![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Transformasi kelembagaan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dari IAIN menjadi UIN membawa konsekuensi epistemologis, sosial, dan regulatif dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Artikel ini menelaah konsep teologi profetik sebagai paradigma dasar pembentukan karakter dan arah keilmuan sarjana UIN yang integratif dan transformatif.
Analisis dilakukan melalui pendekatan teologis, ilmiah, dan sosiologis dengan merujuk pada teori teologi profetik Kuntowijoyo, paradigma integratif-interkonektif Amin Abdullah, serta regulasi pendidikan nasional (UU No. 12 Tahun 2012 dan PMA No. 36 Tahun 2021 tentang PTKI). Hasil kajian menunjukkan bahwa sarjana UIN idealnya menginternalisasi nilai-nilai kenabian—iman yang mencerahkan, ilmu yang membebaskan, dan amal yang memanusiakan—serta menjadi agen perubahan sosial dalam masyarakat.
Transformasi IAIN menjadi UIN adalah bentuk ijtihad kelembagaan dalam memperluas mandat keilmuan Islam agar mampu berdialog dengan modernitas dan tantangan global. Namun, perubahan nomenklatur tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah arah pendidikan UIN masih berlandaskan teologi kenabian (profetik), atau telah bergeser menjadi sekular-akademis?
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa. Sementara PMA No. 36 Tahun 2021 menegaskan karakter PTKIN sebagai lembaga yang mengintegrasikan keilmuan Islam dan keilmuan umum (Pasal 3 ayat 1).
Dengan dasar itu, konsep “Teologi Profetik Sarjana UIN” menjadi penting sebagai paradigma normatif dan sosial:
Sarjana UIN tidak hanya “tahu banyak”, tetapi juga “berbuat baik” dan “berfikir dengan nurani kenabian.”
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif analitis, dengan tiga kerangka pendekatan utama:
1.Teologis: menelaah sumber normatif (Al-Qur’an, Sunnah) dan gagasan Kuntowijoyo tentang teologi profetik;
2.Ilmiah: menganalisis paradigma keilmuan integratif-interkonektif PTKIN (Abdullah, 2006);
3. Sosiologis-regulatif: mengkaji hubungan antara visi profetik dan kebijakan pendidikan tinggi Islam (UU 12/2012, PMA 36/2021).
Data dianalisis dengan metode hermeneutika kritis, yakni memahami teks teologis dan kebijakan pendidikan dalam konteks transformasi sosial masyarakat Muslim Indonesia.
Pembahasan
1. Landasan Teologis: Wahyu dan Misi Kenabian
Al-Qur’an menggambarkan misi profetik sebagai rahmat dan pembebasan:
“Wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn.” (QS. Al-Anbiyâ’: 107)
Teologi profetik berarti menjadikan nilai kenabian sebagai dasar berpikir dan bertindak ilmiah.
Kuntowijoyo (1991) mendefinisikan teologi profetik sebagai “usaha mentransformasikan nilai-nilai transendensi (iman), humanisasi (amar ma’ruf), dan liberasi (nahi munkar) ke dalam praksis sosial.”
Dalam kerangka ini, iman bukan sekadar keyakinan, tetapi energi sosial yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
2. Landasan Ilmiah: Paradigma Integratif-Interkonektif
Menurut Amin Abdullah (2006), UIN harus membangun epistemologi integratif, yaitu memadukan bayani (wahyu), burhani (rasio), dan irfani (intuisi spiritual).
Paradigma ini menjadi antitesis terhadap dikotomi ilmu agama dan ilmu umum yang sebelumnya melekat pada IAIN.
Dengan paradigma ini, UIN menjadi “laboratorium teologi profetik” — tempat iman dan ilmu bersatu untuk menata kehidupan manusia.
Teologi profetik melahirkan model sarjana ulul albab, sebagaimana digambarkan dalam QS. Ali Imran [3]:190–191: “Mereka yang mengingat Allah, berpikir tentang penciptaan langit dan bumi, dan berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.”
Ayat ini menggambarkan tiga kompetensi profetik: zikir (iman), fikir (ilmu), dan amal (aksi sosial).
3. Landasan Regulatif: Kebijakan Pendidikan Tinggi Islam
Regulasi pendidikan nasional memberikan legitimasi terhadap arah profetik UIN.
UU No. 12 Tahun 2012, Pasal 4 menegaskan: “Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip kebenaran ilmiah, kejujuran, keadilan, kemanfaatan, dan tanggung jawab.”
PMA No. 36 Tahun 2021 tentang PTKI, Pasal 2 menyebut bahwa: “PTKI berfungsi melaksanakan pendidikan tinggi Islam yang unggul, moderat, dan integratif.”
Sementara RPJMN 2020–2024 menempatkan moderasi beragama dan transformasi digital keagamaan sebagai arus utama kebijakan pendidikan Islam.
Artinya, secara regulatif, negara mendukung model pendidikan Islam yang berbasis nilai profetik dan tanggung jawab sosial.
4. Dimensi Sosiologis: Sarjana UIN sebagai Agen Perubahan
Dalam konteks sosial, teologi profetik menjadi dasar etika keilmuan dan tanggung jawab sosial sarjana UIN. Sarjana UIN bukan sekadar akademisi, tetapi agen perubahan (agent of change) di tengah masyarakat.
Dimensi Profetik Makna Sosial Implementasi di UIN
Transendensi Iman kepada Allah sebagai basis moral Integrasi nilai religius dalam kurikulum
Humanisasi Mengangkat harkat manusia Program pemberdayaan masyarakat berbasis masjid dan pesantren
Liberasi Membebaskan dari ketertinggalan dan kemiskinan Riset sosial-aplikatif, literasi digital dan ekonomi umat.
Pendekatan ini menegaskan bahwa ilmu di UIN harus “hidup di masyarakat”, bukan berhenti di kampus.
Sebagaimana sabda Nabi ï·º: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)
Analisis
Dari dimensi teologis, ilmiah, dan regulatif di atas, teologi profetik menghasilkan tiga kompetensi utama sarjana UIN:
1. Kompetensi Transendental: Kesadaran bahwa ilmu adalah amanah Allah (Allama al-insana ma lam ya’lam – QS. Al-‘Alaq: 5).
2. Kompetensi Intelektual: Kemampuan berpikir kritis, sistematis, dan interdisipliner.
3. Kompetensi Sosial-Profetik: Kepedulian terhadap keadilan, kemanusiaan, dan pemberdayaan masyarakat.
Teologi profetik melahirkan “sarjana profetik”: ilmuwan yang berakar pada wahyu, berpijak pada akal, dan berorientasi pada kemaslahatan publik.
Kesimpulan
Pernyataan “Teologi Profetik Sarjana UIN” memiliki tiga makna fundamental:
1. Secara teologis, menegaskan iman dan tauhid sebagai fondasi berpikir dan berilmu;
2. Secara ilmiah, mengintegrasikan wahyu dan akal untuk membangun ilmu yang utuh
3. Secara sosiologis, menuntut tanggung jawab sosial dan moral untuk memperbaiki kehidupan umat.
Teologi profetik menjadi jiwa pendidikan tinggi Islam, dan sarjana UIN adalah pewaris misi kenabian dalam bentuk intelektual modern beriman, berilmu, beramal, dan berakhlak sosial. Teologi Profetik = Iman yang mencerahkan + Ilmu yang membebaskan + Amal yang memanusiakan.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Abdullah, M. Amin. (2006). Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana.
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasr, Seyyed Hossein. (1987). Knowledge and the Sacred. New York: SUNY Press.
Rahardjo, Dawam. (2015). Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Kementerian Agama RI. (2021). Peraturan Menteri Agama Nomor 36 Tahun 2021 tentang Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Samad, Duski. (2024). Refleksi Pendidikan Islam dan Adab Ilmu di PTKIN. Padang: UIN Imam Bonjol Press.

