![]() |
“Itulah perkembangbiakan besar produksi semua jenis seni(alam), sebagai akibat pembagian kerja, yang menghasilkan, dalam masyarakat yang diatur dengan baik, kemakmuran universal yang menjangkau hingga ke lapisan masyarakat terbawah.” — The Wealth Of Nations, Book I, Chapter I, p. 22, para. 10.
Raja Ampat bukan sebuah legenda alam. Ia habitat luas ekologi biokultur bak kawasan swargaloka yang dihamparkan malaikat dari mega irisan nirwana.
Raja Ampat adalah fakta dan anugerah alam. Terhampar di sebuah kabupaten di ujung barat Pulau Papua, Indonesia.
Kini, lebih dikenal sebagai salah satu destinasi wisata alam bawah laut terbaik di dunia.
Keindahan dan kekayaan alamnya luar biasa dan menakjubkan dilihat dari selembar foto sekalipun.
Dari laporan Conservation International, Raja Ampat memiliki lebih dari 1.500 jenis ikan(1) dan 600 jenis karang(2), menjadikan perairan ini sebagai salah satu yang paling beragam di dunia.
Keindahan alam Raja Ampat tidak hanya terbatas pada keindahan bawah lautnya. Pulau-pulaunya menjulang tinggi. Tebung-tebing curam dan pantai-pantai yang indah menawarkan lanskap alam yang spektakuler.
Selain itu, hutan hujan tropis perawan menjadi rumah bagi berbagai jenis burung dan hewan endemik.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menunjukkan Raja Ampat memiliki sekitar 247 jenis burung, di mana 24 di antaranya adalah endemik Papua(3).
Kekayaan alam Raja Ampat juga tercermin dalam keanekaragaman hayati yang luar biasa. Banyak spesies yang belum teridentifikasi sebelumnya, terdapat di daerah ini.
Untuk itu, hanya dengan mengandalkan ekowisata, Raja Ampat tampak hendak ditutupi sebagai salah satu lokasi penelitian ilmiah bioekokogi buffer zone yang paling penting di dunia(Bandingkan Jared Diamond, Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed,2004).
Dirujuk lagi R.G. Allen dari sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Marine Biology, Raja Ampat memiliki tingkat endemisme tertinggi, dengan sekitar 30% spesies ikan yang hanya ditemukan di daerah ini dan tidak di tempat lain di dunia.
Dengan keindahan dan kekayaan alam yang luar biasa, Raja Ampat cuma diviralkan sebagai destinasi wisata yang paling natural dan eksotik.
Namun, penting diingat. Keindahan dan kemurnian alamnya sistem ekobiokultur perlu dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang.
Meski demikian, resiko diubah jadi kawasan industri ekstrak tambang nikel, mineral-mineral dan energi bumi lainnya sedang dipaksakan lewat kebijakan kerukan kekayaan bangsa.
Oleh karena itu, upaya dan advokasi konservasi dan pengelolaan yang berkelanjutan untuk melindungi kekayaan alam Raja Ampat, harus jadi tantangan keras dan berat para aktivis lingkungan.
Merefleksikan landskap Raja Ampat, sedikit atau berlimpah, pengetahuan kita akan kekayaan bangsa baru mencapai 244 tahun lebih bila dirujuk dari karya ekonomi klasik Adam Smith(1723-1790) pada An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations(1776).
Dikenal dengan teori 'invisible hand' dalam proses pengelolaan kekayaan bangsa. Smith membuat analogi bagaimana hubungan produsen dan konsumen terhadap daging sapi?
Dari peternak sapi, pedagang daging sapi hingga pembeli daging sapi terdapat penjelasan mata rantai 'keadilan' distributif profit-benefit antara produsen ‚invisible hand’ dan konsumen terhadap hakekat kekayaan dan asal-usul produksi.
Teori filsafat ekonomi bangsa klasik ini, kiranya masih relevan terus dikuak, dikulik dan dihadang dari eksploitasi non produktif.
Kekayaan bangsa kita — dikeplang dari pseudo-konstitusi — di aras lokal sejak reformasi 27 tahun silam, di tangan pemuja Raja Jawa despot, anak non biogen Papua, BL mau mengobrak-abrik dan meneruskan kebijakan ekonomi ekstrak di Raja Ampat yang berwatak “popular capitalism” sangat buruk(Lihat, John Redwood, 1988).
Jika kita membaca sejarah ekonomi kekayaan bangsa sejak kolonial lewat Furnival dan Boeke, penting untuk merefleksikan kekayaan bangsa di taraf lokal sejak kebijakan culturstelsel 1820.
Kebijakan populis via ‚bad capitalism’, sejauh ini telah dikuasai dan dirampok oleh para kapiltalis kroni-komprador seperti bisa dikutip kembali dari Kunio Yoshihara: The Rise of Ersatz Capitalism in South East Asia'(1988).
Sejauh apa hubungan budaya dan produksi tambang dengan investasi ekonomi ekstrak hasil kroni patron-client, oligarki-raja-praja?
Selama ini, apakah pengerukan sumber daya tambang itu telah memberi kemaslahatan bagi komunitas 'indigenous people'?
Atau, apakah produksi pertambangan secara ekonomi ikut menghidupkan 'kekayaan budaya bangsa'?
Hubungan produksi kekayaan bangsa ini dari perspektif ekonomi budaya dan alam, tampak belum pernah dihitung atau divaluasi secara obyektif?
Sementara antropologi ekonomi versi Smith lebih dari 200 tahun silam sudah punya argumen berikut:
„Konsumsi adalah satu-satunya tujuan dan maksud dari semua produksi; dan kepentingan produsen harus diperhatikan, hanya sejauh hal itu diperlukan untuk memajukan kepentingan konsumen.“ — The Wealth Of Nations, Book IV Chapter VIII, v. ii, p. 660, para. 49.
#bacaan lain:
(1) Allen, G. R. (2007). Fishes of the Raja Ampat Islands, West Papua, Indonesia. Marine Biology, 152(5), 1161-1173.
(2) Veron, J. E. N. (2000). Corals of the World. Townsville: Australian Institute of Marine Science.
(3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). Data dan Informasi Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta: KLHK.