Type Here to Get Search Results !

Perlawanan Terhadap Penguasaan Tanah Adat: Belajar dari Kasus Jawa Barat Oleh: Duski Samad

Kenyataan tentang pengakuan negara terhadap tanah ulayat dan atau tanah adat cukup banyak bukti hukum. Menangnya penguasaan tanah adat oleh pemangku adat Kuntu di Riau tahun 2012 adalah fakta hukum berpihaknya negara pada konstitusi negara. 

Kasus yang bersamaan dengan Kuntu ada di Jawa Barat.

Perlawanan Tanah Adat di Jawa Barat

Masyarakat adat di berbagai wilayah Jawa Barat—seperti Kasepuhan Cisitu, Cikondang, Ciptagelar, dan Karuhun Urang—telah lama memperjuangkan pengakuan atas tanah dan hutan adat yang diklaim negara sebagai kawasan hutan atau diberikan ke pihak ketiga (perusahaan/HGU).

Bentuk Perlawanan:

Penolakan terhadap klaim negara dan perusahaan atas tanah yang selama ini dikelola turun-temurun.Deklarasi wilayah adat secara mandiri oleh komunitas.

Gugatan hukum dan pelaporan ke Komnas HAM dan WALHI.

Konsolidasi dengan jaringan masyarakat adat (AMAN).

Contoh Kasus:

Kasepuhan Cisitu (Lebak, Banten – masuk wilayah budaya Sunda): Menolak program perhutanan sosial karena tidak sesuai dengan hukum adat mereka.

Menuntut pemerintah untuk mengakui hutan adat sebagai milik kolektif masyarakat adat.

Ciptagelar (Sukabumi):

Mengelola hutan adat secara berkelanjutan dan menolak proyek-proyek pembangunan yang merusak alam.Menolak klaim hutan negara di wilayah adatnya.

Dasar Hukum yang Digunakan:Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012: Hutan adat bukan hutan negara.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Mengakui desa adat. Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

Tantangan yang Dihadapi: Tidak adanya Perda pengakuan masyarakat adat di sebagian besar kabupaten/kota.

Konflik dengan kepentingan korporasi dan program negara (seperti food estate, tambang, atau HGU).Stigma dan kriminalisasi terhadap tokoh adat dan warga yang melawan.

Dampak Positif Perlawanan: Beberapa wilayah adat mulai diakui secara de facto dan de jure. Meningkatnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat adat. Terciptanya model pengelolaan tanah dan hutan berbasis adat yang terbukti lestari dan adil.

Analisa Hukum.

Dasar Konstitusional:

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menjadi landasan utama pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak atas tanah ulayat. Ini adalah jaminan konstitusional yang wajib ditindaklanjuti dalam kebijakan hukum nasional dan daerah.

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 memperjelas bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, tetapi milik masyarakat adat yang memiliki legitimasi historis dan kultural.

Instrumen Hukum Turunan: UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) membuka ruang pengakuan hak ulayat.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, memberi dasar hukum pengakuan desa adat sebagai subjek hukum publik.

Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) menjadi landasan normatif internasional bagi penghormatan terhadap masyarakat adat.

Tantangan Implementasi:

Banyak wilayah belum memiliki Perda pengakuan masyarakat adat, sehingga status hukum komunitas adat menjadi kabur.

Ketidakhadiran perangkat hukum daerah menjadikan hak ulayat rawan diserobot melalui HGU atau proyek nasional (misalnya food estate, tambang).

Praktik Perlawanan:

Masyarakat adat di Jawa Barat menempuh jalur hukum, mendeklarasikan wilayah adat, serta melakukan konsolidasi kelembagaan adat untuk memperkuat posisi hukum mereka.

Analisa Sosiologis

Identitas Kolektif dan Spirit Perlawanan:

Bagi masyarakat adat seperti Kasepuhan, Cikondang, Ciptagelar, tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi bagian dari identitas, spiritualitas, dan sistem sosial mereka.

Perlawanan terhadap klaim negara adalah resistensi terhadap pemusnahan identitas kolektif, bukan sekadar konflik agraria.

Perlawanan dari Bawah (Bottom-Up Resistance):

Tindakan komunitas mendeklarasikan wilayah adat mencerminkan proses emansipasi dan pemberdayaan masyarakat akar rumput.

Konsolidasi dengan jejaring seperti AMAN menunjukkan dinamika solidaritas komunitas adat lintas wilayah.

Sosial Konflik dan Kriminalisasi: Konflik tanah adat sering diiringi kriminalisasi tokoh adat, munculnya stigma “anti pembangunan”, dan marginalisasi komunitas adat dalam perencanaan pembangunan.

Negara seringkali memposisikan masyarakat adat sebagai penghambat investasi dan proyek strategis nasional.

Transformasi Sosial Positif: Perlawanan ini memicu kesadaran hukum, budaya, dan politik di kalangan masyarakat adat.

Terbangunnya model pengelolaan hutan dan tanah berbasis adat menjadi alternatif pembangunan berkelanjutan yang lebih adil secara sosial dan ekologis.

Kesimpulan

Perlawanan masyarakat adat terhadap penguasaan tanah adat di Jawa Barat mencerminkan perjuangan kolektif untuk mempertahankan hak historis, identitas budaya, dan kedaulatan atas sumber daya alam yang telah dikelola turun-temurun. 

Meskipun secara konstitusional dan melalui berbagai instrumen hukum—seperti Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012—negara telah mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak atas tanah ulayat, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan besar berupa ketiadaan regulasi daerah, tumpang tindih klaim, hingga kriminalisasi tokoh adat.

Namun demikian, gerakan perlawanan yang dilakukan oleh komunitas seperti Kasepuhan Cisitu dan Ciptagelar tidak hanya menunjukkan keberanian dan keteguhan masyarakat adat, tetapi juga membentuk model alternatif pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan berbasis nilai-nilai lokal. Melalui pendekatan hukum, konsolidasi sosial, dan penguatan kelembagaan adat, mereka berhasil memperjuangkan pengakuan atas wilayah adat secara de facto maupun de jure, sekaligus menginspirasi masyarakat adat lainnya di Indonesia.

Dengan belajar dari kasus Jawa Barat, semakin nyata bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap tanah adat bukan hanya keharusan hukum, tetapi juga tuntutan moral untuk menjaga keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan keberlangsungan budaya bangsa.ds.uj@ sikabu17052025.

*Pemerhati Adat Minangkabau 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.