Type Here to Get Search Results !

Iman Dalam Menghadapi Krisis Oleh: Duski Samad

Iman dalam menghadapi krisis bahasannya di awali memposisikan iman dalam menghadapi realitas sosial.

Teologi ketahanan mental dan sosial adalah cabang teologi praktis yang mengintegrasikan nilai-nilai iman, spiritualitas, dan ajaran agama dalam membangun daya tahan jiwa dan daya tanggap sosial terhadap berbagai tekanan hidup, krisis moral, bencana, dan perubahan sosial.

Landasan Teologis:

"Sesungguhnya bersama kesulitan adakemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6). "Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah." (QS. Az-Zumar: 53)."Sesunggunya Alpllah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11)

Teologi Ketahanan:

Ketahanan Mental Berbasis Tauhid. Tauhid sebagai sumber ketenangan batin dan keteguhan jiwa. Shalat, dzikir, dan sabar sebagai terapi spiritual. Optimisme dan harapan hidup lahir dari keimanan kepada qadha dan qadar.

Ketahanan Sosial Berbasis Ukhuwah:

Hablum minannas: solidaritas, tolong-menolong, dan kepekaan sosial. Model jamaah dan gotong royong sebagai bentuk resilience komunitas. Ulama dan tokoh agama sebagai pemandu rekonsiliasi dan pemulihan sosial.

Resiliensi Psikososial dalam Tradisi Islam:

Kisah nabi-nabi sebagai narasi spiritual tentang keteguhan di tengah ujian. Teologi penderitaan: ujian bukan hukuman, tapi jalan naik kelas spiritual.

Pendidikan karakter berbasis akhlak dan nilai-nilai Qur’ani.

Manfaat dan Relevansi:

Membangun pribadi tangguh dalam tekanan hidup modern (mental illness, disrupsi digital).

Menguatkan komunitas dalam menghadapi krisis (bencana, konflik sosial, pandemi). Menjadi alternatif model pendidikan dan dakwah yang membumi dan menyembuhkan.

Teologi ketahanan mental dan sosial adalah bentuk ijtihad kontemporer yang menafsirkan kembali ajaran Islam sebagai sumber kekuatan jiwa dan daya tahan sosial. Ia menjembatani antara iman dan krisis, antara tauhid dan trauma, membangun masyarakat madani jadi alat yang resilien, beradab, dan beriman.

Perspektif Psikologi. Resiliensi Psikologis: Teori Viktor Frankl (logoterapi): Makna hidup dalam penderitaan menjadi sumber ketahanan jiwa. Sejalan dengan konsep sabar, ridha, dan tawakal dalam Islam.

Teori Lazarus & Folkman (1984): Coping terhadap stres dibagi menjadi emotion-focused dan problem- focused—dalam Islam ini tergambar lewat dzikir, sabar, shalat, dan usaha konkret (ikhtiar).

Albert Bandura (Self-efficacy): Keyakinan diri (dalam Islam: husnudzan billah) memperkuat ketangguhan menghadapi situasi sulit.

Psikologi Sosial: Solidaritas dan keterhubungan sosial (social connectedness) adalah faktor penting dalam mengurangi trauma kolektif.

Peran pemimpin dan tokoh agama menciptakan meaning-making dalam bencana (misalnya melalui dakwah penyembuhan, fatwa, dan narasi spiritual).

Teologi Praktis dan Kesehatan Mental:

 Penelitian menunjukkan bahwa praktik spiritual seperti shalat dan dzikir menurunkan tingkat stres dan kecemasan (Koenig et al., 2012 – Handbook of Religion and Health).

Zohar & Marshall (2000) memperkenal kan konsep spiritual intelligence (SQ): kemampuan memberi makna pada penderitaan dan bertahan dalam tekanan.

Ketahanan Sosial Berbasis Komunitas:

Model community -based resilience dalam kajian bencana (UNDRR, WHO) menekankan pentingnya ikatan sosial, jaringan lokal, dan peran tokoh agama dalam pemulihan.

Dalam konteks Indonesia, gotong royong dan nilai-nilai agama terbukti efektif dalam mempercepat rekonstruksi pasca bencana (BNPB, 2018).

Narasi ini merepresentasikan ijtihad kontemporer yang menjembatani antara ajaran transenden (iman) dan kebutuhan manusia modern (psikososial). Teologi ketahanan menjadi pendekatan integratif dalam:

Menyembuhkan luka jiwa dan sosial pasca krisis.

Membangun model pendidikan dan dakwah yang kontekstual.

Memperkuat identitas dan solidaritas umat di era disrupsi.

Kesimpulan:

Teologi ketahanan mental dan sosial merupakan bentuk ijtihad kontemporer yang menafsirkan ajaran Islam secara praktis dan kontekstual dalam menjawab tantangan zaman. Dengan fondasi tauhid dan ukhuwah, teologi ini membangun ketahanan jiwa dan solidaritas sosial dalam menghadapi krisis multidimensional—baik bencana, tekanan psikologis, maupun disrupsi sosial.

Integrasi nilai-nilai keimanan, spiritualitas, dan ajaran agama dengan pendekatan psikologi modern—seperti resiliensi, makna hidup, dan self-efficacy—menghasilkan pendekatan dakwah dan pendidikan yang membumi, menyembuhkan, dan relevan. Praktik spiritual seperti shalat dan dzikir terbukti menurunkan kecemasan, sementara narasi kenabian dan gotong royong meneguhkan daya tahan komunitas.

Dengan demikian, teologi ketahanan menjembatani antara iman dan krisis, antara tauhid dan trauma, serta menjadi jalan menuju pembentukan masyarakat madani yang resilien, beradab, dan beriman. Ini bukan hanya respons terhadap tekanan zaman, tetapi juga upaya membentuk peradaban Islam yang relevan, solutif, dan transformatif. ds.23052025.

*Khutbah, 23052025 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.