Type Here to Get Search Results !

Ketika Rektor di Balik Jeruji

oleh ReO Fiksiwan

„Cara kaum intelektual menyesuaikan diri dengan realitas adalah dengan menerima kebutuhan untuk berbohong.” — Czesław Miłosz(1911-2004), The Captive Mind(1953; YOI 1988).

Di negeri yang katanya menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, universitas seharusnya menjadi benteng terakhir akal sehat dan integritas. 

Namun, ketika sang rektor sendiri mendekam di balik jeruji besi, kita patut bertanya: apakah benteng itu telah runtuh, atau memang tak pernah dibangun?

Universitas Sam Ratulangi, yang menyandang nama seorang pahlawan nasional, sejak 2008 — paska Rektor Prof. Dr. Ir. Lucky W. Sondakh(1944-2022) — telah menjadi panggung tragikomedi birokrasi dan korupsi.  

Dari era Rektor Prof. Dr. Donald Rumokoy SH,MH(69) hingga Prof. Dr. Ir. Octavianus Berty Sompie MeNG, IPU(56) tak tampak ada upaya serius membenahi institusi ini. 

Administrasi tetap berantakan, keilmuan tak lagi jadi primadona, dan kampus yang dulu dikenal sebagai “Kampus Tumo Tou” di era Prof. W.J. Waworoentoe MSc.(1980–1988) kini lebih mirip panggung sandiwara politik lokal.

Peralihan kepemimpinan dari Waworoentoe ke dr. Pangalila bahkan sempat menimbulkan kisruh, intervensi politik, dan tarik-menarik kepentingan hingga akhirnya Prof. Drs. Ronny Tangkudung naik ke tampuk kekuasaan pada 1994-1998. Sejak saat itu, Unsrat tak lagi menjadi rumah bagi pemikir, melainkan arena bagi para oportunis. 

Hingga datang era Reformasi 1998 di era Rektor Prof. Ir. Jopie Paruntu MS.,PhD yang sempat menuangkan dokumen Reformasi Kampus Unsrat, tampaknya kisruh dan kemaruk bak tragedi Sysiphus.

Mengacu Karl Jaspers(1883-1969) dalam Die Idee der Universität(Jerman 1946; Inggris 1959) sudah mengingatkan: ketika universitas kehilangan otonomi dan tunduk pada kekuasaan, maka sains tak lagi bebas, dan pendidikan berubah menjadi alat propaganda.

Jasper menegaskan: “Die Universität ist der Ort, an dem die Wahrheit gesucht wird, nicht wo sie verordnet wird.” Alihbasa: „Universitas adalah tempat di mana kebenaran dicari, bukan tempat di mana kebenaran ditetapkan.“

Kini, ketika mantan Rektor Unsrat 2014–2022, Prof. Dr. Ir. Ellen Kumaat DEA, alumni universitas ternama di Perancis dan dosen Fakultas Teknik, ditangkap atas dugaan korupsi penyimpangan pengelolaan dana bantuan Bank Dunia untuk pembangunan Gedung Fakultas Hukum Unsrat Manado, kita tak lagi terkejut. Ini bukan klimaks, melainkan episode terbaru dari serial panjang degradasi intelektual. 

Kumaat bukan satu-satunya, tapi simbol dari kegagalan sistemik yang dibiarkan tumbuh subur oleh para pendahulunya.

Dalam Manusia di Panggung Sumekolah, biografi intelektual Prof. W.J. Waworoentoe yang disunting oleh Prof. dr. Butje Moningka, Alex John Ulaen, Reiner Emyot Ointoe, dan lainnya, kita melihat potret seorang akademisi yang menjadikan ilmu sebagai panggilan hidup, bukan sekadar jabatan. 

Bandingkan dengan hari ini, ketika gelar akademik lebih sering digunakan sebagai tameng untuk menyembunyikan ambisi pribadi dan transaksi kekuasaan.

John Horgan(65), jurnalis sains dan mantan editor di Scientific American, dalam The End of Science: Facing the Limits of Knowledge in the Twilight of the Scientific Age(1996;2005) mengulas: 

„Institusi akademik dan universitas semakin tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik, menjadikan riset sebagai industri, bukan pencarian kebenaran atau lembaga pendidikan tinggi telah berubah menjadi birokrasi yang menghambat eksplorasi bebas dan mendalam.“

Sementara, Tom Nichols(65), profesor di U.S. Naval War College dan dan pakar kebijakan publik asal Amerika Serikat, telah lama mengabarkan kematian epistemik: ketika para ahli tak lagi dipercaya, dan para pemegang gelar tak lagi layak dipercaya. Unsrat adalah cerminan dari kematian itu. 

Nichol mengatakan Institusi pendidikan dan universitas kehilangan wibawa, karena keahlian dianggap tidak lagi relevan dalam perdebatan publik. Bahkan bahaya populisme dan politik identitas, yang sering menolak fakta ilmiah demi kepentingan ideologis.

Nichols memperingatkan, „ jika tren ini terus berlanjut, maka masyarakat akan kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan dan bukti, dan akan terjebak dalam kebisingan opini yang tidak berdasar.“

Di kampus ini pun, Unsrat, keahlian tak lagi dihormati, dan jabatan akademik tak menjamin integritas. Meski, tentu, jabatan rektor bersama strukturnya tetap jadi inceran dan arena rebutan.

Ketika seorang rektor berada di balik jeruji, kita tak hanya kehilangan seorang pemimpin. Kita kehilangan harapan bahwa universitas bisa menjadi tempat lahirnya perubahan. 

Tapi mungkin, justru dari balik jeruji itulah kita bisa mulai membangun ulang: bukan dengan retorika, tapi dengan keberanian untuk menolak kompromi, dan mengembalikan universitas pada marwahnya sebagai rumah ilmu, bukan sarang intrik.

Dengan kata lain, jika sejarah Unsrat mengajarkan sesuatu, maka pelajaran itu adalah: kampus bukan milik rektor, bukan milik partai, bukan milik birokrat. Kampus adalah milik akal sehat. Dan akal sehat, seperti kata Jaspers, hanya bisa hidup dalam kebebasan.

*Ditulis dengan mengacu pada berita: https://manadopost.jawapos.com/berita-utama/286715666/breaking-news-kejati-sulut-tahan-eks-rektor-unsrat-bersama-dua-orang-lainnya-terkait-kasus-bantuan-bank-dunia. 

#coversongs: Lagu „University Days" dirilis 10 Juli 2024 dengan label dan platform davidkien top music. Komposer & penulis lirik Faizan Naim, seorang komposer dan produser musik yang aktif di ranah digital.

„University Days" adalah refleksi nostalgia tentang masa-masa kuliah yang penuh semangat, kebebasan, dan pencarian jati diri. 

Meskipun liriknya bersifat instrumental atau minimalis, nuansa musiknya membawa pendengar ke suasana festival dan progresif dan menggambarkan euforia, pertemanan, dan transisi menuju kedewasaan. 

Lagu ini menyentuh tema universal: bagaimana kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang membentuk kenangan dan identitas.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.