Type Here to Get Search Results !

Negeriku Kaya Raya, Tapi Banyak Pencuri Oleh Ririe Aiko

Negeriku, tanah yang katanya surga,

Bahkan konon tongkat kayu, batu pun bisa tumbuh menjadi tanaman. (1)

Kekayaan alam melimpah, dari ujung Sabang hingga Merauke:

emas di perut tanah Papua, sawit di Sumatera, nikel di Sulawesi,

dan laut yang tak pernah pelit memberi ikan.


Sayang, di negeri semakmur ini,

yang tumbuh subur bukan hanya hasil bumi,

tapi juga keserakahan manusia.


Kita tercengang bukan karena prestasi anak bangsa,

bukan pula karena revolusi pendidikan,

melainkan karena tumpukan uang Rp11,8 triliun 

yang dipamerkan seperti pameran seni rupa. (2)

Tentu, ini bukan seni biasa.

Ini seni mencuri.

Seni menyulap penderitaan rakyat

menjadi angka-angka di rekening pribadi.


Manusia-manusia hina itu,

barangkali bukan tak tahu arti dosa—

mereka hanya terlalu sibuk

menghitung nol di belakang saldo,

hingga lupa bahwa

neraka tidak menerima suap.


Mereka mencuri dari keringat rakyat—

dari orang tua yang sakit,

menggigil tanpa pengobatan layak,

dari anak-anak yang putus sekolah

karena harus ikut mencari nafkah,

dan dari para pejuang jalanan

yang digerogoti pajak

dengan penghasilan yang nyaris tak cukup

untuk hidup.


Di balik tembok rumah mewah

mereka tidur nyaman

dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung mahal

yang bahkan tak bisa disebutkan mereknya oleh rakyat biasa.

Sementara di sisi lain negeri,

ada keluarga yang tidur bergantian

karena rumah kontrakan mereka

tak cukup menampung seluruh badan.


Lucunya,

saat ditangkap mereka berkata:

“Saya hanya menjalankan perintah,”

atau “Saya tidak tahu itu salah.”

Seakan-akan mereka cuma korban,

bukan pelaku.

Seakan-akan Tuhan akan bersimpati

karena mereka tak sempat membaca Undang-Undang

saat mengisi koper berisi uang haram.


Andai saja,

Ya, andai saja setiap dosa itu terlihat,

mungkin semua manusia di negeri ini akan

takut berbuat dosa.


Andai saja,

Ya, anda saja, setiap tangan yang hendak mengambil uang rakyat,

selalu teringat ayat, hadist, atau sekadar bisikan nurani—

mungkin negeri ini tak perlu lagi membayar mahal

untuk baliho-baliho anti korupsi,

yang ironisnya dicetak oleh

pejabat yang masih melipat anggaran cetak.


Negeriku tidak miskin.

Rakyatku pun tidak malas.

Tapi beberapa pejabatnya terlalu rakus.

Mereka bukan sedang memperjuangkan masa depan bangsa,

melainkan memperpanjang masa depan rekening mereka.

Lalu mereka menyuruh rakyat bersabar,

berhemat, dan bersyukur.

Ya, bersyukur karena belum semua dicuri.


Kami seharusnya marah.

Tapi terlalu sering disakiti,

membuat kami jadi kebal.

Bahkan ketika uang Rp11,8 triliun

ditumpuk seperti tumpukan dosa,

kami cuma berdecak kagum.

Bukan karena keberanian hukum,

tapi karena terkejut:

Ternyata uang sebanyak itu

pernah ada di satu ruangan,

bukan di APBD.


Apakah semua ini akan berubah?

Entah.

Tapi selama kami diam,

manusia-manusia hina itu

akan terus hidup nyaman.

Sementara rakyat,

lagi dan lagi hanya bisa berangan.


---000---

CATATAN:

(1)Baris pembuka puisi ini terinspirasi dari lirik lagu legendaris “Kolam Susu” karya Koes Plus:

"Orang bilang tanah kita tanah surga / tongkat, kayu dan batu jadi tanaman." Lagu ini menyimbolkan kekayaan alam Indonesia yang luar biasa. Namun, ironinya, kemakmuran itu justru dirampas oleh perilaku korupsi elite bangsa.

(2) Kasus korupsi ekspor CPO oleh lima anak perusahaan Wilmar Group menyebabkan kerugian negara hingga Rp11,8 triliun, menjadikannya salah satu penyitaan terbesar dalam sejarah Kejaksaan Agung. (Detik.com, 2025)

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.