![]() |
Tulisan Jacob Ereste yang berjudul “Dalam Beragam Pepatah Suku Bangsa Nusantara Jelas Menyiratkan Nilai Spiritual dan Religius” mengandung apresiasi penting terhadap kekayaan budaya lisan Nusantara. Namun sayangnya, tulisan ini cenderung mengaburkan dua konsep yang secara ontologis dan epistemologis sangat berbeda: pepatah dan falsafah. Kesalahan ini bukan sekadar kelalaian linguistik, tetapi dapat menyebabkan miskonsepsi mendalam dalam memahami struktur berpikir budaya dan warisan lisan berbagai suku bangsa.
---
1. Pengaburan Konsep: Pepatah ≠ Falsafah
Jacob Ereste tampaknya menyamakan pepatah dengan falsafah, bahkan menyebut bahwa pepatah mengandung “kandungan filsafat” dan menjadi semacam sistem nilai mendalam masyarakat. Ini adalah generalisasi yang bias dan reduktif. Ia menulis:
> "Lantaran itu kandungan filsafat dari pepatah yang dijadikan motto atau pegangan hidup ini memiliki nilai spiritual yang tinggi."
Pernyataan ini menunjukkan kekeliruan epistemik: bahwa segala sesuatu yang bernilai spiritual otomatis bersifat filosofis. Padahal, pepatah bersifat retoris, singkat, dan seringkali hanya menyasar konteks sosial-etik tertentu; sedangkan falsafah adalah sistem nilai konseptual yang mendalam, yang dapat mencakup struktur berpikir metafisis, kosmologis, hingga etika eksistensial.
---
2. Kekeliruan dalam Fungsi Sosial dan Budaya
Jacob menyatakan bahwa pepatah membentuk karakter dan bahkan melandasi sistem hidup masyarakat, misalnya dalam kalimat berikut:
> “Begitulah pepatah yang membentuk karakter, meskipun konsepsi awalnya pepatah itu sendiri berasal dari karakter bawaan sejak turun temurun.”
Di sini, Jacob gagal membedakan bahwa pembentuk karakter pada masyarakat bukanlah pepatah itu sendiri, melainkan sistem nilai atau falsafah hidup yang lebih dalam, yang kemudian diungkapkan atau dipadatkan menjadi pepatah. Pepatah hanyalah ekspresi verbal dari filsafat yang lebih luas. Misalnya:
Pepatah Minangkabau: “Alam takambang jadi guru”
Falsafah Minangkabau: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”
Keduanya memiliki kedalaman makna yang berbeda. Yang satu adalah nasihat kontekstual; yang lain adalah sistem nilai ontologis dan normatif.
---
3. Kesalahan dalam Menyandarkan Falsafah pada Kalimat Retoris
Ketika Jacob menyatakan:
> “Syahdan, menurut para cerdik cendekia, pepatah akan mengajarkan kepada siapa saja yang ingin mengambil inisiatif positif untuk memperbaiki keadaan...”
Ia seolah menempatkan pepatah sebagai pendidik moral utama, padahal fungsinya lebih tepat sebagai penguat, pengingat, atau justifikasi dari norma yang sudah ada. Falsafahlah yang membentuk kerangka berpikir mengapa suatu tindakan dianggap baik, sedangkan pepatah hanya menyampaikan bagaimana tindakan itu dipahami dalam bentuk simbolik atau metaforis.
---
4. Mengabaikan Struktur Kognitif Budaya
Dalam struktur kebudayaan masyarakat tradisional di dunia, pepatah dan falsafah memiliki posisi yang berbeda dalam sistem transmisi pengetahuan:
Aspek Pepatah Falsafah
Wujud Metafora singkat, retoris Pandangan hidup menyeluruh, sistem nilai
Fungsi Pedoman praktis, kontekstual Landasan etis, kosmologis, dan spiritual
Transmisi Turun-temurun dalam dialog informal Diajarkan melalui sistem adat, ritus, dan kosmologi
Contoh "Alon-alon asal kelakon" "Sangkan paraning dumadi" (Jawa – asal-usul dan tujuan hidup)
Jacob tidak menempatkan diri dengan hati-hati untuk menyelami struktur berpikir ini, melainkan mencampuradukkan keduanya dan menjadikan pepatah seolah sebagai tonggak utama filsafat hidup, padahal ia hanyalah percikan dari api yang lebih besar—yakni falsafah kolektif suku bangsa.
---
5. Akibat Fatal: Menyesatkan Pemahaman Kebudayaan
Jika pandangan Jacob Ereste disebarkan tanpa koreksi, maka akan terjadi absolutisasi pepatah dan pengkerdilan falsafah tradisional. Ini membahayakan dalam beberapa aspek:
Secara akademik, membingungkan peneliti dalam membedakan mana ekspresi nilai dan mana dasar nilai itu sendiri.
Secara budaya, menjadikan masyarakat hanya menghafal “kata-kata bijak” tanpa memahami akar nilai, struktur adat, dan sistem kosmologi yang melandasinya.
Secara pendidikan, generasi muda hanya akan diajarkan kutipan, bukan keberpihakan nilai-nilai substansial yang menyusun dunia makna nenek moyangnya.
---
6. Koreksi Penting untuk Pelestarian Tradisi Lisan
Tulisan Jacob Ereste mestinya dikritik bukan untuk merendahkan niatnya dalam mengangkat pepatah, tetapi untuk menyelamatkan tradisi lisan dari pengaburan makna. Dalam ranah studi antropologi budaya dan filsafat perenial, pemisahan yang tegas antara pepatah (proverb) dan falsafah (philosophical worldview) adalah fondasi epistemologi tradisi itu sendiri.
Pepatah adalah jendela.
Falsafah adalah lanskap yang terlihat darinya.
Jangan disangka jendela itulah seluruh dunia.
---
Rekomendasi untuk Jacob Ereste:
1. Jika ingin membahas pepatah, fokuslah pada kekuatan retorika dan fungsinya dalam komunikasi kultural.
2. Jika ingin menyentuh wilayah falsafah, lakukan kajian mendalam tentang sistem nilai dan struktur berpikir komunitas adat.
3. Jangan mencampuradukkan antara ekspresi dan esensi, antara lisan dan hakikat — karena budaya akan kehilangan akarnya jika daun dan batangnya dianggap sama.
Sumatera Barat,2025