![]() |
Berita yang sedang mencuat dari Kabupaten Buleleng, Bali, mengenai ratusan siswa SMP yang belum bisa membaca, seharusnya bukan lagi sekadar sorotan sesaat. Dari 34.062 siswa, 155 di antaranya tidak bisa membaca sama sekali, sementara 208 lainnya belum lancar. Angka ini tidak hanya memprihatinkan, tapi juga menjadi cermin buram dari wajah sistem pendidikan kita yang perlu dievaluasi ulang.
Sebagai seseorang yang juga bekerja menjadi pengajar privat, saya tidak terkejut dengan fenomena ini. Saya sendiri pernah mendampingi siswa kelas 2 SMP yang harus mulai belajar dari nol: mengenal huruf, mengeja kata, hingga bisa membaca kalimat sederhana. Butuh sekitar tiga bulan intensif hanya untuk menembus keterbatasan dasar ini. Kedengarannya ironis, namun inilah kenyataan yang selama ini tersembunyi di balik euforia kelulusan dan slogan "merdeka belajar."
Fenomena ini sepatutnya mendorong kita untuk meninjau ulang sistem pendidikan sejak jenjang paling dasar. Mari kita lihat ke belakang, pada masa taman kanak-kanak. Kurikulum di TK diisi dengan agenda study tour, jalan-jalan, dan kegiatan rekreatif lainnya. Dalihnya, anak-anak usia dini belum siap belajar secara akademik, mereka tidak boleh dipaksa mengunyah buku-buku yang belum seharusnya, Karena katanya bisa merusak tumbuh kembang anak dan membuat mentalnya tertekan. Sehingga alih-alih belajar membaca, TK lebih sering dijadikan sebagai sarana dasar sosialisasi bagi anak yang dipenuhi jadwal rekreasi yang cukup menguras anggaran. Akibatnya, anak-anak lulus dari TK tanpa bisa membaca. Namun, mereka dianggap “anak-anak bahagia” karena sering diajak wisata.
Ketika lulus TK, anak-anak ini masuk ke jenjang SD tanpa bekal membaca. Mayoritas hanya sedikit anak-anak yang masuk ke SD sudah lancar membaca. Namun tidak masalah karena katanya pintar itu ada waktunya, anak-anak tidak boleh dipaksa membaca. Ironisnya, buku-buku pelajaran kelas 1 SD sudah penuh dengan teks narasi panjang yang mengasumsikan anak sudah harus lancar membaca. Karena jika anak tidak bisa membaca di kelas 1 SD, bagaimana ia bisa memahami buku tematik yang tebalnya puluhan halaman?
Tapi tidak masalah karena kembali lagi pada narasi bahwa anak tidak boleh dipaksa membaca.
Namun akibatnya, setiap ujian tiba, guru harus membacakan soal untuk anak-anak yang belum bisa membaca. Fenomena ini berlangsung hingga kelas-kelas berikutnya, bahkan sampai kelulusan SD. Anak-anak yang belum lancar membaca ini tetap naik kelas, karena kurikulum merdeka tidak memperbolehkan anak-anak untuk tinggal kelas.
Naik kelas menjadi semacam formalitas, bukan hasil capaian, tidak ada intervensi yang sistematis. Mau bisa membaca atau tidak, siswa tetap naik kelas. Pada akhirnya, mereka sampai di jenjang SMP tanpa fondasi yang kokoh.
Kondisi ini bukan semata-mata kesalahan guru atau sekolah. Ini adalah gambaran dari sistem yang abai terhadap urgensi pendidikan dasar. Kurikulum disusun dengan asumsi ideal, namun pelaksanaannya di lapangan jauh dari harapan. Tidak semua sekolah memiliki SDM, waktu, dan metode untuk mengejar ketertinggalan siswa yang bahkan belum bisa mengeja.
Kita perlu evaluasi menyeluruh, bukan tambal sulam. Pendidikan usia dini harus dikembalikan pada esensi: membentuk kesiapan belajar, bukan hanya memberi pengalaman menyenangkan. SD harus memprioritaskan literasi dasar secara serius. Pemerintah, sekolah, guru, dan orang tua perlu bersinergi dengan arah yang sama: memastikan anak-anak benar-benar mampu membaca, bukan sekadar naik kelas. Karena membaca itu adalah ilmu wajib yang semua orang harus bisa, berbeda dengan matematika, yang tidak semua orang harus menguasai persamaan linear atau teknik aljabar.
Jika kita terus menutup mata, maka fenomena siswa SMP belajar huruf bukanlah kasus luar biasa, melainkan gejala sistemik yang akan terus terulang. Dan ketika itu terjadi, kita tidak lagi berbicara soal pendidikan, kita sedang menyaksikan kegagalan dalam membentuk generasi bangsa yang cerdas dan berdaya.