![]() |
Oleh: Duski Samad
Marah sama tikus, jangan rangkiang yang di bakar (Pepatah Minang).
Maknanya bila hanya satu orang atau kelompok yang salah, jangan semua orang atau daerah yang disalahkan.
Tulisan ini adalah materi podcast penulis dengan Kementerian Agama berkaitan dengan tuduhan, stigma dan image yang dikesankan oleh media sosial Sumatera Barat intoleran dengan insiden yang terjadi beberapa waktu lalu.
Narasi intoleransi keagamaan yang dilekatkan pada Sumatera Barat kerap mencuat dalam liputan media, lebih lagi media sosial, saat terjadi gesekan terkait perizinan rumah ibadah non-Muslim.
Artikel ini bertujuan membantah klaim tersebut dengan pendekatan historis, sosiologis, dan komparatif.
Berdasarkan dokumentasi sejarah, eksistensi gereja di Sumatera Barat telah berlangsung lebih dari satu abad tanpa konflik struktural yang signifikan. Budaya lokal Minangkabau yang berakar pada falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah terbukti memelihara kerukunan antarumat beragama. Studi ini menyimpulkan bahwa Sumbar bukan daerah intoleran, melainkan wilayah dengan sistem harmoni terkelola melalui kearifan lokal dan struktur sosial-religius yang kuat.
Label “daerah intoleran” terhadap Sumatera Barat seringkali mengemuka secara general ketika muncul kasus-kasus yang bersifat insidentil, seperti persoalan rumah ibadah atau kegiatan keagamaan komunitas minoritas. Namun demikian, perlu dipertanyakan, apakah tuduhan tersebut berdasar pada fakta sosial dan historis yang valid? Ataukah hanya merupakan pembentukan opini melalui framing media?
Studi ini meninjau kembali relasi antarumat beragama di Sumatera Barat dengan fokus pada eksistensi gereja dan komunitas Kristiani selama lebih dari satu abad, menggunakan pendekatan sejarah sosial dan teori sosiologi agama.
Dalam kerangka sosiologi agama, kerukunan tidak berarti tiadanya perbedaan, melainkan adanya mekanisme sosial untuk mengelola perbedaan secara damai (Berger, 1990). Clifford Geertz (1973) menyebut bahwa budaya adalah sistem simbolik yang membentuk makna hidup bersama. Di Minangkabau, simbol utama itu adalah falsafah ABS-SBK yang menyatukan adat dan agama dalam satu sistem nilai.
Konsep toleransi substantif (Hefner, 2001) menekankan pentingnya perjumpaan antar kelompok dalam kerangka dialog, bukan hanya keberadaan secara pasif.
Temuan dan Pembahasan
Sejarah Panjang Gereja di Sumatera Barat
Beberapa gereja tua di Sumbar mencerminkan sejarah panjang toleransi:
Gereja Katolik St. Leo Agung Padang (1928)
Gereja GPIB Bukittinggi dan Sawahlunto (sejak 1930-an)
Gereja Kristen Protestan dan HKBP di Kota Padang dan Solok (1950–1970)
Selama lebih dari satu abad, gereja-gereja ini berdiri dan berfungsi secara legal tanpa pernah menjadi sumber konflik besar.
“Tuduhan intoleransi akan mudah terpatahkan hanya dengan membaca jejak sejarah eksistensi gereja dan komunitas Kristiani yang hidup damai berdampingan dengan masyarakat Muslim di Sumbar.” (Wawancara dengan Pdt. M. P., 2024)
Kerukunan Terkelola melalui Falsafah ABS-SBK
Falsafah Minangkabau tidak menolak kehadiran kelompok lain, namun menekankan pada harmoni sosial. Tokoh adat dan ulama memiliki peran sentral dalam menyelesaikan gesekan sosial. Misalnya, dalam kasus-kasus di Padang dan Solok, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah antara ninik mamak, tokoh agama, dan pihak gereja.
“Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik” — perbedaan selalu dicari mufakatnya.
Studi Perbandingan dan Kerukunan Nasional
Dibandingkan dengan daerah lain:
Sumbar tidak memiliki sejarah konflik berdarah antaragama seperti Ambon atau Poso.
Tidak ada rumah ibadah yang dibakar, apalagi penyerangan gereja.
Kasus-kasus rumah ibadah lebih dominan terkait regulasi administratif.
Hasil survei Setara Institute (2019–2023) pun tidak menempatkan Sumatera Barat secara konsisten dalam kategori daerah paling intoleran. Sebaliknya, daerah-daerah urban besar yang multikultural seperti Jakarta, Bekasi, dan Bogor lebih sering muncul dalam laporan kasus intoleransi terbuka.
Simpulan
Fakta sejarah, kearifan lokal, dan praktik sosial menunjukkan bahwa Sumatera Barat bukanlah daerah intoleran. Narasi intoleransi yang muncul cenderung merupakan generalization fallacy akibat insiden lokal yang terangkat secara nasional. Masyarakat Minangkabau, melalui falsafah ABS-SBK, justru memiliki modal sosial kuat dalam menjaga harmoni dan keberagaman agama.
Rekomendasi
1. Pemerintah dan media perlu menghindari generalisasi dan memahami konteks lokal dalam peliputan kasus antaragama.
2. FKUB dan tokoh lintas agama perlu memperluas program pendidikan kerukunan berbasis kearifan lokal.
3. Komunitas gereja dan minoritas agama juga perlu membuka ruang dialog dan menjalin silaturahmi sosial dengan masyarakat sekitar.
4. Akademisi dan peneliti disarankan membuat lebih banyak studi lokal tentang harmoni agama di luar narasi dominan nasional.
Daftar Pustaka
Berger, P. L. (1990). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Anchor Books.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
Hefner, R. W. (2001). Public Islam and the Problem of Democratization. Sociology of Religion, 62(4), 491–514.
Setara Institute. (2023). Indeks Kota Toleran. Jakarta: Setara Press.
FKUB Provinsi Sumatera Barat. (2024). Laporan Tahunan Kerukunan Umat Beragama. Padang.
Wawancara dengan Pendeta dan Tokoh Gereja Sumbar, Mei–Juli 2025.
*Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat dan Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang

