Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

TRANSFORMASI PENDIDIKAN TINGGI: Menjembatani Tradisi dan Inovasi Oleh: Duski Samad

Lembaga pendidikan sering kali berada di antara dua kutub: tradisi yang mengakar kuat dan tuntutan zaman yang terus berubah. Dalam proses transformasi, kalangan status quo—yang memegang teguh nilai, struktur, dan sistem lama—seringkali menjadi tantangan sekaligus potensi.

Resistensi terhadap perubahan: terutama dari tokoh senior, pendiri, atau alumni yang merasa terancam secara simbolik maupun struktural.

Struktur birokrasi yang kaku: membuat inovasi lambat masuk ke dalam sistem pendidikan. Ketidaksiapan SDM menghadapi digitalisasi dan globalisasi.

Strategi Transformasi yang Inklusif

a. Rekontekstuali sasi Nilai-Nilai Lama.

Menginterpretasi ulang visi-misi pendiri dalam konteks zaman sekarang. Menunjukkan kesinambungan antara tradisi dan inovasi.

b. Model Kepemimpinan Transformasional

Pemimpin lembaga harus visioner, komunikatif, dan mampu menjadi jembatan antar-generasi. Harus mampu menata ulang struktur tanpa mencederai martabat yang telah ada.

c. Kolaborasi Antar Generasi

Libatkan tokoh senior sebagai penasihat strategis. Berdayakan generasi muda sebagai pelaksana gagasan-gagasan inovatif.

d. Digitalisasi dan Profesionalisme Manajemen

Tata kelola pendidikan harus mengadopsi teknologi dan prinsip good governance.

Kinerja SDM harus berbasis kompetensi, bukan hanya senioritas.

e. Transformasi Kurikulum

Integrasikan nilai lokal, tradisi keilmuan Islam (jika berbasis pesantren), dan ilmu kontemporer. Kembangkan model transdisciplinary yang menjawab kebutuhan zaman.

Bisa tambahkan contoh lembaga pendidikan yang berhasil bertransformasi—misalnya: UIN Sunan Kalijaga dengan integrasi Islam-sains. Gontor dengan sistem disiplin, manajemen modern, tapi tetap berbasis tradisi pesantren.

Transformasi lembaga pendidikan bukan berarti memutus dari akar, tapi menumbuhkan cabang baru dari batang yang kokoh. Keberhasilan transformasi tergantung pada kemampuan menyatukan nilai lama dengan semangat baru.

Psikologis Status Quo dalam Organisasi Pendidikan

1. Mempertahankan Warisan dan Nilai Luhur.

Mereka merasa sebagai penjaga “marwah” atau tradisi lembaga pendidikan. Perubahan dianggap bisa merusak identitas historis atau visi pendiri.

2. Rasa Kepemilikan terhadap Institusi.

Kalangan ini sering merasa memiliki kontribusi besar di masa lalu, sehingga merasa berhak menentukan arah lembaga ke depan. Mereka sensitif terhadap keputusan yang dibuat tanpa melibatkan mereka.

3. Kekhawatiran Terhadap Generasi Baru. Ada kekhawatiran bahwa generasi muda terlalu idealis, progresif, atau pragmatis.

Mereka merasa generasi baru belum cukup “mapan” untuk memimpin perubahan.

4. Kecenderungan Konservatif terhadap Kurikulum dan Metode

Status quo. cenderung menolak modernisasi sistem pendidikan, teknologi pembelajaran, atau integrasi ilmu baru.

Misalnya, penolakan terhadap digitalisasi atau pendekatan lintas disiplin.

5. Kekuatan dalam Struktur Formal dan Informal.

Mereka biasanya menguasai struktur formal (yayasan, senat, dewan guru besar), dan memiliki pengaruh informal lewat jejaring alumni, tokoh masyarakat, atau tokoh agama.

6. Ketakutan Terhadap Kehilangan Wibawa dan Pengaruh

Pembaruan kadang dianggap sebagai delegitimasi atas peran mereka selama ini.

Perubahan bisa menimbulkan rasa “tersingkir” secara simbolik maupun struktural.

Implikasi dan Strategi

Untuk menghadapi ini, strategi harus adaptif dan komunikatif:

Libatkan mereka dalam proses perubahan (inklusif). Tunjukkan bahwa perubahan melanjutkan visi lama, bukan membongkar.

Gunakan pendekatan kultural, bukan konfrontatif. Ajak mereka sebagai “mentor” bagi generasi baru, bukan kompetitor.

I. Analisis Ilmiah

Transformasi lembaga pendidikan merupakan persoalan epistemologis dan manajerial. Dari sudut ilmu pendidikan dan manajemen perubahan, narasi ini mencerminkan pendekatan transformasional dan transdisipliner, yang menggabung kan teori sistem, teori kepemimpinan, dan inovasi kurikulum.

Teori Transformasi Pendidikan (Mezirow, Freire): menekankan pentingnya rekonstruksi makna dan kesadaran kritis. Dalam konteks ini, transformasi bukan hanya perubahan teknis tetapi perubahan paradigma dan budaya.

Teori Kepemimpinan Transformasional (Burns, Bass): menggarisbawahi pentingnya pemimpin sebagai agen perubahan yang menginspirasi, memberi makna, dan membangun kepercayaan antar elemen organisasi.

Paradigma Transdisipliner (Basarab Nicolescu): menyatukan ilmu tradisional dan kontemporer untuk menjawab persoalan kompleks. Pendidikan tidak lagi sekadar penguasaan bidang tertentu, tetapi harus mampu menjembatani nilai-nilai lama dengan tantangan baru.

II. Analisis Psikologis

Dinamika antara generasi senior (status quo) dan generasi muda dapat dijelaskan melalui: Cognitive Dissonance (Leon Festinger): Ketika realitas baru bertentangan dengan keyakinan lama, maka akan muncul resistensi karena menimbulkan ketegangan psikologis.

Teori Erikson (Tahap Psikososial): Generasi tua cenderung berada dalam tahap “integritas vs despair”—mereka ingin warisan dan nilai hidupnya tetap relevan dan diakui.

Kecemasan Simbolik: Generasi lama takut kehilangan makna, bukan sekadar jabatan. Mereka khawatir tidak diingat sebagai bagian dari masa depan lembaga.

Efek Psikologis dari Strukturalisme Organisasi: Ketika perubahan dilakukan tanpa melibatkan pemilik historis, muncul rasa tersingkir dan reaktif secara emosional, bahkan destruktif.

III. Analisis Sosiologis

Dari sisi sosiologi organisasi dan pendidikan, transformasi lembaga menyentuh dinamika nilai, kekuasaan, dan legitimasi sosial.

Pierre Bourdieu – Modal Sosial dan Budaya: Generasi senior memiliki modal simbolik berupa nama besar, pengalaman, jaringan alumni, dan pengaruh struktural. Perubahan dianggap mengganggu “habitus” mereka.

Teori Perubahan Sosial (Anthony Giddens): Lembaga pendidikan adalah medan struktur dan agensi. Transformasi hanya berhasil jika struktur (aturan, kebiasaan) dan agensi (aktor) saling mengafirmasi, bukan menegasi.

Sosiologi Konservatisme (Edward Shils): Setiap perubahan yang tidak mengakui tradisi akan ditolak karena dianggap radikal. Tetapi konservatisme bisa menjadi kekuatan pelestari bila diberi peran secara inklusif.

IV. Kritik

Kritik terhadap status quo: Terlalu protektif terhadap simbol dan ritus, lupa bahwa esensi pendidikan adalah adaptasi. Memaksakan loyalitas terhadap bentuk lama, bukan substansi nilai. Kurang ruang untuk refleksi kritis dan regenerasi kepemimpinan.

Kritik terhadap reformis muda: Kadang tergesa-gesa dan kurang menghargai konteks historis lembaga. Terjebak pada euforia digitalisasi tanpa basis nilai dan etika institusional. Kurang membangun komunikasi simbolik dengan pemilik memori kolektif organisasi.

V. Solusi dan Rekomendasi

1. Integrasi Historis dan Inovatif:

Lakukan rekontekstualisasi nilai pendiri dengan metodologi yang partisipatif. Tunjukkan kesinambungan, bukan pemutusan. Misalnya, gunakan istilah “pemurnian misi” atau “penyegaran visi”.

2. Kepemimpinan Kolaboratif:

Bentuk Tim Transisi Strategis yang terdiri dari perwakilan generasi senior dan junior.

Kepala lembaga bertindak sebagai mediator simbolik yang menjembatani struktur dengan semangat baru.

3. Psikologi Organisasi:

Libatkan psikolog pendidikan atau fasilitator transformasi dalam proses restrukturisasi. Berikan penghargaan simbolik dan ruang konsultatif untuk senior agar tetap merasa dihargai.

4. Digitalisasi dan Profesionalisasi Bertahap: Jangan memaksakan teknologi sebagai solusi tunggal, tapi dorong adopsi digital sebagai alat bantu untuk memperkuat nilai-nilai yang telah ada. Bangun pelatihan SDM berbasis mentoring antar generasi.

5. Reformasi Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal dan Global:

Gunakan pendekatan kurikulum integratif: menggabungkan khazanah keislaman, budaya lokal, dan ilmu kontemporer. Berikan ruang eksperimen bagi dosen/mudarris muda untuk menyusun kurikulum transformatif. 21042025.

*Guru Besar UIN Imam Bonjol 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies