Type Here to Get Search Results !

Unsur Alam dan Kreativitas Penyair Oleh Anto Narasoma

*ALAM dan manusia, merupakan unsur kehidupan yang tak dapat dipisahkan dari satu dengan lainnya. Sebab, pada dasarnya Allah SWT itu menciptakan sesosok manusia (Adam) dari sekepal tanah hitam (alam) yang merupakan bagian dari alam*.

---------------

Dalam kaitan kehidupan manusia, alam selalu terbuka memberikan berbagai kebutuhan hidup. Justru manusialah terkadang "zalim" terhadap alam sekitarnya. Begitukah? 

Bumi yang kita pijak, bagi setiap nyawa masih betah menghuni sepotong jasad kita, ia (bumi : tanah) selalu "ikhlas" menerima apa yang kita lakukan untuknya. Kita cangkul, kita bongkar tanah di ladang kita, kita rusak karena galian tambang, bahkan kita kencingi dan kita kotori dengan ampas makanan yang berbau busuk, bumi (tanah) selalu diam dan ikhlas menerima perlakuan yang tidak adil tersebut. 

Membaca puisi penyair Gimien Artekjursi bertajuk *"Nyanyian dari Negeri Mimpi"*, keterikatan dengan alam di sekitarnya sangat membekas dalam setiap kalimat yang ia rangkai.

Dari alinea pertama penyair menjelaskan gemuruh perasaannya ketika ia menghadapi suasana (politik) yang dinilainya hanya perkembangan "tipu-tipu".

Bagi penyair, kabar baik terkait perkembangan ekonomi, serta situasi sosial, semata-mata hanya untuk menyenangkan hati belaka. Coba kita simak pada alinea pertama...

_gemuruh negeri kami karena mimpi/ bagai pesta sorgawi/ memabukkan kesadaran/ bernyanyi di angin, di atas kemarau_

Dari uraian yang digagas penyair, tema alam dan kehidupan sosial begitu kuat membangkitkan gambaran tentang suasana negerinya (Indonesia).

Dari simbol-simbol kata, objek keceriaan sosial itu ia kaitkan dengan mimpi. _gemuruh negeri kami karena mimpi_

Entah, apakah esensi yang penyair tangkap 

di dalam ide dan gagasannya itu hanya untuk memuaskan perasaannya? Tapi alur personifikasi dalam puisinya itu diutarakan secara abstraksi.

Coba kita simak secara utuh puisi bertajuk *Nyanyian dari Negeri Mimpi* ini...

_gemuruh negeri kami karena mimpi/ bagai pesta sorgawi memabukkan kesadaran/ bernyanyi di angin, di atas kemarau_

_dan serupa bocah kau menyapa kami yang lelah/ mengantar jiwa-jiwa ke padang perburuan/ waktu sesekali berhenti menghitung kerdip mata kami/ yang menyimpan kantuk semalam bagi bumi_

_sampai pagi : yang tampak hanya sebaris kabut/ bintang-bintang dan angin, bertiup lebih dingin di rumput kering_

_dan serupa bocah kau menyapa kami/ serupa bocah kau menyapa/ dan turut mengantar kami yang lelah mengubur diri/ tanpa cinta di kesunyian semesta_

Secara tematik, orang-orang (rakyat) disajikan sejumlah kemajuan, lewat produk mobil (esemka), pembangunan ibukota yang hingga saat tak memiliki kabar yang signifikan.

Menurut penyair, berita-berita terkait tentu mengandung unsur kegembiraan yang menciptakan suasana surga (_bagai pesta sorgawi memabukkan kesadaran_).

Tapi setelah penguasa itu turun jabatan, persoalan itu hanya bias dan sunyi (_tanpa cinta di kesunyian semesta_ : bait terakhir)

Sebenarnya, dikotomi seperti ini merupakan alur kata (diksi) yang berkaitan dengan pedekatan kejiwaan dan pendekatan falsafah.

Meski seringkali isi puisi digambarkan secara tersamar, namun tiap puisi, isinya harus diungkap secara estetik. Karena semua itu dicoba penyair melalui pendekatan hakikat dan metode rasa (feeling and intention).

Kata-kata konkret seperti ini merupakan usaha yang perlu dikemukakan penyair melalui topik pembahasan secara kompleksitas ke dalam pokok pikiran pembaca.

Harus diakui, memang banyak penyair yang mengungkap nilai-nilai imajinasinya secara tersamar. Meski demikian, perlu kita pahami bahwa tiap pembaca dituntut untuk lebih kreatif disaat menangkap unsur kata sebagai objek literal yang diungkap penyair.

Harus diakui, penyair memang mempunyai sikap dan pandangan tertentu sebagai objek persoalan yang harus diungkapnya di dalam puisi ini.

Karena itu dalam tulisannya, penyair Gimien memiliki makna yang lebih dari sekadar literal, seperti bunga yang melambangkan cinta atau kehidupan.

Namun Gimien juga menyatakan bahwa unsur perbandingan dari tuntutan orang-orang (rakyat) yang menginginkan kemajuan negara dirasakan sepenuhnya oleh rakyat. Namun demikian, apa yang diharapkan itu merupakan mimpi panjang dari penguasa pembohong yang selama menjabat hanya janji-janji tak terbukti (kasus mobil esemka, misalnya).

Penyair Gimien Artekjursi selalu mempraktikkan frasa sebagai daya ungkap yang memiliki makna ganda. Ini bentuk estetika puitik dalam menerjemahkan ide dan gagasannya ketika menangkap persoalan yang berkembang di luar dirinya.

Dengan memahami konsep uraian seperti itu, kita bisa diajak untuk lebih memahami dan menganalisis puisinya sesuai peristiwa sejarah, atau mitos yang diungkap di dalam puisinya.

Kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Di satu sisi, ia ada kelebihan, tapi dari sisi-sisi lainnya, kita banyak sekali kelemahannya.

Karena itu kita berharap agar penyair Gimien Artekjursi harus benar-benar memahami penggunaan kata yang tepat (diksi pilihan) untuk melepaskan kepekaan kita dari unsur kekeliruan.

Misalnya, pada bait pertama dari puisinya, penyair menggunakan kata sorgawi (_bagai pesta sorgawi_ dst). Jika kita teliti di kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) unsur kata itu bukan sorgawi tapi surgawi (surga bukan sorga).

Barangkali itu saja yang harus diresensi, semoga puisi ini bisa memberikan kecerdasan bagi nilai-nilai kreativitas kita. Sukses ! (*)

Palembang

24 Juni 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.