Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Ening dan Persamaan Cinta tak Terpecahkan Oleh: Mochamad Taufik

 


Cerpen ke-32

#menulis40cerpen 

Di kelas 3 IPA 1 SMA Negeri Bangil, semua mata lelaki tertuju pada satu nama: Ening. Gadis manis, pintar, dan ramah itu dikenal sebagai “kembang desa”—yang kehadirannya selalu membuat suasana kelas jadi semarak. Wajahnya teduh, suaranya lembut, dan sikapnya sopan. Tak heran, tiga cowok dari kelas itu berlomba mencuri hatinya: Anam, Beni, dan Arif.

Mereka bertiga seperti tiga variabel dalam satu persamaan cinta yang rumit. Tapi tak seperti matematika yang bisa dicari penyelesaiannya dengan logika, cinta tak sesederhana menyamakan ruas kiri dan kanan. Cinta adalah persamaan yang jawabannya sering tersembunyi di balik waktu dan keberanian memilih.

Setiap hari, ketiganya seperti menjalani kompetisi tak tertulis. Saat jam pulang sekolah tiba, mereka berlomba menawarkan tumpangan kepada Ening, masing-masing dengan motor terbaiknya. Anam dengan motor bebek klasiknya, Beni dengan motor trail gagahnya, dan Arif dengan skutik elegan berwarna hitam. Tapi Ening? Ia hanya tersenyum sopan, kadang menerima, kadang menolak dengan alasan ada urusan lain.

Suatu hari, saat hujan deras mengguyur halaman sekolah, Arif mengulurkan jas hujan kepada Ening. Beni buru-buru membawakan tasnya. Sementara Anam? Ia diam. Ia tidak berlomba hari itu. Hanya menatap dari jauh, membiarkan logika cintanya menepi. “Kalau cinta cuma dilombakan, siapa pun bisa menang. Tapi apakah yang menang benar-benar yang dicintai?” bisiknya dalam hati.

Seperti persamaan matematika yang punya banyak solusi, cinta juga bisa memberi lebih dari satu pilihan. Tapi tak semua yang tampak cocok akan menemukan titik temu.

Hari demi hari berlalu. Tanpa kepastian dari Ening, Anam memilih jalan sunyi. Ia menjelajah kota demi kota di seluruh Jawa, menjadi petualang, menulis catatan hidup di setiap persinggahan. Di Semarang, ia mengajar anak-anak jalanan. Di Yogyakarta, ia mengisi pelatihan menulis. Hatinya tak lagi berharap banyak, tapi kenangan tentang Ening tetap mengendap dalam sudut hati yang tak pernah terhapus.

Beni, yang pendiam namun tangguh, masuk sekolah militer. Ia ingin hatinya setangguh barak pelatihan, sekeras sepatu lars yang melangkah di tanah perjuangan. Kini ia menjadi tentara yang gagah, menjaga perbatasan Indonesia, membawa kisah masa SMA-nya dalam diam.

Arif, yang akhirnya mendapat tempat istimewa di hati Ening, melanjutkan kuliah di Surabaya dan kemudian diterima menjadi polisi. Setelah lulus, ia ditugaskan di Bali. Komitmen jarak jauh mereka diuji. Arif tetap mengabari Ening, meski tak bisa selalu hadir. Ia percaya, cinta sejati tak harus selalu dekat, asalkan terjaga.

Sementara itu, Ening menapak jalan hidupnya sendiri. Ia kuliah di Universitas Negeri Malang, menjadi mahasiswa teladan. Di kota apel itulah Ening tumbuh menjadi perempuan tangguh, mengejar impiannya menjadi guru Bahasa Indonesia. Ia lulus cumlaude dan langsung diterima di salah satu SMA favorit di Malang. Senyumnya tetap sama—hangat dan membahagiakan. Tapi kini, ia bukan lagi gadis yang menunggu siapa yang paling perhatian. Ia telah menjadi perempuan yang tahu siapa dirinya dan ke mana tujuannya.

Dan mungkin, di sanalah letak jawaban dari persamaan itu. Bahwa Ening bukanlah variabel yang harus dicari nilainya. Ia adalah konstanta. Tetap. Tak berubah. Sementara yang lain, datang dan pergi, masing-masing menemukan bentuk cinta yang berbeda.

---

Tahun-tahun berlalu…

Di sebuah reuni SMA di Bangil, mereka berempat kembali bertemu. Anam datang dengan motor butut dan buku catatannya yang penuh kisah. Beni hadir dalam seragam TNI yang rapi. Arif dengan baju dinasnya yang membanggakan. Dan Ening… tetap seperti dulu. Sederhana, manis, dan hangat.

Tak ada lagi rasa cemburu. Tak ada lagi rebutan tumpangan motor. Yang ada hanyalah tawa, cerita lama, dan kilas balik cinta masa SMA yang pernah mekar di antara mereka.

Malam itu, di halaman sekolah yang sunyi, di bawah langit yang menyimpan rahasia banyak kenangan, Ening menatap mereka dan berkata:

> “Terima kasih ya… karena kalian pernah menyayangi aku. Tapi yang paling aku syukuri, kita semua tumbuh jadi versi terbaik dari diri kita.”

Dan mereka pun tersenyum. Karena kini mereka tahu:

> Cinta itu bukan soal siapa yang menang. Tapi tentang siapa yang tetap bisa menghargai, meski tak memiliki.

Cinta, seperti persamaan kompleks dalam matematika, kadang tak perlu dipecahkan. Cukup dimengerti, dihargai, dan dibiarkan tetap menjadi misteri yang indah.

---

*Alumni SMAN Bangil 1986

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies