![]() |
(Catatan dari Workshop Esoterika Fellowship Forum, 21–23 April 2025)
"Sebelum ada agama, manusia hanya mengenal satu bahasa: bertahan hidup, saling menjaga, saling memeluk." Setelah agama datang, manusia saling membunuh. Kita seharusnya bertanya: ada yang salah di mana?"
***
Agama kan urusan personal, gimana ceritanya bisa dimiliki oleh semua orang, yang beda keyakinan?
Tenang, tarik napas sebentar, seruput dulu kopi lattenya.
Lanjut, yuk. Jadi begini: menurut penelitian genetika dan fosil terbaru, Homo sapiens (manusia) sudah ada sekitar 300.000 tahun yang lalu di Afrika. Sementara agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam baru ada sekitar 4.000 hingga 1.500 tahun yang lalu. Jauh banget ya jaraknya? Yup, begitulah. Umur manusia lebih tua dari agama.
Lalu, siapa Tuhan yang dipercaya manusia zaman dulu? Karena belum ada istilah “agama”, mereka menyembah roh-roh halus, yang wujudnya ada di batu, pohon, matahari, dan semacamnya. Mungkin kamu pernah dengar kata “animisme”? Nah, itu nama jenis kepercayaannya.
Kata “agama” tuh baru muncul sekitar abad 1 SM, atau sekitar 2.000 tahun lalu. Sebelum itu, kepercayaan terhadap Tuhan disebut “kepercayaan”. Jadi, catat ya: kepercayaan lebih dulu ada dibanding agama, supaya kita enggak keliru lagi bilang kepercayaan itu bukan agama, atau menyebut kepercayaan sebagai aliran sesat. Duh, ketahuan deh enggak baca. Padahal ChatGPT bisa banget dimanfaatin.
Sebelum ada agama, Homo sapiens hidupnya asyik-asyik aja. Selisih paham mungkin ada, namanya juga manusia yang isi kepalanya beda-beda. Tapi, konflik mereka bukan karena perbedaan kepercayaan, tapi soal bertahan hidup.
Bukti-bukti menyebutkan bahwa kelompok Homo sapiens justru banyak berkolaborasi: berburu bersama, berbagi makanan, merawat yang sakit, bahkan kerja sama untuk bertahan hidup.
Tapi kenapa manusia yang hidup setelah mengenal agama, malah banyak berkonflik karena alasan agama? Penganut agama satu mengklaim agamanya paling benar, dan yang lain salah. Ada yang memaki agama lain karena dianggap sesat, yang jangankan masuk surga, berdiri di depan pintu surga pun, katanya, enggak mungkin.
Yang paling ekstrem, mereka sampai rela bunuh-bunuhan: kayak Perang Salib di Eropa, konflik di Ambon dan Poso di Indonesia, yang bikin ribuan nyawa melayang, atau bahkan aksi bom bunuh diri atas nama agama.
Duh, sedih banget, kan?
*Agama Warisan Kultural Milik Bersama*
Nah, berangkat dari fakta itu, timbul gagasan untuk menjadikan agama sebagai warisan kultural milik bersama (AWKMB). Gagasan ini muncul dari seorang peneliti sekaligus intelektual, Denny JA.
Ide ini enggak muncul “kemarin sore”, tapi setelah kajian mendalam dari berbagai sumber, pengalaman spiritual, dan perenungan panjang seorang Denny JA. Untuk lebih lengkapnya, gagasan ini bisa dibaca di buku “Agama sebagai Warisan Kultural Milik Bersama” yang ditulis Ahmad Gaus dan Budhy Munawar Rachman.
Menurut pemahamanku tentang gagasan Denny JA ini, simpelnya begini: Semua agama datang membawa ajaran kebaikan, cinta kasih, dan perdamaian. Semua agama mengakui itu. Ajaran ini tertuang di kitab suci atau lewat perkataan/tulisan para tokoh agama (ulama, pendeta, biksu, dll).
Masalahnya, ajaran itu sering disalahpahami atau disalahtafsirkan oleh sebagian tokoh agama dan penganutnya. Jadilah konflik.
Menurut Denny JA, sepanjang hidup, akan selalu ada penganut agama yang mengklaim paling benar, sehingga sepanjang hidup juga, kita akan menemui konflik agama, baik kecil maupun besar.
Jadi, sudah saatnya kita mulai mengubah cara pandang: Melihat agama sebagai warisan turun-temurun yang mengajarkan cinta kasih, yang bisa dinikmati semua orang, tanpa harus meyakini atau berpindah agama.
By the way, sebenarnya ini udah terjadi kok. Contoh: saat umat Kristen merayakan Natal, umat Islam, Buddha, Hindu ikut bergembira dan menikmati liburnya. Kita ikut senang lihat pohon Natal dihias lampu-lampu indah. Atau tradisi berbagi makanan saat Lebaran dan Natal antar tetangga lintas agama.
Aku ingat banget, waktu kecil di Palopo, Sulawesi Selatan, tetanggaku beragama Kristen. Setiap Lebaran dan Natal, kami saling mengantar makanan. Di malam Natal, aku ikut nongkrong di rumah mereka, dengar lagu-lagu rohani sambil main gitar. Itu pengalaman yang menyenangkan.
Di desa-desa lain Indonesia pun begitu: di Balun, Lamongan, Jawa Timur: Saat Idul Fitri, teman Kristen dan Hindu bantu masak ketupat, jaga parkir saat salat Id. Saat Natal, teman Muslim pasang dekorasi gereja. Di Glodok (Jakarta) dan Singkawang (Kalimantan Barat): Saat Imlek, semua warga lokal nonton barongsai tanpa pandang agama. Di Bali: Saat Nyepi, semua orang (termasuk non-Hindu dan turis) ikut berdiam diri, matikan lampu, dan menghormati tradisi.
Di setiap perayaan agama-agama, umat manusia melebur menjadi satu, ikut senang, dan sebagian ikut merayakan kekhidmatan, keindahan, dan keseruan, yang sudah menjadi tradisi turun-temurun. Ini bukti nyata bahwa perayaan agama bisa jadi momen kebersamaan lintas agama.
Bukan hanya soal lampu warna-warni, makanan enak, dapat angpau, atau diskon gede-gedean. Tapi ini tentang kebersamaan, suka cita, tolong-menolong, dan merasakan kehadiran Tuhan dalam berbagai bentuk.
*AWKMB Masuk Kampus, Bagaimana Prakteknya?*
Gagasan Agama Warisan Kultural Milik Bersama ini patut diapresiasi dan dibicarakan luas. Denny JA melalui Esoterika Fellowship Program sudah memboyong gagasan ini ke universitas, bahkan membiayainya penuh lewat Denny JA Foundation.
Untuk ini, kita patut berterima kasih ke orang kaya seperti Denny JA, yang mau ngasih hartanya untuk kerja-kerja kemanusiaan. Ini anomali dari orang-orang kaya yang hartanya hanya untuk flexing di medsos, dan bikin sakit hati mereka yang mau makan aja susah.
Tahap pertama sudah dilakukan, Workshop Modul AWKMB untuk Rektor dan Dosen di enam kampus di Indonesia: IAIN Ambon, IAIN Cirebon, IAIN Bandung, President University, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Kristen Indonesia, IPMI Business School, Universitas HKBP Nommensen, dan STABN Sriwijaya.
Aku ikut mengamati workshop itu. Para profesor, guru besar, dan dosen antusias untuk membawa gagasan ini jadi mata kuliah. Berbagai ide dan rencana-rencana dibahas di workshop ini.
Dengan tenang dan senang, selama tiga hari workshop, aku menyimak dinamika forum. Kadang, mulut ini “gatal” ingin merespons dan terlibat dalam diskusi, namun aku berusaha menahan, sebab aku memposisikan diri sebagai observer dari luar kampus. Forum ini, terutama untuk para perwakilan kampus, jadi wajar saja kalau mereka yang butuh lebih banyak waktu untuk mengungkapkan ide dan rencana-rencananya.
Jadi, aku meresponnya di sini saja, lewat tulisan, dengan memposisikan diri sebagai anak muda yang mewakili mahasiswa.
*1. Gagasan AWKMB itu penting, tapi harus dibikin lebih praktis dan relate.*
Beberapa tahun terakhir, banyak anak muda-which is mereka juga mahasiswa- yang udah biasa nongkrong lintas agama, ikut festival agama lain, bahkan bercanda santai soal agama, kayak program Log In (Husein Ja'far dan Onad) di Youtube. Jadi, AWKMB harus menyentuh praktik nyata.
*2. Kurikulum mata kuliah AWKMB bisa dikembangkan dalam empat tahap:*
Tahap satu: Dosen mengajarkan konsep AWKMB dan kumpulan praktik budaya keagamaan. Misalnya: Zakat fitrah di bulan Ramadhan juga diberikan untuk non-Muslim miskin. Konseling mental gratis di gereja dibuka untuk umum. Salah satu Desa adat di Bali, mendaftarkan BPJS untuk semua warganya, tanpa melihat agama.
Tahap dua: Mahasiswa di-challenge mengaplikasikan materi di atas dalam bentuk project sosial lintas agama: kunjungan rutin lintas agama, festival kebhinnekaan, bersih-bersih rumah ibadah dan fasilitas umum, membuka layanan konseling gratis untuk umum di rumah-rumah ibadah, bahkan membuat bisnis bersama yang hasilnya sebagian untuk membiayai gerakan kemanusiaan.
Tahap tiga: Mahasiswa membuat platform online untuk sharing cerita pengalaman nyata esoteris lintas agama, juga bisa digunakan untuk penggalangan dana.
*3. Supaya AWKMB beneran jadi gerakan, harus melibatkan banyak pihak.*
Di Indonesia, banyak komunitas anak muda seperti YIPC, Peace Generation, Interfidei, Generasi Literat, dan Wisata Kebhinnekaan, yang bisa diajak kolaborasi, supaya gerakan ini hidup di masyarakat, bukan hanya di kampus.
Kalau pemerintah diajak enggak ya? Hmm…
Kalau ini berjalan, ke depan kita enggak perlu lagi capek-capek mengkampanyekan cinta kasih antar agama. Karena orang-orang sudah merasakan sendiri pentingnya kehadiran dan merawat agama dalam kehidupan sosial.
Depok, 27 April 2025