Type Here to Get Search Results !

MTI dan Perti Perintis Sekolah Rakyat Oleh: Duski Samad

Ketika Seminar Internasional Pendidikan Perti di Pekanbaru 23 April 2025 lalu beredar di group whatshap Perti surat kabar tahun 1940 yang memuat 93 buah Madrasah Tarbiyah Islamiyah 66 buah ada di Sumatera Barat selebih adanya di Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Bengkulu. Dalam Seminar juga berkembang pandangan bahwa sebelum kemerdekaan RI 1945 MTI dan Perti memainkan peran penting dalam mendidik rakyat di pelosok-pelosok nagari, desa dan kampung, kini disebut pemerintah dengan Sekolah Rakyat. 

Pemerintah c.q Kementerian Pendidikan Nasional sedang mempersiapkan Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat adalah salah satu inisiatif yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) untuk meningkatkan akses pendidikan di Indonesia, terutama bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu atau tinggal di daerah terpencil. Program ini bertujuan untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang lebih terjangkau dan mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi anak-anak yang sebelumnya tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah.

Konsep Sekolah Rakyat berfokus pada pendekatan pendidikan yang lebih inklusif, dengan memperhatikan kebutuhan khusus masyarakat setempat. Biasanya, sekolah ini dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih fleksibel dalam hal waktu, biaya, dan kurikulum, agar dapat menjangkau sebanyak mungkin peserta didik di berbagai wilayah.

Selain itu, Sekolah Rakyat juga bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dalam pendidikan, mengurangi angka putus sekolah, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Program ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang lebih terdidik dan siap bersaing di era globalisasi.

MTI PELOPOR PENDIDIKAN RAKYAT MASA KOLINIAL

Di tengah arus kolonialisme dan keterbatasan akses pendidikan pada awal abad ke-20, muncul gerakan pembaruan Islam yang tidak hanya menghidupkan semangat keagamaan, tetapi juga membuka pintu pendidikan bagi rakyat. Gerakan itu terwujud satu di antaranya melalui pendirian Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)—sebuah lembaga pendidikan Islam yang menjadi pelopor perubahan sosial dan intelektual di Sumatera Barat, sekaligus simbol kebangkitan pendidikan rakyat.

MTI didirikan oleh ulama-ulama muda pembaru seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan tokoh lainnya, MTI lahir dari semangat untuk menggabungkan keilmuan klasik Islam (turats) dengan metode pendidikan modern. Berbeda dari surau tradisional yang bersifat informal, MTI menggunakan sistem kelas, kurikulum terstruktur, dan pengajaran yang lebih sistematis. Kitab-kitab kuning tetap menjadi inti, namun disajikan dalam nuansa akademik yang lebih terbuka dan progresif.

Menyadari perlunya wadah yang lebih besar untuk menopang visi besar ini, para pendiri MTI mendirikan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) pada 05 Mei 1928. PERTI bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga gerakan sosial-politik yang menjadikan pendidikan sebagai poros perjuangan. Melalui PERTI, jaringan MTI diperluas ke berbagai pelosok Sumatera dan Indonesia, menjangkau anak-anak dari keluarga biasa yang selama ini terpinggirkan dari pendidikan formal. 

MTI dan PERTI menjadi perintis sekolah rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Biaya pendidikan yang terjangkau, pengelolaan berbasis komunitas, dan semangat pelayanan umat menjadikan MTI sebagai harapan bagi masyarakat desa untuk meraih ilmu dan kemajuan. Lulusannya tak hanya menjadi ulama, tetapi juga guru, aktivis kemerdekaan, dan tokoh masyarakat yang mencerdaskan bangsa dari akar rumput, masyarakat nagari, desa dan kampung. 

Dalam lintasan sejarah, MTI dan PERTI membuktikan bahwa pendidikan bukan sekadar proyek negara, memerlukan uang banyak, fasilitas memadai, melainkan amanah umat. MTI dan PERTI menorehkan jejak bahwa transformasi sosial dimulai dari masjid, madrasah, dan semangat kolektif masyarakat. Hingga kini, MTI tetap berdiri kokoh, menjadi saksi bisu bahwa dari ranah surau, Indonesia pernah digerakkan oleh mimpi dan semangat kaum berilmu.

TRANSFORMASI MTI MENJADI PONDOK PESANTREN

Perubahan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) menjadi Pondok Pesantren tidak terjadi dalam satu waktu atau karena satu sebab tunggal. Namun, ada beberapa faktor penting yang menyebabkan kemunduran peran historis MTI dan transformasinya menjadi bentuk pendidikan yang lebih menyerupai pesantren. 

1. Perubahan Kebijakan Pendidikan Nasional

Setelah kemerdekaan, negara mulai mengambil alih peran besar dalam sistem pendidikan. Undang-undang dan regulasi pendidikan nasional mulai menstandarkan kurikulum, jenjang pendidikan, dan administrasi sekolah. Banyak MTI yang menyesuaikan diri dengan regulasi ini agar bisa mendapatkan izin operasional, dana bantuan, dan pengakuan ijazah. Dalam proses itu, mereka mengadopsi model pondok pesantren karena dianggap lebih sesuai dengan kerangka pesantren yang diakui pemerintah melalui Kementerian Agama.

2. Ketergantungan pada Figur Ulama Karismatik

MTI sangat bergantung pada figur-figur ulama besar pendirinya, seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Setelah wafatnya generasi ulama karismatik ini, banyak MTI yang kehilangan arah visi dan tidak mampu melanjutkan pembaruan metodologis. Kepemimpinan bergeser ke pola konservatif yang lebih menyerupai sistem pondok.

3. Lemahnya Regenerasi Intelektual dan Organisasi

Tidak semua MTI berhasil mencetak kader ulama intelektual progresif seperti generasi awal. Regenerasi yang stagnan membuat MTI cenderung kembali ke pola tradisional: fokus pada hafalan, pengajian kitab, dan pola asrama tertutup. Organisasi PERTI juga mengalami dinamika politik yang menggerus kekuatannya sebagai tulang punggung jaringan MTI.

4. Daya Saing dengan Lembaga Modern

Sekolah-sekolah umum dan madrasah negeri mulai menarik perhatian masyarakat karena dianggap lebih menjanjikan dari segi karier dan kelanjutan studi. MTI yang tidak melakukan inovasi kurikulum dan sistem kelembagaan akhirnya kalah bersaing. Untuk bertahan, banyak MTI mengadopsi format pondok pesantren salafiyah atau kombinasi, agar tetap relevan dan menarik santri.

5. Pengaruh Globalisasi dan Arus Islamisasi Baru

Kebangkitan gerakan transnasional dan wacana Islam global ikut memengaruhi arah pendidikan Islam di Indonesia. Beberapa MTI terdampak oleh gelombang salafisasi, yang lebih condong pada pendekatan konservatif dan meminggirkan warisan intelektual lokal khas MTI. Transformasi MTI menjadi pesantren bukanlah kegagalan, tetapi bentuk adaptasi terhadap perubahan zaman. Namun, perubahan ini sering kali mengikis karakter khas MTI: keterbukaan, keilmuan turats yang progresif, dan semangat pembaruan. Tantangannya kini adalah bagaimana menghidupkan kembali ruh MTI dalam dunia pesantren modern: dengan visi keumatan, keterlibatan sosial, dan intelektualisme Islam yang mencerahkan.

Alhamdulillah sejak tahun 2016 pasca ishlah atau rekonsiliasi internal PERTI dengan Tarbiyah, kini sudah utuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) arah organisasi dan MTI kembali pada tahap awal perjuangan Perti yaitu Pendidikan. Dua kali Muktamar, dua kali Rakernas, kegiatan Seminar Internasional Pendidikan Perti, Muzakarah Pimpinan Perti di Pondok Pesantren Nurul Azhar pimpinan Ustad Abdul Samad di Pekan Baru, terakhir Milad ke 97 di Pondok Pesantren Atthoriyal Al Fadiliyah di Bodang Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, telah dengan nyata mengkonsolidasikan kebangkitan pendidikan PERTI asli turas, keumatan dan intelektualisme Islam. 

STRATEGI MENGHIDUPKAN RUH MTI MASA KINI

Menghidupkan Ruh MTI: Membangun Pesantren Progresif Berbasis Turats dan Visi Keumatan. Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) bukan sekadar lembaga pendidikan; ia adalah manifestasi dari semangat pembaruan Islam yang berpijak pada turats (warisan ulama klasik) dan bergerak dinamis menjawab tantangan zaman. Kini, ketika sebagian besar MTI telah bertransformasi menjadi pesantren, tantangan kita adalah menghidupkan kembali ruh MTI—yakni nilai-nilai keislaman yang berpijak pada pencerahan, keterlibatan umat, dan keberanian berpikir merdeka.

1. Meneguhkan Visi Keumatan

MTI didirikan dengan niat tulus melayani umat. Maka pesantren hari ini harus kembali menjadikan umat sebagai pusat orientasi. Pendidikan tidak semata mencetak hafizh, tetapi juga kader pemimpin dan pemikir umat. Pesantren harus hadir dalam isu-isu sosial—kemiskinan, lingkungan, kesehatan, hingga demokrasi lokal. Santri dididik agar peka terhadap penderitaan rakyat dan mampu menjadi agen perubahan sosial. Pembiayaan pendidikan mesti terjangkau umat dan peduli pada mereka yang lemah dan tak mampu, orientasi benefit bukan profit.

2. Mengintegrasikan Keterlibatan Sosial dalam Sistem Pendidikan

Pesantren harus keluar dari temboknya, menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, seperti MTI di masa lampau. Program santri mengabdi di tengah masyarakat bahkan mereka tinggal di rumah-rumah penduduk dan membantu usaha masyarakat. Kolaborasi pesantren dengan petani, nelayan, UMKM, dan sekolah rakyat. Pesantren menjadi basis gerakan zakat, infaq, dan wakaf produktif untuk kesejahteraan bersama.

3. Menghidupkan Intelektualisme Islam yang Mencerahkan

Salah satu kekuatan MTI adalah semangat berpikir kritis terhadap teks dan konteks. Lazim sekali pada MTI mengkritik pembelajaran melalui muzakarah, muhadarah dan mubahasah. Menghidupkan kembali kajian turats secara sistematis dan kontekstual. Membentuk budaya munazharah (debat ilmiah), bahtsul masail, dan penulisan karya ilmiah di kalangan santri. Mendorong santri untuk menjadi penulis, dai digital, dan pemikir Islam yang artikulatif.

4. Modernisasi Sistem Tanpa Meninggalkan Jati Diri

Ruh MTI tidak anti-modernitas. Justru para pendirinya adalah pionir reformasi sistem pendidikan Islam, namun seletif terhadap moderasi adalah cara yang menjadikan kader PERTI alumni MTI mudah beradabtasi dengan modernitas. Pesantren perlu digitalisasi, manajemen profesional, dan keterbukaan terhadap ilmu modern adalah ikhtiar yang harus segera diambil. Santri harus fasih bahasa Arab dan teknologi sekaligus. Kurikulum menggabungkan ilmu-ilmu agama, sosial, dan keterampilan hidup.

Menghidupkan ruh MTI bukan berarti kembali ke masa lalu, tapi mengambil semangatnya untuk membangun masa depan. Pesantren hari ini harus berani tampil sebagai pencerah umat, bukan sekadar pengasuh tradisi. Dari kitab kuning dan surau, lahir revolusi pemikiran yang mampu menjawab zaman. Ruh itu tidak mati—ia hanya menanti dihidupkan kembali oleh generasi yang sadar akan warisan besarnya.

PENUTUP 

Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya dalam memperkenalkan pendidikan Islam modern di Sumatera Barat dan daerah lainnya. Sebelum kemerdekaan, MTI dan PERTI telah berperan sebagai pelopor pendidikan rakyat di pelosok-pelosok Indonesia, dengan menyediakan akses pendidikan berkualitas yang terjangkau bagi masyarakat, terutama di daerah-daerah yang terpinggirkan. MTI didirikan dengan semangat untuk menggabungkan keilmuan klasik Islam dengan metode pendidikan modern, mengadopsi sistem kelas dan kurikulum yang terstruktur.

Namun, dengan berjalannya waktu, MTI mengalami perubahan menjadi Pondok Pesantren karena beberapa faktor, seperti perubahan kebijakan pendidikan nasional, ketergantungan pada figur ulama karismatik, dan tantangan dari lembaga pendidikan modern yang lebih menjanjikan. Meskipun begitu, MTI dan PERTI tetap menjadi fondasi bagi transformasi sosial dan intelektual di Indonesia, dan kini, melalui rekonsiliasi internal PERTI, pendidikan turats dan keumatan kembali dihidupkan dalam bentuk pendidikan yang progresif dan relevan dengan tantangan zaman.

Saat ini, untuk menghidupkan kembali ruh MTI, pendidikan pesantren harus berfokus pada pemberdayaan umat, keterlibatan sosial, dan pengembangan intelektualisme Islam yang mencerahkan. Modernisasi sistem pendidikan pesantren perlu dilakukan tanpa kehilangan jati diri dan karakter khas yang dimiliki MTI, seperti integrasi antara ilmu agama dan keterampilan hidup, serta kemampuan beradaptasi dengan teknologi. Dengan semangat tersebut, pesantren dapat menjadi pencerah umat dan agen perubahan sosial di masa depan. DS.12052025. 

*Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.