Type Here to Get Search Results !

Tak Putus Dirundung Kebohongan

oleh ReO Fiksiwan

"Handle nur nach derjenigen Maxime, durch

die du zugleich wollen kannst, dass sie ein

allgemeines Gesetz werde." — Immanuel Kant(1724-1804), Grundlegung zur Metaphysik der Sitten(1785).

Dusun Ketahun, tak jauh dari kota Bengkulu, Mansur dan Lamina jadi yatim piatu, setelah ditinggal mati kedua orangtuanya.

Setelah luntang-lantung, Mansur dan Lamina, akhirnya ditampung bibi mereka, Jepisah dan suaminya, Madang.

Belum berkalang waktu, suami Jepisah, Madang mulai unjuk keaslian wataknya. Kedua yatim piatu dari keluarga miskin ditindas.

Walhasil, hingga mereka hijrah ke Bengkulu dan bekerja pada toko rpti milik seorang toke, lagi-lagi kemalangan mendera mereka. Sarmin preman kekar setempat sangat mengusik mereka.

Begitu juga, Darwis yang disangka baik dan menolong, ternyata punya niat memperkosa Lamina. 

Mansur masuk penjara karena dituduh mencuri, Lamina, takut akan gelagat Darmin, menghilang entah kemana?

Tragis. Setelah memilih untuk berlayar, Mansur sakit dan mati tenggelam.

Itu akhir, Tak Putus Dirundung Malang. Sebuah roman Angkatan Pujangga Baru dari Sutan Takdir Alisjahbana dan terbit 1926.

Analogi roman ini saya ambil kronologis tokohnya sebagai problem eksistesial yang akut. Mansur hingga wafat, mirip mitologi Sysiphus dan punya protetip tokoh-tokoh politik kontemporer kita.

Hanya saja, takdir pergulatan Mansur dengan dorongan eksistensial „Das Sein“ harus menerima takdir tragis. Bukan akibat kebohongan. Tapi, sikap antagonis tokoh lainnya.

Sementara para tokoh politik kita yang real, watak mereka didorong oleh „Das Haben“ agar memupuk tiada akhir eksistensial kepalsuan mereka. Entah langsung atau tidak dan terang-terangan. 

Sebagai pemantik, roman ini relevan dengan kondisi sosial masyarakat hari ini. Ada tokoh keluarga penindas, Madang, preman Sarmin, buzzer Darmin dan filantropi, Toke dan Datuk Halim.

Dalam kehidupan sehari-hari, realitas eksistensial dihadapkan pada situasi di mana kebenaran dan kejujuran dibenturkan pada politik tipu daya dan kepalsuan. Atau, Barnes menyebut sebagai model sosiologi kebohongan, a pack of lies(Qalam,2005).

Menyisir gelombang kebohongan dengan eskalasi tak terbendung, penting dan urgen untuk mengeksplorasinya, sedikit-banyak dari perspektif filsafat etika Immanuel Kant, seorang filsuf besar Jerman, pencetus pikiran murni dan praktis dengan teori etika deontologisnya.

Menurut Kant, tindakan kita, deontologis, harus dinilai berdasarkan pada prinsip-prinsip moral universal yang dapat dijadikan sebagai hukum universal. 

Prinsip ini, "Imperatif Kategoris" dirumuskan Kant: "Bertindaklah hanya menurut kaidah yang kamu peroleh, seraya pada saat yang sama timbul keinginan bahwa itu akan menjadi hukum universal(ein allgemeines Gesezt)."

Sebagai pseudo-etis, kepalsuan(Unehrlichkeit) — Kant lebih suka memakai kata, Lüge(kebohongan) atau Wahrhaftigkeit, yang dimaksud dengan Imperatif Kategoris dapat diinterpretasikan:

„Jika kita berbohong atau memalsukan sesuatu, kita tidak dapat mengingini bahwa kebohongan atau kepalsuan itu menjadi hukum universal.“

Ini bisa dianggap imperatif kategorisnya.

Oleh karena itu, kepalsuan maupun kebohongan tidak dapat dijadikan sebagai prinsip moral universal secara eksistensial.

Bagi Kant, menekankan pentingnya motivasi dalam menentukan moralitas suatu tindakan, merupakan tindakan yang dilakukan karena kewajiban moral memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada tindakan karena motif-motif lainnya seperti kepentingan pribadi atau keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.

Alasan lain, jika kita berbohong karena takut akan konsekuensi atau karena ingin mencapai tujuan tertentu, maka tindakan kita tidak memiliki nilai moral yang tinggi.

Namun, jika kita berani untuk mengatakan kebenaran meskipun itu sulit atau tidak populer, maka kita menunjukkan kekuatan moral dan integritas.

Dalam menghadapi kepalsuan, kita harus mempertahankan integritas moral kita dengan berpegang pada prinsip-prinsip moral universal dan melakukan tindakan yang sesuai dengan kewajiban moral kita. 

Seperti dikatakan Kant, „kita harus bertindak berdasarkan pada prinsip-prinsip moral yang dapat dijadikan sebagai hukum universal.“(Bandingkan Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, 1987).

Dengan demikian, kita dapat membangun kepercayaan dan kerja sama dalam masyarakat dan menunjukkan kekuatan moral kita dalam menghadapi kepalsuan dan berbagai kebohongan yang diproduksi lewat medium informasi tak terbatas dan distortif.

Dalam kata-kata Kant sendiri, "Kita harus melakukan apa yang kita tahu adalah benar, dan membiarkan konsekuensi menjadi apa pun yang terjadi.“

Untuk itu, Kant pada 1797 menulis artikel "Über ein

vermeintes Recht aus Menschenliebe zu lügen"(Tentang Hak yang Dikira untuk

Berbohong karena Kemanusiaan) yang mengatakan:

„Die Lüge ist Wegwerfung und gleichsam

Vernichtung seiner Menschenwürde."

"Kebohongan adalah pengabaian dan seolah-

olah penghancuran martabat manusia."

Pasalnya lagi, tegas Kant:

„Lügen ist unter keinen Umständen gerechtfertigt, auch nicht, wenn die Absicht darin besteht, anderen zu helfen oder negative Konsequenzen zu vermeiden.“

„Kebohongan tidak dapat dibenarkan dalam

situasi apa pun, bahkan jika tujuannya adalah

untuk membantu orang lain atau menghindari

konsekuensi negatif.“

Boleh jadi, ini prinsip fundamental imperatif kategori yang menolak semua jenis kebohongan!

Apatah dari mobil ajaib esemka, 11.000 triliun di kantong, 10.000.000 lapangan kerja, menolak hutang luar negeri, keluarga dilarang berpolitik hingga ijazah pasar Pramuka?

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.