Abdurrahman Ahady |
Pendahuluan
Sudah menjadi tugas asasi bagi setiap keluarga untuk menjaga generasi bangsa, terlebih di era yang penuh tantangan ini. Menjaga generasi adalah tugas mulia, apalagi di Indonesia, bangsa majemuk yang penuh keberagaman dan keberagamaan, laju berbagai tantangan semakin sulit untuk dikendalikan. Paham-paham liar yang tak diinginkan, secara perlahan merongrong bangsa menuju keterpurukan dan mempertajam sentimen keagamaan.
Karenanya, diskursus seputar moderasi beragama semakin menarik untuk diulas. Pada masa sekarang, moderasi beragama memiliki peluang untuk ‘memerdekakan’ bangsa yang majemuk ini dari tantangan pemikiran dan tindakan amoral. Namun nahas, ternyata langkah ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masalah kian paradoks ketika paham-paham liar (baca: radikalisme) merasuki generasi masa depan bangsa. Anak-anak sebagai generasi masa depan bangsa berada dalam lingkaran bahaya, bahkan turut menyaksikan konflik yang terjadi di sekitarnya. Alih-alih ‘berdikari’ dengan konsep moderasi, bangsa yang mulai bangkit ini akan kembali jatuh tersungkur jika generasinya dibiarkan terpapar begitu saja.
Betapa banyak terdengar kasus-kasus radikalisme yang melibatkan anak-anak. Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa paham-paham liar nan ekstrim telah menjadi ‘penyakit akut’, apalagi dengan terlibatnya anak yang seharusnya dididik menjadi kader harapan masa depan. Padahal, jika berbicara tentang perilaku anak, sangatlah tergantung kepada keluarga dan lingkungan tempatnya tinggalnya. Anak bak bayangan yang akan mengikuti benda. Anak memiliki sikap taklid yang terkadang membabi buta, apa yang diperbuat orang tua atau lingkungan sekitarnya, disimpulkan sebagai kebaikan yang harus ditiru dan apa yang ditinggalkan adalah sebuah larangan.
Sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, sudah semestinya keluarga menjadi pondasi awal dalam menanamkan nilai-nilai agama, menangkal pengaruh buruk, dan mendidik anak menjadi generasi yang cendikia. Mirisnya, masih ada keluarga yang belum menyadari bahwa untuk mewujudkan keharmonisan berbangsa, moderat dalam beragama, dan memecahkan masalah yang terus menggerogoti bangsa, haruslah dimulai dari keluarga. Jika bangsa ini ingin lebih baik, masa generasinya juga harus baik. Mendidik anak sejak usia dini adalah cara terbaik. Membentuk kesadaran akan perbedaan lewat keterlibatan orang tua sangat penting untuk melahirkan generasi yang berkualitas.
Sebagai ajaran langit yang diturunkan untuk kemakmuran bumi, Islam tentunya tidak pernah luput memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang terjadi. Melalui petunjuk al-Qur’an, solusi jitu dalam ‘menjinakkan’ paham-paham liar yang mengganggu bangsa ini adalah melalui pembinaan dalam keluarga.
Oase al-Qur’an Tentang Keluarga
Al-Qur’an telah memberikan panduan yang komprehensif dalam segala lini, termasuk seputar keluarga. Keluarga sebagai dasar pendidikan dalam kehidupan manusia, memiliki fungsi strategis dalam pembentukan dan penentuan jati diri, perilaku, dan akhlak seorang anak. Menilik kisah-kisah terdahulu, hubungan yang baik dan bersih antara keduanya terlihat dari yang telah diterapkan oleh Nabi Ibrahim AS, Nabi Ya’qub AS, Nabi Nuh AS, dan Luqman al-Hakim dengan bentuk pengajaran seperti berikut:
Pertama, keluarga dengan pembinaan tegas. Luqman menerapkan pola asuh otoriter terhadap anaknya, hal ini tergambar jelas dalam QS. Luqman: 13. Dalam ayat ini, secara gamblang Luqman menerapkan pola asuh yang sangat tegas dalam mendidik anaknya. Terlihat dari penggunaan lam nahy yang mengandung larangan. Namun yang perlu diperhatikan adalah komunikasi ini bersifat argumentatif, yaitu Luqman tidak hanya sekadar melarang, namun memberikan penjelasan bahwa syirik adalah kezaliman yang nyata. Dalam QS. Luqman:17, Luqman kembali memberikan peringatan kepada anaknya dengan fi’il amr, berupa perintah tegas atau negasi, namun Luqman tetap menggunakan kalimat “ya bunayya”, bukan ibni, waladi, dan lain sebagainya. Jika ditilik lebih jauh, Luqman menerapkan pola asuh ini kepada anaknya dalam hal-hal qath’i, yaitu seputar akidah, menjalankan syariat Islam, dan akhlak. Tidak ada tawar menawar dalam ketiga hal tersebut, mutlak harus dijalankan oleh seorang hamba.
Kedua, pembinaan demokratis dalam keluarga. Secara eksplisit, Nabi Ibrahim AS. adalah tokoh yang menerapkan pola ini, tergambar pada peristiwa beliau bermimpi mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail AS yang terdapat dalam QS. Ash-Shaffat: 102. Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim AS menggunakan metode demokratis-dialogis. Walaupun ia memiliki otoritas terhadap anaknya, namun ia tetap membangun dialog bersama anaknya guna mendapatkan solusi terbaik. Metode yang diterapkan oleh Ibrahim AS ini menghasilkan pribadi yang kuat dan kreatif seperti Nabi Ismail As, tidak hanya itu, Nabi Ismail AS juga berhasil menjadi anak yang patuh dan sopan kepada orang tuanya, terlihat dari tutur kata saat merespon pendapat ayahnya. Sifat Nabi Ismail AS tersebut merupakan manifestasi dari perintah Allah yang mengisyaratkan bagaimana seharusnya komunikasi seorang anak kepada orang tuanya.
Ketiga, keluarga dengan pola asuh permisif dalam al-Qur’an. Pendidikan dan pola asuh yang sangat fenomenal pernah diterapkan oleh Nabi Ya’qub AS terhadap Nabi Yusuf AS. Tampak pada QS. Yusuf: 66-67. Ayat ini menceritakan bahwa Nabi Ya’qub AS pada dasarnya enggan mengizinkan Nabi Yusuf untuk pergi, namun tetap ia izinkan dengan syarat saudara-saudaranya dapat menjamin keamanan Nabi Yusuf dan membawa Nabi Yusuf kembali pulang dengan selamat. Dalam hal ini Nabi Ya'qub memberikan petuah kepada saudara-saudara Nabi Yusuf agar tetap pada jalan yang seharusnya. Seperti sikap Ya’qub AS -lah seharusnya yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, tidak membiarkan saja tanpa mengontrol atau tanpa membimbing, namun memberikan rambu-rambu agar anak tetap terjaga dari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan. Menurut Hamka, Yusuf diizinkan pergi oleh Ya’qub setelah mempertimbangkan keadaan si anak, yaitu keadaan psikologisnya.
Seorang anak, sangatlah mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Oleh itu, perlu adanya bimbingan dengan corak permisif seperti yang diterapkan oleh Nabi Ya’qub AS. Hal ini bertolak belakang dengan sikap orang tua ketika membiarkan saja anaknya, seperti memberikan uang saku yang banyak, melihat tontonan tanpa hambatan, bermain game online, dan bertemu orang-orang yang dapat memberikan pengaruh buruk.
Namun dalam hal ini ada pengecualian : metode permisif tidak boleh diterapkan dalam persoalan akidah. Penerapannya adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek sosial dan hal-hal yang cenderung disenangi oleh anak, tapi tidak melanggar hukum, etika, dan norma-norma yang berlaku.
Ecletic Approach dalam Keluarga Sebagai Solusi Terwujudnya Moderasi Beragama
Moderasi beragama sebagai upaya dalam mewujudkan keharmonisan berbangsa di tengah kondisi negara majemuk, perlu sekali untuk terus digaungkan. Sikap moderasi tersebut perlu disosialisasikan, didikan, dan ditumbuh-kembangkan dengan suri teladan dari dalam keluarga sebagai ‘landasan pacu’ perilaku seseorang di kemudian hari.
Seperti yang penulis uraikan pada sub sebelumnya, bahwa terdapat tiga corak keluarga yang diabadikan dalam al-Qur’an. Ketiga corak tersebut tidaklah dapat dipisahkan sebagai suatu kesatuan jika berkaca pada era sekarang ini. Maka, pembinaan yang harus diterapkan jika ingin memperoleh target keluarga yang dapat mendidikkan moderasi beragama adalah ecletic approach, yaitu gabungan dari ketiga corak tersebut. Ketiganya ini diterapkan berdasarkan konteks dan kebutuhan.
Terkait urusan akidah dan akhlak, tentu orang tua harus lebih tegas, jika tidak anak bisa terjerumus ke dalam lembah kesesatan. Oleh karenanya, al-Qur’an menggunakan kalimat nahy dan amr dalam hal ini. Jika dalam urusan akidah dan akhlak orang tua permisif di dalam keluarga, maka akan menghasilkan anak yang hidup sesuka hati, kemungkinan terburuknya adalah terjebak sebagai ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Lebih mengkhawatirkan lagi apabila seorang anak menjadi murtad atau menjadi ateis. Namun, sebagaimana yang dicontohkan oleh Luqman dan Ibrahim, orang tua harus mampu menyodorkan pandangan-pandangan yang positif kepada anaknya.
Sedangkan yang menyangkut urusan hak-hak asasi, perkembangan dan pertumbuhan, merangsang kepemimpinan anak, dan lain sebagainya cara yang tepat adalah corak demokratis. Karena dengan ini akan terbangun komunikasi dua arah yang secara simultan akan mendidik anak lebih terbuka dalam berpendapat. Demokratisasi di dalam keluarga perlu dilirik oleh orang tua, karena bisa menyesuaikan dengan konsep moderasi, yaitu harus ada keterbukaan, toleransi, dan memandang perbedaan dari berbagai sisi.
Menohok corak yang terakhir, permisif digunakan dalam hal menentukan hal-hal yang disukai dan bukan hal-hal prinsipal. Seorang anak bebas memilih sesuatu sesuai dengan minatnya. Disinilah peran orang tua di dalam keluarga harus ekstra maksimal. Karena, keinginan seorang anak bisa dituruti selama masih dalam koridor yang tepat. Potensi corak permisif ini dapat diaplikasikan dalam menangkal paham-paham liar dengan memberikan batasan-batasan kepada seorang anak, tidak membiarkan saja, dan menganalisa yang diinginkan oleh anak. Sebagai contoh, orang tua dapat menuruti keinginan seorang dalam memilih tempat bermain dan dengan siapa ia berinteraksi.
Agaknya, metode eclitic approach sesuai dengan perspektif al-Qur’an. Metode tersebut akan menghasilkan manusia-manusia yang kuat secara mentalitas, fisik serta memiliki kecerdasan, kreativitas yang memadai, dan bertanggungjawab. Selain itu, anak akan memiliki sifat-sifat terpuji yang mulia, berjiwa terbuka, menjunjung tinggi toleransi, mampu melihat berbagai aspek perbedaan dengan bijak, dan bisa menerima perbedaan tersebut. Lebih mengesankan lagi, karena anak dan orang tua memiliki komunikasi yang mumpuni. Apabila anak telah terbiasa diajarkan demokratis dalam keluarga, maka ia tidak akan mudah langsung menerima suatu pendapat apabila belum diketahui kebenarannya. (***)