Type Here to Get Search Results !

Arketipe Jung Noise Kahnamen Pada Kereta Cepat Whoosh

oleh ReO Fiksiwan

„Penipu(trickster) adalah sosok bayangan kolektif, kumpulan semua sifat buruk karakter individu.” — Carl Gustave Jung(1875-1961), Four Archetypes(1954; IRCiSoD 2020).

„Di mana pun ada penghakiman, di situ ada kebisingan(noise)—dan kebisingannya lebih banyak dari yang Anda kira.” — Daniel Kahneman(wafat usia 90 pada 2024), Olivier Sibony(63), dan Cass R. Sunstein(71), Noise: A Flaw in Human Judgment(2021;GPU 2022).

Kereta cepat Whoosh bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah cermin arketipe terdalam manusia: dorongan untuk menguasai waktu, ruang, dan citra.

Dalam psikologi analitik Carl Gustav Jung, arketipe adalah pola dasar dalam ketidaksadaran kolektif manusia pada eksistensinya sendiri. 

Jung sendiri menggambarkan salah satunya, arketipe penipu(trickster) sebagai simbol dari sisi manusia yang licik, ambigu, penuh paradoks dan sering muncul dalam bentuk tokoh yang tampak bodoh, planga-plongo, namun menyimpan kecerdikan dan kelicikan tersembunyi. 

Salah satu arketipe yang paling kuat adalah The Magician(Spirit)—sosok yang ingin mengubah realitas dengan kekuatan simbolik, menciptakan keajaiban demi pengakuan. 

Proyek kereta cepat Whoosh, yang digagas Presiden ketujuh Joko Widodo(64) dan didorong oleh tokoh-tokoh seperti Luhut Binsar Panjaitan(78), tampak menjelma sebagai manifestasi dari arketipe ini.  

Arketipe lain, penipu(trickters) adalah bayangan kolektif sebagai dari sifat-sifat rendah manusia seperti keserakahan, tipu daya, dan manipulasi, yang sering kali disamarkan dalam bentuk humor, kelicikan, atau bahkan proyek besar yang tampak mulia. 

Dalam konteks proyek kereta cepat Whoosh, arketipe ini bisa dibaca sebagai simbol dari dorongan bawah sadar kolektif untuk menciptakan ilusi kemajuan, meski dibangun di atas fondasi utang, bias kognitif, dan potensi korupsi.

Jung juga menambahkan bahwa trickster sering muncul dalam mitos sebagai makhluk setengah dewa yang menipu, mencuri, atau menciptakan kekacauan—namun justru dari kekacauan itu muncul kesadaran baru. 

Dengan demikian, proyek seperti Whoosh bisa dilihat sebagai panggung arketipal tempat bayangan kolektif bangsa ini tampil: antara ambisi dan ilusi, antara pembangunan dan penipuan diri.

Dengan banderol Rp543 triliun dan skema pembayaran utang selama 60 tahun, proyek ini lebih menyerupai mantra sihir ala Harry Potter ketimbang kebijakan publik yang rasional.

Namun, di balik narasi “investasi sosial” yang digaungkan, aroma bias kognitif menyeruak. 

Dengan kata lain, Daniel Kahneman(1934-2024), psikolog dan ekonom perilaku di Universitas Princeton serta persih Nobel Ekonomi 2002, dalam Thinking, Fast and Slow(2011; GPU 2019) menyebutkan bahwa manusia cenderung mengambil keputusan besar dengan sistem berpikir cepat intuitif, emosional, dan penuh ilusi kontrol. 

Ia pun mengemukakan teori dua sistem berpikir: Sistem 1: cepat, intuitif, dan emosional; Sistem 2: lambat, analitis, dan logis.

Dalam konteks Whoosh, keputusan untuk menolak tawaran Jepang yang lebih murah dan memilih mitra Tiongkok dengan skema utang jangka panjang, tampak sebagai bentuk overconfidence bias yang dibungkus dalam ambisi “termuliasasi”—yakni pencitraan sebagai pemimpin besar yang meninggalkan warisan monumental.

Diulas Kahnamen dkk. dalam Noise: Dalam setiap proses pengambilan keputusan, terutama yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan seperti proyek infrastruktur publik, terdapat gangguan penilaian yang tidak disadari. 

Dalam kasus Whoosh, bias kognitif seperti overconfidence, optimism bias, dan groupthink tampak mendominasi. 

Keputusan untuk memilih mitra Tiongkok dengan skema utang jangka panjang, meski ada opsi Jepang yang lebih murah, bisa dibaca sebagai bentuk bias yang diperkuat oleh noise institusional—yakni ketidakkonsistenan dalam penilaian antar lembaga dan individu.

Dikutip Kahnamen dkk. mengatakan: „Kebisingan(noise) dalam pengambilan keputusan itu mahal. Hal ini menyebabkan kesalahan yang dapat merugikan, bahkan fatal.“

Dalam konteks proyek Whoosh, noise(istilah lainnya: gaduh) ini bisa menjelaskan mengapa keputusan yang tampak rasional di permukaan justru menghasilkan beban utang Rp543 triliun, dugaan pembengkakan biaya, dan potensi korupsi yang kini tengah diusut oleh KPK. 

Ketika keputusan besar diambil dalam atmosfer euforia pembangunan dan tekanan citra, maka yang lahir bukan kebijakan, melainkan ilusi.

Sementara Jung dalam Empat Arketipe: Ibu, Kelahiran Kembali, Ruh, Penipu(2020), mengingatkan bahwa dorongan nafsu untuk menguasai simbol material seperti kecepatan, kemegahan, dan teknologi sering kali lahir dari bayang-bayang personalitas yang belum selesai. 

Ketika seorang pemimpin mengidentifikasi dirinya dengan proyek raksasa, ia tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun ego. Dan ego yang membesar tanpa refleksi akan menelan realitas. 

Maka tak heran jika proyek Whoosh kini menyisakan beban utang APBN sebesar Rp2,1 triliun per tahun, penolakan dari Menkeu Purbaya Yadhi Sadewa(62), dan desakan audit dari para ahli atas dugaan pembengkakan biaya dan potensi korupsi.

Dalam perspektif psikologi ekonomi kolaborasi Kahnamen dkk., proyek ini adalah studi kasus tentang noise—gangguan dalam penilaian yang membuat keputusan publik melenceng dari rasionalitas. 

Ketika keputusan besar diambil dalam atmosfer euforia pembangunan dan tekanan citra, maka yang lahir bukan kebijakan, melainkan ilusi. 

Ilusi bahwa kecepatan adalah kemajuan. Ilusi bahwa infrastruktur adalah identitas. Ilusi bahwa utang adalah investasi.

Kini, saat Presiden Prabowo(74) bersiap mengambil alih beban warisan ini, publik dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah Whoosh adalah simbol kemajuan, atau justru arketipe keserakahan yang dibungkus dalam retorika pembangunan? 

Dalam mitologi Jungian, hanya dengan menghadapi salah satu arketipe Jung, bayangan(shadow) dan mengintegrasikannya ke dalam kesadaran(individu maupun kolektif), manusia bisa menjadi utuh. 

Mungkin inilah saatnya bangsa ini menatap bayangannya sendiri—dan bertanya, apakah kita sedang membangun masa depan, atau sekadar mengulang pola lama dengan kostum baru: niche klise!

#coverlagu: Lagu “Naik Kereta Api” diciptakan oleh Ibu Sud(Saridjah Niung, 1908-1993) dan pertama kali populer pada era 1950-an. 

Versi “Various Artists” adalah kompilasi dari banyak penyanyi anak-anak yang membawakan lagu ini ulang dalam berbagai album sejak dekade 1970-an hingga kini.

Lagu ini menggambarkan kegembiraan anak-anak saat naik kereta api, dengan lirik yang ringan, ritmis, dan penuh semangat.

Terinspirasi dari pengalaman pribadi Ibu Sud saat naik kereta dari Sukabumi ke Surabaya, lagu ini mencerminkan modernitas awal Indonesia, ketika kereta api menjadi simbol kemajuan dan konektivitas antar kota.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.