![]() |
ORASI BUDAYA PADA RAKERNAS LP3N DI MTI CANDUNG, 26 JULI 2025
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang saya muliakan Syekh dan Tuanku, ulama Perti pewaris ilmu,
Yang saya hormati para guru, akademisi, tokoh adat dan ninik mamak.
Yang saya banggakan, kader muda PERTI dan santri penerus perjuangan.
Di kaki Gunung Merapi, di hamparan bumi nan sejuk bernama Candung,
seabad silam, lahirlah sebuah gerakan peradaban bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah,
lahir bukan dari keinginan dunia, tapi dari panggilan langit dan tangisan umat yang haus ilmu, keadilan, dan harga diri.
Candung: Rahim Peradaban, Tempat Syekk, Tuanku dan Anak Siak Menyalakan Api Peradaban.
Di Candung ini, bukan hanya berdiri madrasah,
tapi berkumpul ulama yang menyulam ilmu dan amal,
menyatukan kitab kuning dengan semangat kebangsaan,
mengajarkan bagaimana Islam bukan sekadar ibadah,
tetapi kekuatan yang membebaskan manusia dari kezaliman.
Dari Candung pula, Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan sahabat-sahabatnya, menegakkan madrasah sebagai mercusuar,
mengirim tabligh ke seluruh pelosok, membentuk PERTI sebagai jalan tengah antara tradisi dan modernitas,
antara tasawuf dan nasionalisme, antara Minangkabau dan Islam sejati.
Kembali ke Candung: Bukan Nostalgia, Tapi Kesadaran
Hadirin yang dimuliakan Allah,
Kembali ke Candung bukan sekadar pulang kampung, bukan hanya reuni. Ia adalah kesadaran kolektif bahwa kita hampir kehilangan akar.
Bahwa di zaman gadget dan algoritma, kita sedang ditantang menjaga ruh keulamaan,
yang dulu tumbuh subur dari surau, dari madrasah, dan dari hati yang bening.
Candung memanggil kita, untuk menjemput semangat awal 20,
saat para tuanku bukan hanya berdakwah, tetapi juga bertani, menulis, memimpin,
menyatu dengan umat, bukan memisah.
Satu Abad PERTI: Saatnya Bangkit dan Menyala Lagi.
Saudaraku sekalian,
Di depan kita ada satu tonggak: 100 Tahun PERTI segera hadir.
Apa yang ingin kita wariskan kepada anak cucu kita?
Apakah kita biarkan PERTI menjadi nama kosong dalam buku sejarah?
Ataukah kita kobarkan kembali semangat itu dengan ijtihad baru?
Saya mengajak:
Bangun madrasah unggul dari Candung ke seluruh Nusantara.
Cetak kader ulama digital yang menguasai kitab dan teknologi.
Dirikan ekonomi mandiri berbasis wakaf, zakat, dan kewirausahaan syariah.
Jadikan PERTI gerakan kerukunan, dakwah, dan ilmu yang menyatukan.
Menyalakan Cahaya dari Titik Nol setelah haru biru oleh sejarah zaman.
Wahai para pewaris surau,
Wahai generasi penerus Syekh, Tuanku dan Anak Siak.
Mari kita nyalakan kembali pelita ilmu dari Candung, jadikan ia titik nol kebangkitan PERTI, dengan semangat ilmu yang membebaskan, akhlak yang menenangkan, dan iman yang mencerahkan.
“Dari Candung kita bermula.
Dari Candung kita membangun peradaban kedua.” Satu Abad PERTI (1928–2028) adalah awal baru, bukan akhir.
TELAAH ILMIAH
Orasi Budaya Bapak Duski Samad yang berjudul "Kembali ke Candung: Menjemput Semangat Awal 20 Menuju Satu Abad PERTI". Seperti di atas
adalah seruan yang kuat dan penuh makna, menggali akar sejarah dan identitas PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) di Candung, Sumatera Barat, untuk membangkitkan kembali semangat awal menghadapi tantangan di masa kini dan mendatang. Orasi ini secara implisit mengandung dimensi ilmiah, sosiologis, dan antropologis yang dapat diuraikan lebih lanjut.
1. Kajian Sosiologis:
Mengurai Struktur Sosial, Gerakan, dan Perubahan
Orasi ini memiliki beberapa poin penting yang dapat dikaji dari perspektif sosiologis:
Pembentukan Gerakan Sosial Keagamaan (PERTI):
Orasi menyebutkan PERTI lahir "bukan dari keinginan dunia, tapi dari panggilan langit dan tangisan umat yang haus ilmu, keadilan, dan harga diri." Ini mencerminkan teori gerakan sosial, di mana munculnya suatu organisasi atau gerakan seringkali dipicu oleh kondisi sosial yang tidak memadai, ketidakadilan, atau kebutuhan spiritual/intelektual yang tidak terpenuhi dalam masyarakat. PERTI muncul sebagai respons terhadap kebutuhan umat akan pendidikan Islam yang terorganisir dan ajaran yang relevan dengan zaman. Ini juga menunjukkan peran pemimpin kharismatik (Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan sahabatnya) dalam menggalang dukungan dan mengarahkan gerakan.
Peran Madrasah sebagai Agen Sosialisasi dan Mobilitas Sosial:
Disebutkan bahwa di Candung, ulama "menyatukan kitab kuning dengan semangat kebangsaan, mengajarkan bagaimana Islam bukan sekadar ibadah, tetapi kekuatan yang membebaskan manusia dari kezaliman." Madrasah PERTI tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai agen sosialisasi yang menanamkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan pembebasan. Dalam konteks historis, madrasah seringkali menjadi jalur mobilitas sosial bagi masyarakat pinggiran atau yang kurang mampu, memberikan akses pendidikan yang mungkin tidak mereka dapatkan dari sistem pendidikan kolonial.
Dinamika Tradisi dan Modernitas:
Orasi menyoroti PERTI sebagai "jalan tengah antara tradisi dan modernitas, antara tasawuf dan nasionalisme, antara Minangkabau dan Islam sejati." Ini adalah cerminan dari fenomena modernisasi dalam masyarakat tradisional, di mana ada upaya untuk mengadaptasi nilai-nilai dan praktik-praktik lama dengan tuntutan zaman baru. PERTI berhasil memadukan kekayaan tradisi keilmuan Islam (kitab kuning dan tasawuf) dengan semangat kebangsaan yang modern, serta mengintegrasikan identitas lokal (Minangkabau) dengan identitas keagamaan (Islam). Ini menunjukkan kemampuan adaptasi dan resiliensi suatu organisasi sosial dalam menghadapi perubahan.
"Kembali ke Candung" sebagai Refleksi Kolektif dan Revitalisasi Identitas:
Seruan "Kembali ke Candung bukan sekadar pulang kampung, bukan hanya reuni. Ia adalah kesadaran kolektif bahwa kita hampir kehilangan akar." Ini adalah panggilan untuk refleksi kolektif dan revitalisasi identitas. Dalam sosiologi, krisis identitas sering terjadi ketika suatu kelompok mulai kehilangan koneksi dengan asal-usul, nilai-nilai inti, atau tujuan awal mereka. Seruan ini berupaya untuk membangun kembali solidaritas sosial dan memperkuat memori kolektif akan semangat pendirian PERTI, yang sangat penting untuk kelangsungan dan relevansi organisasi di masa depan.
Visibilitas dan Aksi Kolektif di Abad Kedua PERTI:
Ajakan untuk "Bangun madrasah unggul... cetak kader ulama digital... dirikan ekonomi mandiri... jadikan PERTI gerakan kerukunan, dakwah, dan ilmu yang menyatukan" adalah seruan untuk aksi kolektif dan transformasi sosial. Ini menunjukkan kesadaran akan kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi (ulama digital), membangun kemandirian ekonomi (wakaf, zakat, kewirausahaan syariah), serta memainkan peran aktif dalam menjaga kerukunan dan menyebarkan ilmu. Ini adalah upaya untuk mempertahankan relevansi kelembagaan PERTI di tengah masyarakat yang terus berkembang.
2. Kajian Antropologis: Memahami Nilai Budaya, Identitas, dan Praktik Keagamaan
Dari sudut pandang antropologis, orasi ini kaya akan makna Candung sebagai "Rahim Peradaban" dan Ruang Sakral:
Narasi tentang Candung sebagai tempat lahirnya PERTI, di mana "Tuanku menyalakan api," dan "berkumpul ulama yang menyulam ilmu dan amal," menunjukkan bahwa Candung bukan hanya sebuah lokasi geografis, tetapi memiliki nilai simbolis dan sakral. Dalam antropologi, tempat-tempat seperti ini seringkali dianggap sebagai pusat kebudayaan atau ruang keramat yang membentuk identitas kolektif suatu kelompok. Orasi ini berupaya untuk memperkuat ikatan emosional dan spiritual dengan "titik nol" ini.
Peran Ulama (Tuanku dan Syekh) sebagai Penjaga Tradisi dan Inovator Budaya:
Ulama digambarkan sebagai pewaris ilmu, yang menyatukan "kitab kuning dengan semangat kebangsaan." Ini menunjukkan peran mereka sebagai penjaga tradisi keilmuan sekaligus inovator budaya yang mampu menginterpretasikan dan menerapkan ajaran agama dalam konteks sosial dan politik yang berkembang. Mereka juga digambarkan sebagai sosok yang "bertani, menulis, memimpin, menyatu dengan umat," mencerminkan ideal ulama kharismatik yang tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sistem Pengetahuan Lokal (Kitab Kuning) dan Adaptasinya:
Penyebutan "kitab kuning" adalah representasi dari sistem pengetahuan lokal atau tradisional dalam Islam Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. Orasi ini menekankan bahwa kitab kuning tidak statis, melainkan dapat disinergikan dengan "semangat kebangsaan" dan "teknologi" (ulama digital). Ini menunjukkan dinamika bagaimana tradisi intelektual beradaptasi dengan perubahan zaman, alih-alih menjadi usang.
Konsep "Ruh Keulamaan" dan Kehilangan Akar:
Ungkapan "kita sedang ditantang menjaga ruh keulamaan, yang dulu tumbuh subur dari surau, dari madrasah, dan dari hati yang bening" adalah refleksi antropologis tentang penurunan nilai-nilai atau praktik budaya yang dianggap penting. "Ruh keulamaan" mengacu pada etos, moralitas, dan praktik kehidupan para ulama terdahulu yang dianggap ideal. Kekhawatiran "kehilangan akar" adalah cerminan dari dislokasi budaya atau alienasi yang terjadi akibat modernisasi dan globalisasi, di mana nilai-nilai tradisional terancam.
Identitas Minangkabau-Islam:
Penekanan pada "Minangkabau dan Islam sejati" menegaskan adanya identitas ganda atau hibrida yang kuat. Dalam antropologi, identitas semacam ini sering ditemukan di masyarakat yang memiliki sistem nilai lokal yang kuat dan bersentuhan dengan agama universal. PERTI berhasil mengintegrasikan kedua identitas ini, menunjukkan bagaimana keagamaan tidak terlepas dari konteks budaya lokal.
"Menyalakan Cahaya dari Titik Nol" sebagai Ritual Pembaharuan:
Orasi ini diakhiri dengan seruan untuk "menyalakan kembali pelita ilmu dari Candung, jadikan ia titik nol kebangkitan PERTI." Ini dapat diinterpretasikan sebagai ritual pembaharuan atau ritual transisi. Dalam antropologi, ritual seringkali digunakan untuk menandai perubahan, memperbarui komitmen, dan membangun kembali kohesi sosial setelah periode stagnasi atau krisis. Ini adalah upaya untuk merevitalisasi semangat dan arah bagi masa depan.
Kesimpulan
Orasi ini adalah sebuah karya yang mendalam, tidak hanya sebagai pidato inspiratif tetapi juga sebagai dokumen yang kaya akan makna sosiologis dan antropologis. Ia menggambarkan PERTI sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, agen sosialisasi nilai-nilai kebangsaan dan keislaman, serta contoh keberhasilan dalam memadukan tradisi dan modernitas.
Secara sosiologis, orasi ini mengajak untuk menganalisis dinamika organisasi sosial, kepemimpinan kharismatik, adaptasi kelembagaan, dan revitalisasi identitas kolektif dalam menghadapi tantangan zaman. Sementara itu, secara antropologis, orasi ini menyingkap pentingnya ruang sakral (Candung), peran ulama sebagai penjaga dan inovator budaya, adaptasi sistem pengetahuan lokal, serta upaya menjaga "ruh keulamaan" dan identitas kultural di tengah arus modernisasi.
Seruan "Kembali ke Candung" bukan sekadar nostalgia, tetapi sebuah ajakan ilmiah dan sosiologis-antropologis untuk merefleksikan kembali dasar-dasar, memperkuat identitas, dan merumuskan strategi baru agar PERTI dapat terus relevan dan memberikan kontribusi nyata dalam satu abad ke depan. DS.13072025.
*Wakil Ketua Umum PP PERTI dan Pembina LP3N

