Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Masa Depan Pendidikan Dipertaruhkan: Perebutan Lahan SMAN 1 Bandung Adalah Luka untuk Anak Bangsa Oleh : Ririe Aiko

Di Jalan Ir. H. Juanda, Bandung, berdiri SMAN 1 Bandung, sebuah institusi pendidikan yang tak sekadar mencetak lulusan, melainkan membentuk arah bangsa. Di bawah rindang pepohonan yang menyimpan kenangan puluhan tahun, sekolah ini menjadi saksi lahirnya cendekiawan, budayawan, hingga pemimpin nasional. Kini, sekolah tersebut menghadapi gugatan hukum yang mengancam eksistensinya: perebutan lahan oleh sebuah yayasan yang mengklaim hak kepemilikan.

Dalam keputusan kontroversial di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, SMAN 1 dinyatakan kalah. Sertifikat Hak Pakai yang selama ini melindungi keberadaan sekolah dibatalkan atas gugatan Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK). Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menyatakan akan mengajukan banding, namun keresahan tetap membayang, terutama di antara siswa, alumni, guru, dan orang tua.

Menurut Deddy, Pengurus Komite SMANSA Bandung sekaligus alumni SMAN 1 Bandung Angkatan 1996, perjuangan ini tidak akan berhenti.

> "Kami elemen SMAN Satu Bandung akan terus melawan dan kami yakin menang. Ini bukan sekadar tentang lahan SMANSA, tapi tentang masa depan pendidikan di Indonesia. Kami akan terus bersuara, setiap hari hingga kami menang," tegas Deddy.

Suara itu menggema di hati ribuan alumni dan masyarakat Bandung. Sebab, yang dipertaruhkan bukan hanya sebidang tanah, melainkan simbol komitmen bangsa terhadap pendidikan sebagai hak dasar, bukan komoditas dagang.

Lekat cinta SMANSA tak hanya hidup di ruang kelas atau upacara bendera. Ia mengalir dalam syair yang diciptakan oleh alumninya.

Di Jalan Ir. H. Juanda,

di bawah rindang kenangan yang tak lekang zaman,

berdiri SMAN 1 Bandung,

sebuah nama yang bukan sekadar institusi pendidikan,

melainkan simbol perjuangan intelektual bangsa.

Sejarah panjang sekolah ini berakar sebelum republik berdiri. Menjadi bagian dari denyut perlawanan terhadap kolonialisme, SMAN 1 Bandung bukan hanya ruang belajar, tetapi medan perjuangan. Generasi pelajarnya belajar dari semangat Bandung, kota yang terkenal dengan keberanian melawan ketidakadilan.

Kini, semangat itu kembali diuji. Gugatan atas tanah yang strategis, dekat pusat kota dan bernilai ekonomis tinggi, menghadirkan pertanyaan besar: apakah ini murni soal hukum, atau ada motif tersembunyi di balik dokumen yang menggugat?

Apakah kelak lahan ini akan berganti wajah, menjadi hotel mewah atau pusat perbelanjaan, menghapus jejak sejarah pendidikan bangsa? Sebuah skenario lama dalam balutan skrip baru, di mana tanah pendidikan dialihkan demi keuntungan segelintir orang.

Pertanyaan itu bergema di hati banyak orang:

"Mengapa tanah yang telah mencetak ribuan anak bangsa ingin direbut atas nama dokumen yang mencurigakan? Di mana rasa kemanusiaan kalian? Apa rencana kalian sebenarnya?"

Narasi perjuangan ini bukan sekadar romantisme nostalgia. Ini tentang mempertahankan nilai. Ketika nilai dikalahkan oleh kepentingan, maka yang runtuh bukan hanya bangunan tua, melainkan fondasi bangsa itu sendiri.

Dalam orasi yang disampaikan pada Minggu, 27 April 2025, Nita Lusaid, Alumni SMANSA Angkatan 1987, menegaskan pentingnya memperjuangkan keberadaan SMAN 1 Bandung sebagai bagian dari hak dasar pendidikan rakyat Indonesia. Semangat perlawanan ini seirama dengan lirik lagu Iwan Fals yang kerap menjadi simbol protes terhadap ketidakadilan:

"Penindasan serta kesewenang-wenangan, Banyak lagi teramat, Banyak untuk disebutkan. Hoi! hentikan hentikan jangan diteruskan, kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan"

Lirik ini menjadi gambaran keresahan banyak pihak terhadap praktik-praktik yang mengorbankan nilai pendidikan demi kepentingan segelintir orang.

Orasi Nita, bersama gema lagu perjuangan itu, menegaskan bahwa pertarungan mempertahankan SMAN 1 Bandung adalah perjuangan mempertahankan martabat bangsa.

SMAN 1 Bandung adalah mercusuar pengetahuan, bukan sekadar tumpukan bata. Ia telah menjadi ibu dari ribuan mimpi besar, mimpi yang kini coba direnggut dengan secarik kertas tuntutan hukum.

Namun, para alumni, siswa, dan masyarakat tidak tinggal diam. Mereka menyadari, pertarungan ini lebih besar dari sekadar mempertahankan satu sekolah. Ini tentang mempertahankan keyakinan bahwa negeri ini dibangun dari kekuatan pendidikan, bukan dari permainan kekuasaan atas tanah dan gedung.

Mereka paham, yang dipertahankan bukan hanya bangunan, melainkan prinsip: bahwa pendidikan adalah hak, bukan ladang komersialisasi. Ini saatnya Bandung bersatu. Bukan hanya membela sekolah, tapi membela prinsip bahwa negeri ini dibangun oleh mereka yang belajar, bukan mereka yang memperjualbelikan tanah sejarah.

Perjuangan ini tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan. Sebab, sekali lagi, mereka yang berjuang untuk ilmu tidak akan pernah gentar menghadapi ketidakadilan.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies