![]() |
Kecerdasan spiritual itu adalah kemampuan melihat yang tidak maujud dengan mata batin lalu memberi respon terbaik untuk menerima atau menolaknya sesuai dengan bisikan jiwa. Begitulah kecerdasan spiritual dalam mendengar bisikan angin yang dikirim dari langit, bisa tertangkap jelas maksud dan kewajiban yang harus dilakukan, agar dapat memperoleh syafaat dan kebaikan untuk diri sendiri maupun bagi keluarga serta makhluk lainnya yang sekiranya perlu untuk diselamatkan dari malapetaka yang akan menimpa.
Begitulah kecerdasan spiritual perlu untuk terus diasah, agar mata hati dapat lebih peka merasakan apa yang hendak terjadi atau sesuatu yang mau dikatakan jauh sebelum semua maksud tersebut diucapkan. Fibrasi dari frekuensi yang mampu diterima bisa diterjemahkan sebaik mungkin, sehingga maksud dan isyarat dapat diterima dengan baik hingga dapat memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan bersama segenap alam lingkungan maupun situasi -- bahkan kondisi -- yang ada di dalam masyarakat sekitar, tiada terbatas dari jangkauan yang bisa dilakukan. Termasuk yang berada di luar akal pikiran manusia.
Dalam rumusan yang singkat dan paling sederhana, luasan dari kecerdasan spiritual itu berada pada kedalaman batin yang didukung oleh kerja otak (pikiran) yang tunduk pada bimbingan hati, sehingga tatanan etika, struktur moral hingga konstruksi akhlak yang mulia terbangun kokoh serta indah dalam konfigurasi seni yang tidak mampu ditulis oleh penulis, bahkan tidak mampu dilukis oleh maestro pelukis yang paling piawai sekalipun, apalagi sekedar untuk dibabarkan oleh akademisi yang tidak pernah memasuki fakultas ilmu spiritual, karena memang tidak ada perguruan tinggi yang mendedikasikan diri dalam bidang ilmu maupun ragam pengetahuan tentang Spritualitas.
Oleh karena itu, kecerdasan spiritual hanya mungkin mendapat pengakuan dari masyarakat, tiada gelar yang tidak perlu untuk membebani eksistensi diri dalam bentuk apapun. Karena itu pula, kematangan dari kecerdasan spiritual meliputi sifat dan sikap rendah hati -- ambeg para marta -- filosofis para leluhur yang bersikap bijak. Penuh nilai-nilai kebijakan, kebenaran dan kesederhanaan.
Atas dasar inilah sosok para pemimpin -- sebagai penentu dan pengambil kebijaksanaan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak -- perlu dan wajib memiliki kemampuan dan kecerdasan spiritual agar dapat dan mampu mengontrol diri sendiri supaya tidak melampaui batas dan menerabas hak-hak rakyat yang harus dan wajib dilindungi, diayomi dan mendapat perhatian sebagai wujud amanah yang memang harus dan wajib dilakukan.
Sebab hanya dari seorang pemimpin yang memiliki kemampuan dan kecerdasan spiritual yang mumpuni, nilai-nilai etika, moral dan akhlak mulia dapat diekspresikan melalui kebijakan program dan wujud nyata dari pelaksana keputusan yang dilakukan memiliki nilai-nilai yang bernas -- bermanfaat serta tidak menimbulkan kerusakan -- baik secara fisik maupun non fisik yang tidak kalah besar membuat dampak buruk bagi orang banyak.
Padahal, etika, moral dan akhlak yang buruk dari para pemimpin di negeri ini yang menjadi penyebab dari perilaku korup, penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang serta sikap rakus dan tamak, tak hanya untuk menggaruk kekayaan untuk dirinya sendiri, tetapi juga perilaku jahat untuk terus berkuasa tanpa batas, hingga mengangkangi hak dan kepentingan orang lain. Sebab kepongahan seorang pemimpin-- yang cuma mengandalkan otak -- akan keblinger bila tidak menggunakan hati.
Banten, 1 Juni 2025