditimbun menghilangkan daerah resapan
perumahan di zona rawan banjir tanpa kajian AMDAL menambah jumlah korban
Ini bukan “musibah alam”; ini adalah musibah kebijakan.
Solusi:
Mengembalikan Politik kepada Moral
Ada empat langkah yang harus ditempuh:
1. Audit total izin lingkungan
Izin yang keluar tidak sesuai prosedur harus dibekukan atau dicabut.
2. Penegakan hukum tanpa tebang pilih
Baik pejabat maupun pengusaha harus ditindak jika terbukti merusak lingkungan.
3. Rehabilitasi ekologis
Sungai harus direstorasi, hutan direboisasi, dan lahan resapan dikembalikan fungsinya.
4. Penguatan advokasi publik
Masyarakat harus dilibatkan, bukan hanya dijadikan korban atau objek belas kasihan.
Penutup:
Taubat Kebijakan sebagai Jalan Selamat Negeri
Bencana Palembayan adalah suara alam, suara masyarakat, dan suara Tuhan yang bersatu mengingatkan bahwa ada kesalahan serius dalam kebijakan kita.
Kita tidak bisa terus menerus menyalahkan hujan, gunung, dan cuaca.
Yang harus disalahkan adalah cara kita membuat keputusan.
Jika kebijakan tetap dipengaruhi uang, kepentingan politik, dan ketidakpedulian pada lingkungan, maka banjir bandang berikutnya bukan pertanyaan “apakah”, tetapi “kapan”.
Saatnya menghentikan kejahatan kebijakan.
Saatnya para pemimpin bertaubat.
Saatnya kita kembali kepada amanah Allah: menjadikan kekuasaan sebagai penjaga, bukan perusak.ds.30112025.

