Type Here to Get Search Results !

Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh Oleh Denny JA

- Sebuah Puisi Esai

(Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mei 2025, Diplomat Palestina itu menangis, mengenang cucunya, dan 1300 anak-anak Palestina yang sudah dibunuh). (1)


Di ruangan megah itu,

dipenuhi para duta dari negeri-negeri berdaulat,

dengan jas rapi dan kalimat diplomatik,

seorang lelaki meninju meja.


Bukan karena marah semata,

tapi karena putus asa yang tak tahu lagi,

bagaimana cara menyentuh hati manusia.


Ia adalah Riyad Mansour,

tangan yang mewakili tanah yang terbakar,

tubuh yang membawa nama Palestina,

tapi di hari itu, ia bukan diplomat.


Ia hanya seorang kakek.

Dengan suara patah ia berkata:

“Saya punya cucu. 

Saya tahu apa arti mereka…”


Lalu ia terdiam.

Air matanya mendahului kata-kata.

Karena apa lagi yang bisa menjelaskan,

bagaimana 1300 anak-anak

dibunuh,

dengan tubuh kecil mereka

tak bisa lagi berlari ke pelukan siapa pun?


-000-


Apa arti kecanggihan AI,

jika tak membuat kita mampu mengenali

1300 suara tangis

anak-anak yang mati dari reruntuhan Gaza?


Apa arti peta dunia

dengan warna-warna negara super power,

jika tak satu pun warna itu berdaya

menolong 1300 anak- anak yang dibunuh?


Apa arti grafik pertumbuhan ekonomi

yang melonjak dari layar ke layar,

jika 1300 anak-anak dibiarkan

terhapus tanpa nama di tanah yang tak pernah tenang?


Apa arti katedral, masjid, vihara, dan sinagoga

yang gemerlap, penuh nyala lilin dan doa,

jika kita tetap diam

ketika 1300 jiwa kecil

diterbangkan tanpa alasan yang adil?


-000-


1300 anak mati pertama kali

karena bom.


Dan mati kedua kalinya

karena lapar dan penyakit.


Dan mati ketiga kalinya

karena kita semua memilih diam.


Mereka sempat

dimasukkan ke dalam puisi,

tapi puisi tak lagi bisa menggerakkan kita.


Gambar mereka viral,

tapi tak bertenaga menggugah kebijakan.


Tangis mereka

tak terdengar karena tenggelam

oleh bisingnya bursa saham.


Adakah suara

yang lebih nyaring dari jerit

seorang anak yang kehilangan ibunya

di bawah puing rumah?


Adakah doa

yang lebih tulus dari bisikan

anak yang mencoba

menenangkan adiknya yang berdarah?


-000-


Ketika Mansour menangis,

langit PBB hening

seperti padang pasir

di malam yang kehilangan bintang.


Ia tak lagi berpidato.

Ia menghidupkan luka,

sebagai satu-satunya narasi,

tak bisa dibantah siapa pun.


Ketika ia berkata,

“Api dan kelaparan melahap anak-anak kami!”

meja-meja itu menjadi batu nisan,

yang tidak sempat diukir

untuk mereka yang mati terlalu dini.


Para diplomat menunduk,

bukan karena setuju.

Mereka malu,

Betapa jauh hati mereka,

tertinggal dari realitas.


Sejarah akan menuliskan

dengan tinta darah:

“Di masa anak-anak dibunuh,

umat manusia memilih netral.”


-000-


Jika setelah 1300 anak-anak dibunuh

kita masih bisa tidur lelap,

masih bisa menyeruput kopi

dan menggulir berita lainnya,


maka mungkin,

yang mati bukan hanya mereka.


Tapi kita juga,

yang seolah hidup,

tapi hati kita sudah ikut mati.


Dan kelak, jika kita dikenang,

biarlah nama kita tercatat bukan sebagai pembela,

tapi sebagai saksi yang bungkam

saat masa paling memalukan

dalam sejarah manusia.***


Jakarta, 31 Mei 2025

CATATAN

(1) Diplomat Palestina itu menangis di PBB mengapa dunia diam saja membiarkan 1300 anak-anak Palestina mati dibunuh.

Palestinian UN envoy breaks down in tears over children dying in Gaza | News | Independent TV

-000-

Aneka puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World


https://www.facebook.com/share/16DzMdwqGe/?mibextid=wwXIfr

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.