![]() |
„Konsep daulah menjadi istilah standar bagi dinasti, rezim dan negara. Akibatnya, kesuksesan mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan berarti merupakan tanda bahwa seseorang atau sebuah keluarga mendapatkan berkah Tuhan, sehingga ia layak dan berhak mendapat dukungan moral.“ — Antony Black, The History of Islamic Political Thought(2001).
Setelah penaklukan Mekah oleh umat Islam pada delapan hijriah, 630 masehi, Abu Sufyan bin Harb, seorang pentolan Quraisy penentang risalah Rasul Muhammad, masuk Islam.
Kelak, ia menikahi Hindun binti Utbah, yang terkenal dengan tindakannya memakan jantung Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW, pada Perang Uhud, 625 M.
Dari pernikahan keduanya, Abu Sufyan dan Hindun, lahirlah Muawiyah bin Abu Sufyan, salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam sebagai pendiri Dinasti Umayyah di era kekalifahan Usman bin Affan.
Muawiyah bin Abu Sufyan memiliki beberapa istri, salah satunya, Maisun binti Bahdal, seorang wanita dari suku Kalb dan jadi ibu, Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah kedua penerus Dinasti Umayyah.
Maisun binti Bahdal memainkan peran penting dalam kehidupan politik daulah Muawiyah dan Yazid penerusnya.
Pernikahan kedua orang tua Yazid dianggap bagian dari strategi politik Muawiyah untuk memperkuat hubungan dengan suku Kalb dan meningkatkan kestabilan kekuasaannya.
Ketika Yazid naik tahta sebagai penerus politik daulah Muawiyah, ia memerintahkan gubernur Madinah untuk memaksa Husain bin Ali, putra Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah, untuk membaiatnya.
Namun Husain menolak. Yazid berang dan memerintahkan pasukan Umayyah untuk mengejar Husain dan membunuhnya.
Sejak itu, lahirlah tragedi Karbala sebagai hasil dari kebijakan Yazid dan tindakan pasukannya yang dipimpin Ubaidillah bin Ziad.
Kelak peristiwa Karbala, Irak, pada 10 Muharram tahun 61 H. atau 10 Oktober 680 M. merupakan pertempuran antara pendukung Husain bin Ali dengan pasukan Yazid dan menjadi pangkal penyulut tragedi politik daulah, terutama di kalangan syiah dan sunni.
Muawiyah memang memiliki kebijakan untuk mempertahankan kekuasaan dan kestabilan politik daulah Umayyah.
Dengan segenap kekuatan dan kalkulasinya, ia berusaha untuk menghilangkan potensi ancaman dari keluarga Ali bin Abi Thalib sebagai Ahlul Bait, pewaris daulah Rasullulah.
Politik Daulah dalam Islam, paska Nabi, oleh sejawaran Amerika turunan Yahudi, mendiang Leslie Hazleton(1945-2024), disebut pangkal sejarah epik politik daulah Sunni-Syiah(Lihat, After the Prophet: The Epic Story of the Shia-Sunni Split in Islam, 2009).
Meski politik daulah pasca Rasulullah tidak sepenuhnya diwariskan dari pertikaian politik antara Sunni dan Syiah, antara kedua kelompok ini turut berperan penting dalam sejarah politik daulah di dunia Islam.
Memang, sejarah politik daulah pasca Nabi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain:
/1/ Kewafatan Rasulullah SAW pada tahun 632 M yang meninggalkan kekosongan kekuasaan langsung memicu perdebatan tentang siapa yang seharusnya menjadi penerus beliau, khalifah?
/2/ Suksesi Khalifah tentang siapa yang seharusnya menjadi khalifah pertama, pasca Nabi, juga memicu perbedaan pendapat antara kaum Muslimin dan, hingga kini, terus menyulut pertikaian politik antara Sunni dan Syiah.
Remah-remah beratnya masih terasa dan terus menyaru di antara rudal-rudal Iran dan Israel, di Taheran dan Tel Aviv hari-hari ini. Mengenaskan!
/3/ Faktor-faktor politik dan sosial seperti kekuatan suku, asyhabiyah — yang pada abad-14 sudah ditebak sosiolog, Ibnu Khaldun — pun ekonomi dan geografi.
Kini, keniscayaan sejarah politik daulah nyaris tak bisa berhenti karena kebutuhan hasrat kuasa manusia mirip orang ingin bernafas segar. Meski dengan resiko darah tumpah ruah di bawah kematian sekalipun.
Sejarah pertikaian politik daulah, sebut saja, antara Sunni dan Syiah, meski tak lagi sepenuhnya faktor utama, politik daulah Islam pasca Rasulullah, penuh diwarisi oleh tiga sejarah politik daulah yang juga digenangi darah dan kematian.
Pertama, era Khulafaur Rasyidin. Dari empat khalifah daulah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib, tiga di antaranya, kecuali Abu Bakar, mati mengenaskan di tengah daulah mereka.
Kedua, Daulah Umayyah yang lahir dari arsitek politik pasca Nabi, Muawiyah bin Abu Sufyan hingga keturunannya terakhir, Abdurahman 1, yang selamat dari pembantaian politik Daulah Abbasiyah pada seluruh suksesor Muawiyah.
Abdurrahman I, cucu Hisyam bin Abdul Malik, yang melarikan diri ke Afrika Utara, kelak menjadi pendiri Daulah Umayyah di Cordova, Spanyol.
la menjadi pendiri dinasti Ummayah pada 756 M dan sebagai suksesor daulah Muawiyah yang justru di daratan yang tidak dikenakan prinsip daulah daral al-haram maupun daral al-harb, Eropa.
Terakhir, Daulah Abbasiyah yang diarsiteki Abu Abbas As-Saffah. Ia khalifah pertama
daulah ini, setelah menggulingkan Daulah
Umayyah pada 750 Masehi dengan gelimang darah dan mayat di bawah karpet istana daulah Muawiyah(Rujuk, Benson Bobrick, The Caliph's Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad, 2012).
As-Saffah merupakan keturunan dari Abbas bin Abd Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW.
Dia memiliki adik, Al-Mansyur, yang mewariskan prestasi daulah ini pada putranya, Al-Mahdi, hingga ke cucu dan cicitnya, Harun ar-Rasyid (786-809
M) dan Al-Ma'mun (813-833 M).
Kedua cucu dan cicit daulah Abbasiyah ini lah yang ikut merancang kencana daulah dengan dua prestasi dukungan institusi: baitul hikmah(house of wisdom) dan baitul mal(public treasury).
Meski masing-masing daulah memiliki karakteristik dan kebijakan yang berbeda-beda, sejarah pertikaian politik antara daulah-daulah merupakan petunjuk sejarah politik paling kelam.
Namun demikian, keniscayaan sejarah politik para daulah — meminjam terminologi dari sejarawan Bernard Lewis dalam The Political Language of Islam(1988) — merupakan sejarah perguliran kekuasaan paling sengkarut, nylimet dan paradoks.
Karena itu, sejarah politik daulah dari kapan pun, tidak lain, hasil pergumulan peradaban manusia yang sangat komplit dan kompleks dan disertai tafsir pelik dari anasir-anasir teologi, ideologi, rasionalisme hingga ke puncak pengaruh kuat deraan mileniaris sekaligus eskatologis.
Tapi, mau apa?
Ketika seluruh tafsir itu berujung pada politik hasrat libinal dan berada di luar kalkulasi sempit dan ambius dari 00,1 para daulah dunia hari-hari ini, jejak dan bercaknya pun hanya bisa diperoleh dari bekas darah dan mayat di sudut-sudut reruntuhan bangunan megah.
Entah di Taheran dan Tel Aviv, kini bercak dan bekas darah, maut dan mayat tinggal jadi abu sejarah yang gampang dilupakan oleh sindikat misterius praktek politik hampir seluruh daulah di dunia.
Sejarah politik daulah, akhirnya, memang harus ditulis ulang. Bukan dengan cacatan kemampuan rasionalisme paling ketat.
Tapi, dengan bekal hati yang harus terus dimuliakan ke tahap yang paling muskil dan tak terduga: eskatologis!