![]() |
„Sekali lagi, keadilan harus dibeli dengan darah manusia.“ — Albert Camus(1913-1960), Resistance, Rebellion, and Death(1944).
Aktivis perempuan intelektual paling kritis sejak 2014 silam, dr. Tifauzia Tyassuma,
sangat getol mengritik kepalsuan kekuasaan yang dipawani para elit politik.
Akibatnya, ia harus menerima kekerasan verbal dengan model perang asimetris maupun cyberwar yang memanfaatkan teknologi digital.
Salah satu gerundelan dan geruduknya, bersama kerabatnya Roy Suryo dan Rismon Sianipar, merangsek praktek pelacuran intelektual menyangkut ijazah palsu Presiden 2014-2024, Ir. Joko Widodo di Fakultas Kehutanan UGM.
Karena itu, di dua laman X dan FB, ia mensinyalir tumbuhnya kriminalisasi nalar kritis dan represi intelektual.
Terkait represi intelektual, Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia — telah mengalami kemajuan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya sejak Proklamasi 1945 — kembali digoda oleh otoriterianisme baru.
Namun, di balik kemajuan tersebut, terdapat tantangan yang cukup serius dalam bentuk represi intelektual oleh satu kekuatan yang anti nalar kritis. Mereka beranggapan nalar kritis membahayakan kemapanan kekuasaan yang lancung dan lacur.
Sebagaimana banyak dihadapi kaum intelektual kritis seperti raushan fikr Ali Shariati di Iran atau Faraq Fauda di Mesir, represi ini tidak hanya membatasi kebebasan berpikir dan berekspresi.
Akan tetapi, ikut mengancam esensi demokrasi itu sendiri. Bahkan bisa membunuh mereka, para aktivis intelektual kritis seperti dialami Shariati dan Fauda. Tentu, di Indonesia telah menimpa aktivis reformasi, Munir, Udin, Marsina, Wiji Thukul dan 14 aktivis reformasi lainnya.
Sejarah ringkas represi intelektual di Indonesia hingga dewasa ini dapat dilihat dari beberapa faktor(baca, Cendekiawan dan Kekuasaan, Daniel Dhakidae, 2003; Muslim Inteligensia dan Kuasa, Yudi Latif, 2005; Intellectuals in developing societies, S.H. Alatas,1977).
Pertama, meningkatnya intoleransi terhadap perbedaan pendapat dan pandangan.
Banyak kasus di mana individu atau kelompok yang memiliki pandangan berbeda dari mainstream politik atau sosial dihadapkan pada tekanan, ancaman atau kekerasan bahkan pembunuhan.
Hal ini sengaja disulut untuk menciptakan atmosfer ketakutan yang menghambat kebebasan berpikir dan berekspresi. Sebagai misalnya, kasus ijazah palsu di UGM, preman H harus datang ke Solo(https://www.tempo.co/politik/silaturahmi-ke-solo-hercules-gerah-dengan-isu-ijazah-jokowi-palsu-1231701).
Kedua, kontrol terhadap media dan informasi juga berperan penting dalam represi intelektual seperti UU ITE(https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220816154256-37-364266/mengenal-apa-itu-uu-ite-apa-saja-yang-diatur-di-dalamnya/amp).
Dengan kemajuan teknologi informasi, akses terhadap informasi menjadi lebih mudah. Namun, kontrol terhadap narasi dan penyebaran informasi dapat membatasi perspektif masyarakat.
Hal ini dapat menyebabkan penyebaran informasi yang tidak akurat atau bias dan pada galibnya sangat mempengaruhi cara berpikir masyarakat, terutama para buzzer, preman bayaran hingga intelektual tukang.
Ketiga, represi intelektual juga dapat dilihat dalam konteks sistem pendidikan, terutama kurikulum pendidikan Dikdas dan universitas-universitas yang dirasuk waham kekuasaan seperti yang terjadi pada UI dan UGM belakang.
Kurikulum yang kaku dan tidak mendorong pemikiran kritis dapat membatasi kemampuan siswa dan mahasiswa untuk berpikir secara mandiri dan kreatif.
Selain itu, tekanan untuk mengikuti norma-norma tertentu dalam berpikir dan berpendapat, juga dapat menghambat perkembangan intelektual.
Dampak yang dihasilkan represi intelektual ini sangat luas. Di antaranya:
/1/ Penghambatan pada inovasi dan kreativitas akibat kurangnya ruang kebebasan untuk berpikir di luar kotak(out of the box).
/2/ Lemahnya sikap kritis dan lebih cenderung menerima informasi tanpa mempertanyakannya.
/3/ Terganggunya praktek demokrasi substantif, terutama intervensi eksekutif pada lembaga yudikatif. Akibatnya, represi intelektual kuat untuk membatasi partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik.
Lantas, langkah apa yang bisa mengatasi represi intelektual di tengah kontrol publik yang lagi berlaku di lembaga perwakilan publik seperti legislatif, sudah sangat merosot(https://www.kompas.id/artikel/saat-penguasa-ramai-ramai-koreksi-kritik-publik-tentang-ruu-tni).
Meski kondisi itu mirip fiksi The Captive Mind dari CzesÅ‚aw MiÅ‚osz maupun 1984 dari George Orwell, represi intelektual memerlukan model pendidikan kaum tertindas ala Paulo Freire. Atau, gerakan intelektual “bebalisme” yang pernah disarankan S.H. Alatas dalam Intelektual Masyarakat Berkembang (LP3ES, 1988).
Dengan terus mendorong pemikiran kritis dan kreatif, kebebasan berekspresi dan akses informasi yang akurat — UU Informasi Publik yang dihasilkan dari sejarah reformasi tidak efektif dan dilemahkan UU ITE — partisipasi aktif dalam diskusi dan debat publik jangan sampai dibungkam.
Dengan kata lain, represi intelektual dapat dienyahkan sepanjang publik kritis dan inovatif harus makin diperluas.
Akhirnya, garansi publik kritis untuk mengganyang represi intelektual, akan memperkuat demokrasi dan kemajuan bangsa bagi G-Z dan mempercepat matinya rezim gerontokrasi.