![]() |
Oleh: Duski Samad
Pembelajar Islam Budaya Minangkabau UIN Imam Bonjol
Era global meniscayakan mobilitas masyarakat begitu luas dan adalah realitas sejak lama ada komunitas asli dan komunitas pendatang. Orang Minang adalah suku yang cukup luas rantau yang dijelangnya. Artinya urang awak, sebutan populer untuk orang Minang di perantauan, adalah personal yang menjadi perantau di manca negara.
Hebatnya perantau Minang dapat hidup berdampingan dengan baik, damai dan justru tidak sedikit mereka menjadi pemimpin di komunitas daerah dimana mereka merantau. Adaptasi dan menyatunya orang Minang pendatang dengan masyarakat lokal menjadi "unik" dan sudah diakui dunia akademik. Muchtar Naim dengan Disertasinya Budaya Merantau orang Minang sudah menjadi referensi ilmuwan dunia.
Kini di era kebebasan ini ada yang terus di diskusikan seringkali pendatang atau etnis lain sebagai perantau ada yang sulit beradaptasi.
Apa dan bagaimans hukum pendatang (perantau) dalam sistim adat Minang. Sejatinya perantau yang datang dari mana saja sudah diatur dengan adat, seperti pepatah "di mana bumi di pijak di sana langit di junjung". Adigium adat ini diyakini berlaku pada semua komunitas di dunia. Pendatang mesti mentaati hukum di locus baru yang didiaminya.
Adat Minangkabau dikenal sebagai sistem sosial yang terbuka, dinamis, dan berakar kuat pada falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS–SBK). Dalam sistem nagari, kehadiran pendatang bukanlah hal baru, tetapi bagian dari dinamika sosial yang terus berlangsung sejak masa perdagangan pesisir hingga era modern.
Pepatah “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung” menjadi dasar moral bagi setiap pendatang untuk menghormati adat, norma, dan hukum setempat. Kajian ini bertujuan menganalisis bagaimana proses integrasi pendatang dalam struktur adat Minangkabau berlangsung, serta bagaimana sistem adat merespons perubahan sosial tanpa kehilangan identitasnya.
Landasan Filosofis dan Hukum Adat
Adat nan sabana adat: nilai dasar yang bersumber dari wahyu dan sunnah.
Adat nan diadatkan: hasil musyawarah ninik mamak dan masyarakat.
Adat nan teradat: kebiasaan yang diakui oleh nagari.
Adat istiadat: bentuk konkret perilaku masyarakat.
Integrasi pendatang diatur melalui prinsip “adat diisi, limbago dituang”, yakni penerimaan yang disesuaikan dengan tatanan lembaga adat tanpa mengubah pokok nilai. Dalam hukum agraria adat, ulayat nagari tetap milik masyarakat adat, sementara pendatang diberi hak pakai berdasarkan kesepakatan (pamaliang jo parikatan).
Posisi Pendatang dalam Struktur Nagari
Pendatang diterima sepanjang:
Mengakui otoritas adat dan ninik mamak.
Berkontribusi sosial (gotong royong, sumbangan nagari).
Tidak melanggar hukum adat dan syarak.
Dapat menyesuaikan diri dengan sistem kaum dan jorong.
Fungsi sosial pendatang umumnya berkembang di sektor ekonomi dan pendidikan, sementara keputusan adat tetap di tangan pemangku adat asli nagari. Namun, dalam beberapa kasus, pendatang dapat diangkat menjadi bagian dari kaum penghulu muda jika telah lama menetap dan diterima masyarakat.
Dinamika dan Tantangan Kontemporer
Urbanisasi dan mobilitas tinggi memunculkan pluralitas sosial baru di nagari.
Tanah ulayat menjadi titik sensitif antara hak komunal dan hak individu.
Relasi adat dan hukum positif perlu dijembatani agar tidak terjadi tumpang tindih hukum.
Pendidikan dan ekonomi pendatang sering menjadi pintu integrasi sosial yang paling cepat.
Refleksi Nilai
Integrasi pendatang menunjukkan bahwa adat Minangkabau tidak eksklusif, tetapi inklusif dengan prinsip:
> “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; syarak mangato, adat mamakai.”
Dengan nilai ini, pendatang bukan hanya tamu, melainkan bagian dari masyarakat yang beradab dan saling menghormati dalam harmoni sosial.
HUKUM ADAT PENDATANG
Pertanyaan yang mesti dijelaskan apa nama hukum seperti di atas?
Pertanyaan ini sangat menarik dan penting secara antropologis maupun hukum.
Ungkapan “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” memang menggambarkan prinsip universal tentang kewajiban pendatang (perantau) untuk menghormati dan menaati hukum, adat, serta norma di tempat ia tinggal.
Dalam terminologi hukum, prinsip ini dikenal dengan beberapa istilah:
1. Prinsip Lex Loci (Hukum Tempat Berlaku)
Secara yuridis, prinsip ini disebut lex loci, berasal dari bahasa Latin yang berarti “hukum dari tempat (locus)”.
Dalam konteks Minangkabau, prinsip ini berarti: Siapa pun yang datang ke suatu nagari wajib tunduk kepada adat, hukum, dan norma sosial nagari tersebut.
Dalam hukum modern, dikenal istilah turunan seperti:
Lex loci delicti commissi – hukum tempat terjadinya perbuatan berlaku.
Lex loci contractus – hukum tempat kontrak dibuat berlaku.
Lex loci celebrationis – hukum tempat perkawinan dilangsungkan berlaku.
Makna moralnya: perantau harus beradaptasi dan menghormati aturan di tempat baru sebagai wujud etika sosial global.
2.Prinsip Comitas Gentium (Kesopanan antarbangsa / penghormatan lokal)
Dalam hukum internasional, ada prinsip comitas gentium, yaitu asas toleransi dan penghormatan terhadap hukum dan adat setempat.
Dalam konteks adat, Minangkabau telah lama mempraktikkan hal ini secara alami:
“Orang datang dijemput, orang lalu disapa, tapi kalau tinggal wajib beradat.”
Artinya, pendatang disambut dengan ramah, namun setelah menetap, ia harus mengikuti adat dan aturan nagari.
3. Dalam Adat Minangkabau.
Ungkapan “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” bukan sekadar etika sopan santun, tetapi norma hukum adat tak tertulis yang mengatur relasi antara urang asal dan urang datang.
Asasnya: “Adat diisi, limbago dituang.”
Pendatang boleh hidup dan berusaha di nagari orang, tapi harus mengisi adat yang berlaku.
Prinsip sosialnya:
Menjaga keharmonisan, menghindari konflik, dan menumbuhkan rasa saling menghormati.
Orang yang tidak menyesuaikan diri dianggap “indak tahu di nan dipijak, indak pandai manjunjung langik.”
4. Relevansi dalam Sistem Hukum Modern
Prinsip ini juga tercermin dalam hukum nasional Indonesia:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Dengan demikian, setiap individu — baik warga asli maupun pendatang — terikat oleh hukum di tempat ia berada, baik hukum negara maupun hukum adat.
Kesimpulan
Nama hukum yang dimaksud adalah:
Prinsip Lex Loci (Asas Hukum Tempat Berlaku)
atau dalam konteks adat disebut Asas Kepatuhan terhadap Adat Setempat, yang dalam falsafah Minangkabau diwujudkan melalui ungkapan:
“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Asas ini merupakan fondasi bagi harmoni sosial, pengakuan terhadap keragaman hukum adat, dan etika universal perantau dalam menghormati nilai dan tatanan masyarakat tempat ia bernaung. DS.051125.

