![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Pada keramik tanpa nama itu kulihat kembali wajahmu/Mataku belum tolol/ternyata untuk sesuatu yang tak ada/Apa yang berharga pada tanah liat ini selain separuh ilusi?/Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi” — Goenawan Mohamad(84), Kwatrin tentang Sebuah Poci(1973).
Ketika menerbitkan The Evolution of Culture(1959), Leslie White(1900-1975) hendak menegaskan bahwa kebudayaan berkembang melalui peningkatan energi yang dikendalikan oleh manusia dan digunakan untuk memperbaiki kehidupan.
Dengan kata lain, White ingin menunjukkan bahwa semua bentuk budaya, dari yang paling sederhana hingga paling kompleks, berkembang karena peningkatan kapasitas manusia dalam mengakses dan mengendalikan energi.
Ia menyusun rumus terkenal: “Budaya berevolusi seiring dengan meningkatnya jumlah energi yang dimanfaatkan per kapita per tahun, atau seiring dengan meningkatnya efisiensi sarana untuk memanfaatkan energi tersebut.”
Artefak budaya, sebagai manifestasi konkret dari kebudayaan, tidak hanya mencerminkan kebutuhan praktis, tetapi juga nilai, simbol, dan struktur kekuasaan yang menyertainya.
Evolusi artefak bukan sekadar transformasi bentuk, melainkan pergeseran paradigma dalam cara manusia berinteraksi dengan dunia dan dirinya sendiri.
Perubahan benda-benda rumah tangga seperti rantang menjadi tupperware, poci menjadi dispenser, dan cawan nasi menjadi magic jar hingga pengocok telur berubah blender adalah contoh nyata dari evolusi artefak budaya dalam ranah domestik.
Rantang, yang dahulu menjadi simbol keteraturan dan kehangatan keluarga, kini digantikan oleh tuperwer yang steril, modular, dan berorientasi pada efisiensi.
Poci, dengan estetika tradisional dan ritual menyeduh yang kontemplatif, tergeser oleh dispenser yang cepat, dingin, dan mekanistik.
Cawan nasi, sebagai wadah yang menyimpan bukan hanya makanan tetapi juga memori kolektif, kini digantikan oleh magic jar yang menyimpan panas tetapi menghapus makna.
Transformasi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia merupakan bagian dari reproduksi industri budaya yang massif, di mana desain, fungsi, dan citra dikendalikan oleh logika pasar dan estetika kapital.
Dalam The Order of Things pertama kali diterbitkan bahasa Prancis dengan judul: Les Mots et les Choses(1966) dan versi bahasa Inggrisnya(1970), Foucault tidak membahas artefak budaya secara langsung seperti antropolog atau sejarawan seni.
Akan tetapi ia mengungkap bagaimana benda, praktik, dan pengetahuan dikonstruksi dalam sistem klasifikasi dan wacana yang berlaku pada suatu zaman.
Ia menunjukkan bahwa perubahan dalam cara kita memahami dan mengelompokkan dunia—termasuk benda-benda budaya—berakar pada perubahan dalam struktur epistemik, yaitu cara berpikir yang mendasari seluruh sistem pengetahuan.
Dalam The Order of Things(Pustaka Pelajar,2007),
Michel Foucault mengkritisi cara modernitas
mengklasifikasikan dan mengatur pengetahuan.
Lebih jauh Foucault mengulas: “Dalam budaya apa pun dan pada saat apa pun, selalu hanya ada satu episteme yang mendefinisikan kondisi kemungkinan semua pengetahuan”
Foucault pun menegaskan bahwa setiap zaman memiliki episteme—kerangka berpikir dominan—yang menentukan bagaimana benda-benda, termasuk artefak budaya, diberi makna dan fungsi.
Perubahan artefak budaya, seperti dari rantang ke tupperware, dari poci ke dispenser atau dari pengocok telur ke blender, bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat mengorganisasi pengetahuan, nilai, dan estetika.
Dalam konteks ini, Foucault mengajak kita untuk melihat bahwa benda-benda bukanlah entitas netral.
Mereka adalah produk dari sistem klasifikasi, relasi kekuasaan, dan wacana yang mengatur apa yang dianggap berguna, indah, atau bermakna.
Evolusi artefak budaya mencerminkan pergeseran dalam order of things—dari dunia yang diatur oleh kemiripan dan simbol, menuju dunia yang diatur oleh fungsi, efisiensi, dan reproduksi industri.
Dengan reproduksi artefak budaya tidak lagi lahir dari kebutuhan komunitas, tetapi dari kalkulasi citra dan konsumsi.
Desain bukan lagi ekspresi nilai, melainkan strategi branding. Fashion bukan lagi simbol identitas, melainkan siklus produksi gaya.
Demikian pula film bukan lagi narasi kolektif, melainkan algoritma visual yang dikurasi untuk pasar global.
Dekonstruksi terhadap artefak budaya mengungkap bahwa benda-benda rumah tangga yang tampak remeh sebenarnya menyimpan jejak ideologi.
Tupperware bukan hanya wadah, tetapi simbol mobilitas perempuan dalam ekonomi domestik yang dikomodifikasi.
Dispenser bukan hanya alat, tetapi representasi dari kecepatan dan efisiensi yang menghapus ritus dan relasi.
Magic jar bukan hanya pemanas, tetapi metafora dari teknologi yang menggantikan keintiman dengan kenyamanan.
Alat pengocok telur tradisional, seperti pengocok kawat atau sendok kayu, menuntut keterlibatan tubuh, ritme tangan, dan kesabaran.
Ia bukan hanya alat, tetapi bagian dari ritual memasak yang menyimpan nilai-nilai seperti ketekunan, kehangatan keluarga, dan keterampilan tangan.
Ketika blender menggantikan alat tersebut, terjadi efisiensi luar biasa: waktu dipangkas, tenaga diminimalkan, dan hasil lebih konsisten.
Namun, dalam proses itu pula, sebagian makna simbolik dan pengalaman sensorik turut tergerus.
Blender, dalam hal ini, menjadi artefak budaya yang mengandung paradoks: ia mempermudah hidup, tetapi juga menjauhkan manusia dari pengalaman langsung dengan proses.
Ia mempercepat produksi, tetapi juga mengaburkan nilai dari keterlibatan personal.
Dalam konteks industri budaya, blender adalah bagian dari estetika rumah tangga modern yang dikurasi oleh iklan, desain produk, dan narasi gaya hidup.
Ia bukan lagi sekadar alat dapur, tetapi simbol status, gaya hidup, dan bahkan identitas.
Dengan demikian, evolusi alat pengocok telur menjadi blender mencerminkan bagaimana benda-benda sehari-hari menjadi medan tafsir budaya.
Ia menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya soal fungsi, tetapi juga tentang bagaimana manusia membentuk dan dibentuk oleh benda.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat, mungkin pertanyaannya bukan hanya “alat mana yang lebih efisien,” tetapi juga “apa yang hilang ketika kita mengganti tangan dengan mesin.”
Lebih lanjut, Leslie White melihat evolusi budaya sebagai proses yang dipicu oleh teknologi, tetapi Foucault mengingatkan bahwa teknologi tidak netral. Ia membawa serta struktur kekuasaan, klasifikasi, dan eksklusi.
Dalam konteks ini, evolusi artefak budaya harus dibaca sebagai medan tarik-menarik antara kebutuhan manusia dan logika industri.
Lain pula, dengan artefak budaya seni desain, modelling, fashion, advertensing hingga sinematografi maupun showbizz musik menjadi arena di mana makna diproduksi, dikonsumsi, dan dilupakan.
Refleksi filsafat kebudayaan atas evolusi artefak bukanlah nostalgia terhadap masa lalu, tetapi kritik terhadap masa kini.
Ia mengajak kita untuk melihat benda-benda — padat kedap atau dingin bising di sekitar kita bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai teks yang bisa dibaca, ditafsirkan, dan dipertanyakan.
Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh citra dan kecepatan, mungkin kita perlu kembali ke poci, bukan untuk menolak dispenser, tetapi untuk mengingat bahwa air panas pun bisa menjadi ritus, bukan sekadar fungsi.
#covermusic: “Luxury Witch Lifestyle Theme Song" oleh Ascended Frequencies dirilis pada 13 Mei 2025.
Musik ini merupakan bagian dari Club Witchery Antarean Edition 1, sebuah proyek musik multidimensi yang menggabungkan frekuensi spiritual, astrologi kosmik, dan gaya hidup esoterik.
Komposisinya tidak hanya berfungsi sebagai musik latar, tetapi sebagai frekuensi yang dikodekan secara visual dan sonik, dirancang untuk menyelaraskan pendengarnya dengan Antarean Frequency—salah satu dari 13 frekuensi benih kosmik menurut sistem spiritual yang digunakan oleh Ascended Frequencies.
Frekuensi ini dikaitkan dengan tanda Scorpio dalam astrologi kosmik dan dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran multidimensi, kekuatan feminin, dan kemewahan spiritual.
Makna komposisinya berpusat pada gagasan bahwa gaya hidup "witch" modern bukan hanya tentang estetika atau ritual, tetapi tentang aktivasi energi, resonansi pribadi, dan manifestasi realitas melalui suara dan citra.
Instrumentalia ini mengajak pendengarnya untuk memasuki ruang vibrasi tinggi, di mana kemewahan tidak hanya berarti materi, tetapi juga kesadaran, intuisi, dan kekuatan batin.

