![]() |
Saat kecil, saya masih mengingat betul: setiap akhir pekan, ada satu tontonan yang begitu saya nantikan di layar televisi keluarga kami. Di stasiun TVRI, wayang kulit disiarkan lengkap dengan suara gamelan yang mengalun syahdu, membelah keheningan malam. Lampu-lampu diredupkan, keluarga berkumpul, dan kami larut dalam dunia para ksatria, dewa, serta raksasa yang hidup dari balik kelir.
Wayang bukan sekadar hiburan; ia adalah dunia penuh nilai, filosofi, dan keindahan artistik yang memikat.
Salah satu tokoh legendaris yang membekas dalam ingatan saya adalah Ki Narto Sabdo, seorang dalang besar yang memiliki kharisma luar biasa. Dengan suara berat dan narasi yang puitis, Ki Narto Sabdo mampu menghidupkan karakter-karakter wayang hingga terasa nyata. Ia tidak sekadar memainkan lakon, melainkan juga menyisipkan sindiran sosial dan nilai moral dalam setiap pagelarannya. Tak heran, pertunjukan yang ia bawakan tidak hanya disimak, tetapi dirasakan: menghadirkan tawa, keharuan, hingga renungan mendalam.
Pada masa itu, kesenian wayang benar-benar menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat. Anak-anak hafal nama-nama tokoh seperti Arjuna, Werkudara, Srikandi, hingga punakawan seperti Semar dan Gareng. Wayang berfungsi sebagai hiburan sekaligus guru kehidupan, menyampaikan ajaran tentang kesetiaan, kejujuran, dan keberanian.
Namun, kini kita dihadapkan pada kenyataan yang getir.
Dalam era digitalisasi yang kian masif, anak-anak bangsa lebih akrab dengan karakter-karakter virtual dari gim daring, lebih banyak menghabiskan waktu menggulir TikTok, menonton YouTube, atau bermain gawai, dibandingkan mengenal cerita-cerita luhur dari Mahabharata, Ramayana, atau Panji. Nama Arjuna kini kalah tenar dibandingkan karakter anime atau superhero Barat.
Lebih miris lagi, banyak generasi muda saat ini bahkan tidak mengetahui apa itu wayang, apalagi memahami makna filosofis yang dikandungnya. Wayang terasa jauh, kuno, dan tidak relevan di mata sebagian besar anak muda.
Ini tentu menjadi tanda tanya besar:
Apakah kesenian tradisional sebesar wayang akan perlahan punah?
Tanpa regenerasi penikmat dan pelestari, serta tanpa adaptasi terhadap media baru, bukan tidak mungkin wayang hanya akan menjadi artefak budaya di museum atau sekadar bahan ajar di buku sejarah.
Meski demikian, harapan belum sepenuhnya sirna.
Beberapa dalang muda dan komunitas seni terus berusaha menghidupkan kembali wayang dalam berbagai format: pertunjukan daring, adaptasi animasi, hingga kolaborasi dengan musik modern. Namun, upaya ini membutuhkan dukungan nyata dari masyarakat, pemerintah, dan media, agar wayang dapat kembali menemukan tempatnya di hati generasi muda.
Kesenian wayang adalah cermin jiwa bangsa.
Jika kita kehilangan wayang, kita kehilangan sebagian identitas kita sendiri.
Kini, saat dunia bergerak semakin cepat, sudah saatnya kita menoleh ke belakang, bukan untuk menolak modernitas, melainkan untuk memberi ruang bagi tradisi luhur ini hidup berdampingan dengan zaman baru.
Wayang bukan hanya milik masa lalu. Ia mengandung nilai-nilai universal tentang perjuangan, cinta, kesetiaan, dan moralitas, yang tetap relevan hingga kini.