![]() |
Oleh: Duski Samad
Kerukunan terkelola yang dimaksud tulisan ini dapat dipahami sebagai kondisi harmonis antarindividu maupun antarumat beragama yang dicapai melalui perencanaan, regulasi, dan pengelolaan secara sadar oleh negara, masyarakat, dan tokoh agama, bukan sekadar terjadi secara alami atau spontan.
Konsep kerukunan terkelola menekankan bahwa kerukunan bukan hanya hasil dari toleransi individual, tetapi buah dari manajemen sosial, kebijakan, dan kearifan lokal yang terstruktur.
Unsur Penting Kerukunan Terkelola adalah Regulasi dan Kebijakan yang Jelas.
Mengacu pada hukum, seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang rumah ibadah atau regulasi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).
Adanya aturan yang mengatur hak, kewajiban, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Keterlibatan Institusi dan Tokoh, FKUB, pemerintah daerah, tokoh agama, ninik mamak/adat, dan masyarakat berperan sebagai mediator, fasilitator, dan pengambil keputusan.
Meminimalkan dominasi pendekatan keamanan semata, beralih ke pendekatan dialog dan mediasi.
Kearifan Lokal dan Nilai Budaya di Sumatera Barat falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dapat dijadikan basis harmoni sosial.
Musyawarah mufakat (bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat) sebagai mekanisme sosial.
Sistem Pengawasan dan Respons Cepat.
Kerukunan dikelola dengan sistem deteksi dini (early warning) terhadap potensi konflik. Ada protokol mitigasi agar gesekan kecil tidak berkembang menjadi konflik terbuka.
Edukasi dan Kesadaran Bersama. Pendidikan toleransi dan literasi keberagaman di sekolah, kampus, dan media.
Penguatan moderasi beragama sesuai program Kementerian Agama.
Bedanya dengan Kerukunan Alami:
Kerukunan alami tercipta dari kebiasaan sosial, hubungan emosional, atau ikatan adat tanpa intervensi formal.
Kerukunan terkelola: hasil dari rekayasa sosial, aturan formal, mediasi, dan pembinaan yang berkelanjutan agar stabilitas sosial lebih terjamin.
Diyakini bahwa daerah seperti Sumatera Barat ini mestinya dilakukan kerukunan terkelola secara lebih baik dan berkelanjutan.
Goncangan kisruh antar umat lintas agama di Padang Sarai Kota Padang, Ahad, 27 Juli 2025 ternyata membawa dampak luas dan menyisakan luka sosial yang bisa saja terjadi di tempat lain dan skala tertentu. Dapat pula dikatakan itu residu dari kerukunan yang tak terkelola.
Kerentanan harmoni dan mudahnya terjadi gangguan umat lintas agama adalah indikasi belum cukup kuat pengendalian dan kontrol terhadap kerukunan.
Kerukunan antarumat beragama di Sumatera Barat menghadapi tantangan khas dikarenakan dominasi mayoritas Muslim (lebih 95%), dinamika pembangunan rumah ibadah, serta potensi gesekan yang mudah terekspos di media sosial sehingga beresonansi nasional dan global.
Situasi ini menuntut model kerukunan terkendali, bukan sekadar harmoni alami, tetapi dikelola melalui kearifan lokal,instrumen hukum, dan pendekatan sosiologis agar stabilitas sosial tetap terjaga.
Analisis sosiologi agama, dan regulasi hukum yang relevan untuk merumuskan strategi dan program kerukunan di Sumatera Barat adalah langkah penting yang mesti menjadi perhatian penentu kebijakan dan pegiat kerukunan.
Teori Konflik (Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf) menjelaskan bahwa konflik dipandang sebagai gejala sosial yang wajar dan dapat berfungsi positif jika dikelola (Coser).
Konflik muncul karena ketimpangan kekuasaan dan distribusi sumber daya (Dahrendorf). Dalam konteks Sumatera Barat, konflik antarumat sering berakar pada dominasi mayoritas yang sering tidak dipahami oleh minoritas, persepsi diskriminasi, dan lemahnya mekanisme komunikasi.
Sosiologi Agama (Émile Durkheim dan Peter Berger) menegaskan bahwa
Agama mestinya berfungsi sebagai integrator sosial (Durkheim), akan tetapi juga bisa menjadi pemicu konflik bila identitas kelompok dipolitisasi.
Fenomena pluralisme menuntut pengelolaan institusi dan narasi agar tidak terjadi othering terhadap minoritas.
Filosofi dan nilai ABS-SBK dapat berperan sebagai mekanisme integratif khas Minangkabau.
Regulasi Hukum dan Kebijakan seperti
UU No. 39/1999 tentang HAM menjamin kebebasan beragama.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang pedoman rumah ibadah.
Perda dan Pergub di Sumbar yang berbasis ABS-SBK dapat menjadi instrumen lokal untuk mediasi.
Peran FKUB sebagai forum resmi penguatan kerukunan berdasarkan peraturan pemerintah.
Analisis dan Pembahasan
Faktor Pemicu Konflik
Ketidakseimbangan persepsi hak beribadah dan penataan rumah ibadah.
Stigma mayoritas-minoritas dan framing media sosial.
Lemahnya pemahaman regulasi dan literasi kerukunan di akar rumput.
Kerukunan Terkendali sebagai Solusi
Mengkombinasikan pendekatan budaya (ABS-SBK), peran kelembagaan (FKUB, Pemda), dan penegakan hukum.
Strategi ini mencegah konflik kecil berkembang menjadi krisis nasional.
Program Strategis
Sekolah Damai dan literasi kerukunan di lembaga pendidikan.
Tim Mediasi Cepat FKUB dengan jaringan nagari.
Kampanye media untuk menyejukkan opini publik.
Trauma healing dan rekonsiliasi adat bagi korban konflik.
Penyusunan Perda Kerukunan berbasis ABS-SBK.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kerukunan di Sumatera Barat harus dikelola (terkendali) melalui sinergi teori konflik (untuk memahami dinamika), sosiologi agama (untuk merumuskan peran budaya dan agama), dan regulasi hukum (untuk memberi kepastian dan legitimasi).
Diperlukan penguatan FKUB dan musyawarah nagari sebagai aktor kunci.
Pendidikan, literasi, dan media positif wajib diarusutamakan untuk mencegah provokasi.
Perlu Perda Kerukunan berbasis ABS-SBK agar penanganan konflik memiliki dasar hukum yang kontekstual. DS.31072025.
*Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

