Type Here to Get Search Results !

Mauluik Gadang Syarafal Anam Berirama Taranum

Oleh: Duski Samad

Guru Besar UIN Imam Bonjol 

Bila tak ada aral melintang, hari Kamis sampai Sabtu, 16-18 Oktober 2025 Bupati Padang Pariaman JKA-Rahmat mengelar peringatan hari besar Islam MAULUIK GADANG dengan membaca Syarafal Anam, badikie, malamang, badoa, makan bajamba, dan biasanya ditutup dengan Badoncek, seperti yang sudah menjadi tradisi di daerah Padang Pariaman. 

SYARAFAL ANAM 

Maulud badikie Syarafal Anam yang berkembang di Padang Pariaman dan pengikut Tarekat Syathariyah adalah hasil kreativitas ulama Syekh Kapalo Koto Pauhkamba Muhammad Hatta (wafat 1921) pengikut Syekh Burhanuddin Ulakan.

Penelusuran Damanhuri melalui wawancara dengan murid beliau H.Mukhlis irama badikia dalam membaca Syarafal Anam ala Padang Pariaman ini adalah kreasi yang dibuatnya mengikuti alunan ombak di Pantai Ulakan. 

Istilah Syaraful Anam berasal dari dua kata Arab: syaraf (شرف) yang berarti kemuliaan, dan al-anam (الأنام) yang berarti manusia atau makhluk. Secara harfiah, Syaraful Anam bermakna “kemuliaan manusia” atau “orang yang memperoleh kemuliaan.” Ungkapan ini sering digunakan untuk menggambarkan posisi istimewa manusia di antara makhluk Allah, serta kemuliaan khusus yang diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai manusia termulia yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Dzikir (dikie bahasa Pariaman) adalah membaca sejarah kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad saw (sirah nabawiyah). Nada dan irama suara membaca syarafal anam ini bernama taranum. 

IRAMA TARANUM

Dalam tradisi Islam di Piaman, dikié (serapan dari kata dzikir) adalah bentuk zikir membaca sarafal anam yang dilagukan dengan irama khas yaitu Taranum. Dikie taranum berkembang kuat di lingkungan surau dan tarekat, terutama dalam Tarekat Syattariyah yang berakar dari ajaran Syekh Burhanuddin Ulakan.

Dikié bukan sekadar bacaan wirid atau selawat, tapi juga ekspresi estetika spiritual—menggabungkan zikir, seni suara, dan irama hati.

Arti Irama Taranum.

Taranum secara bahasa berasal dari kata Arab tarannama–yatarannamu yang berarti melagukan, bernyanyi dengan indah, atau membaca dengan nada merdu.

Dalam konteks dikié, irama taranum berarti lagu atau nada bacaan dzikir dan selawat yang diatur secara berirama dan berulang sehingga menciptakan suasana rohani yang khusyuk dan menyentuh jiwa.

Jadi, irama taranum dalam dikie adalah:“Lagu dan alunan bacaan dzikir yang disusun secara berirama, bertingkat, dan serasi, untuk menghidupkan makna zikir dan salawat serta menghadirkan rasa kehadiran Allah dalam hati jamaah.”

Irama Taranum dalam Dikié adalah untuk membangkitkan rasa spiritual (dzauq). Irama taranum membuat kalimat dzikir dan salawat lebih menggetarkan dan menghidupkan hati, sebagaimana musik rohani yang menyentuh kesadaran batin.

Taranum juga menjaga kekhusyukan jamaah. Ritme dan harmoni suara mencegah rasa bosan, membuat jamaah larut dalam suasana dzikir dan lawat kolektif. Kadang dilakukan secara bergantian dan bersahutan.

Menyatukan jamaah (ukhuwah dzikriyah). Nada taranum yang seragam menciptakan kebersamaan; semua suara bersatu dalam satu nafas spiritual.

Estetika dakwah. Taranum menjadi media seni yang menampilkan keindahan Islam. Ia mengajarkan bahwa ibadah pun bisa indah, lembut, dan menggembirakan.

Jenis dan Ragam Irama Taranum. Seperti dalam tradisi qira’at Al-Qur’an, dikenal tujuh maqam taranum (Bayyati, Hijaz, Nahawand, Rast, Soba, Jiharkah, dan Sikah). Namun dalam dikié di Piaman irama tidak selalu sama dengan maqam Arab; ia berkembang menjadi gaya lokal seperti:

Taranum Surau Gadang (berirama berat dan dalam, dipakai untuk dzikir malam).

Taranum Rayo (lebih cepat dan gembira, untuk acara maulid atau barzanji).Taranum Ziyarat (berirama lembut, untuk ziarah atau haul ulama).

Irama taranum ini dipelajari turun-temurun dari Tuanku Mursyid atau Guru Dikié yang menguasai baik ilmu tajwid maupun rasa musikal spiritual. Banyak masyarakat hari ini hanya kenal irama, nada dan tradisi saja.

Nilai Spiritual dan Budaya

Dalam pandangan ulama sufi, taranum dalam zikir adalah jalan menuju kehadiran qalbi (hadirnya hati kepada Allah).

Sebagaimana Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:“Suara yang lembut dan indah dalam zikir dapat melembutkan hati yang keras dan membangunkan jiwa yang lalai.”

Maka, taranum bukan hiasan suara, melainkan sarana tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa). Dalam konteks budaya Minangkabau, taranum juga menjadi simbol bahwa Islam hadir dengan rasa — tidak kering oleh hukum, tetapi hidup oleh irama dan keindahan.

Irama taranum dalam dikie adalah nyawa estetika dan spiritual dari tradisi dzikir Minangkabau — memadukan zikrullah, seni suara, dan rasa batin dalam satu harmoni.

Ia menandai bahwa Islam Nusantara — khususnya di Piaman dan Minangkabau — bukan hanya taat hukum (syariat), tetapi juga hidup dengan rasa (tasawuf dan budaya).

KESIMPULAN

Mauluik Gadang di Padang Pariaman bukan sekadar pesta keagamaan, melainkan momentum spiritual dan budaya untuk mempertautkan hati umat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Tradisi membaca Syarafal Anam, badikie, malamang, badoa, dan makan bajamba mencerminkan harmoni antara iman, ilmu, dan budaya lokal yang diwariskan oleh para ulama pewaris Syekh Burhanuddin Ulakan.

Makna terdalam dari Syarafal Anam ialah pengakuan atas kemuliaan manusia yang mencapai puncaknya pada pribadi Rasulullah ﷺ—sosok yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dalam pembacaan dikie, irama taranum bukan sekadar nada, tetapi jiwa dari dzikir itu sendiri: irama yang menuntun hati untuk hadir di hadapan Allah, menyatukan jamaah dalam rasa cinta kepada Rasul, dan menumbuhkan kesadaran ruhani bahwa keindahan adalah bagian dari ibadah.

Irama taranum dalam dikie menandai kehalusan rasa dan kedalaman tasawuf masyarakat Minangkabau. Ia bukan sekadar seni suara, tetapi seni jiwa — sarana tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) yang memadukan syariat, hakikat, dan budaya. Setiap alunan dan lagu taranum menjadi nafas dzikrullah, menghidupkan suasana surau dan memperkokoh tali silaturahmi di tengah masyarakat.

Mauluik Gadang Syarafal Anam berirama Taranum adalah identitas religius dan kultural Piaman-Minangkabau, wujud nyata Islam yang hidup dalam tradisi, lembut dalam rasa, dan agung dalam makna.

Tradisi ini perlu terus dihidupkan — bukan hanya sebagai ritual tahunan, tetapi sebagai pendidikan moral dan spiritual kolektif yang menyatukan masyarakat dalam cinta kepada Nabi, penghormatan kepada ulama, dan penguatan jati diri umat berbudaya.

“Barang siapa mencintai Rasulullah ﷺ dengan zikir, irama, dan amal, maka ia telah memuliakan dirinya dengan kemuliaan yang hakiki — menjadi bagian dari Syaraful Anam.” DS. 13102025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.