![]() |
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Syekh Burhanuddin berfungsi bukan hanya sebagai institusi pendidikan tinggi keislaman, tetapi juga sebagai tungku budaya dan keulamaan yang menghidupkan nilai-nilai lokal dalam bingkai Islam. Dalam terminologi antropologi pendidikan, lembaga seperti ini disebut sebagai cultural-religious transmission center, yaitu lembaga yang mentransmisikan pengetahuan dan nilai keagamaan dalam bingkai budaya masyarakat setempat (Geertz, 1960; Azra, 2004).
1. Menghidupkan Tradisi Keilmuan Ulama Lokal.
STIT Syekh Burhanuddin merupakan warisan dari tradisi panjang tafaqquh fiddin yang telah dirintis oleh ulama-ulama tarekat dan kaum tuanku sejak masa Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1691). Ulakan merupakan pusat Islamisasi awal di Minangkabau yang menggabungkan ajaran tarekat Syattariyah dengan pemahaman fiqih dan tasawuf, menjadikan surau sebagai basis pendidikan informal. STIT melanjutkan tradisi ini dengan format akademik modern, namun tetap menekankan ta’dib, adab, dan spiritualitas dalam pendidikan (Al-Attas, 1991).
2. Menjaga Keseimbangan Adat dan Syarak.
Minangkabau dikenal dengan falsafah "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", sebuah sintesis harmonis antara adat lokal dan hukum Islam. Pendidikan di STIT Syekh Burhanuddin menjadi ruang pembelajaran bagi calon guru agama dan dai untuk menjadi penjaga nilai-nilai tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Burhanuddin Daya (1990), pendidikan Islam yang berhasil di Minangkabau adalah yang mampu berdialog dan berasimilasi dengan struktur adat dan sistem nilai lokal. Di sinilah STIT berperan sebagai mediator dan penerus nilai-nilai local wisdom dalam Islam.
3. Membentuk Karakter Kepemimpinan Spiritual dan Sosial.
STIT bukan hanya mencetak akademisi, tetapi membentuk “ulama muda nagari” yang siap tampil di surau, masjid, dan ruang publik. Konsep ini berakar pada paradigma pendidikan berbasis karakter profetik (Kuntowijoyo, 2006), yaitu membangun generasi yang memiliki tiga dimensi utama: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Mahasiswa STIT diarahkan untuk menjadi sosok yang visioner, mengakar pada nilai-nilai lokal, dan mampu berperan dalam pembangunan masyarakat.
4. STIT Sebagai Benteng Peradaban Islam Kultural.
Dalam konteks pendidikan tinggi keagamaan, STIT Syekh Burhanuddin dapat dikategorikan sebagai lembaga yang mengembangkan model "pendidikan tinggi Islam berbasis kultural", yang relevan dengan pendekatan Islamic indigenous education (Effendy, 2005). Model ini memadukan epistemologi Islam klasik dengan pendekatan kontekstual berbasis budaya lokal, sebagaimana juga dikembangkan oleh pesantren tradisional (Zamakhsyari Dhofier, 1982).
Kesimpulan Akademik
STIT Syekh Burhanuddin bukan hanya lembaga akademik, tetapi juga tungku nan tak kunjung padam, yang terus menyalakan ruh keulamaan dan kecendekiawanan Islam dalam balutan adat Minangkabau. Ia menjembatani antara warisan tradisi ulama dan tuntutan zaman, serta melahirkan generasi pendidik dan pemimpin yang siap menjaga peradaban Islam kultural di tengah perubahan global.
Referensi Ilmiah:
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The Concept of Education in Islam. ISTAC, 1991.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Kencana, 2004.
Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Studi Kasus Sumatera Barat. UGM Press, 1990.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. LP3ES, 1982.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. University of Chicago Press, 1960.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan, 2006.
Effendy, Bahtiar. Islam and the State in Indonesia. ISEAS, 2005.
*Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin