Type Here to Get Search Results !

Belajar Keteladanan dari Buya Zainuddin Tuanku Bagindo Basa

VII Koto, Sigi24.com---Senang dan paling suka minta maaf pada siapapun sehabis berinteraksi dengannya, tampak sekali dari sikap Buya H. Zainuddin Tuanku Bagindo Basa.

"Maaf ambo a. Atau maaf Yo," kata dia sehabis bicara dengan lawan bicaranya lewat telpon dan bicara langsung misalnya.

Tentu sebuah sikap yang tak dibuat-buat. Mengalir begitu saja, dari kerendahan hatinya. Dan demikian itu, juga bagian dari amalan karena manusia tak pernah luput dari salah dan khilaf.

Saya sudah mengenal Buya ini sejak tahun 1990 an. Dia punya banyak nama dan gelar, serta sapaan oleh banyak orang. Nama lengkapnya Zainuddin.

Di kampungnya, terutama yang lebih tua dari dia memanggilnya, Enek. Mungkin saja karena badannya tak terlalu besar. Sehingga, zaman saya mondok dulu, dia disapa oleh yuniornya dengan sapaan "Tuo Enek".

Lama mengaji dan mondok di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan, dan sebelumnya di Tapakis, Buya ini termasuk ulama yang beruntung. Bertemu dan mengaji langsung dengan ulama hebat, Syekh H. Musa Tapakis dan Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah Lubuk Pandan.

Lama mengaji, lalu diangkat jadi tuanku 1994 pun dikelilingi oleh ulama besar dan punya pengaruh yang amat luar biasa. Dia diresmikan jadi tuanku di kampungnya, Kampung Paneh Padang Toboh.

Yang mengangkatnya jadi tuanku, adalah Syekh Ali Imran Hasan Ringan-Ringan, Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, dan ulama lainnya yang terkesan sangat sakral.

Bergelar Tuanku Bagindo Basa. Tentu atas kesepakatan antara guru dan niniak mamak dalam nagari. Dan dia pun sering dan banyak orang menyapanya dengan sebutan Tuanku Basa atau karena cepat menyebutnya langsung saja "Nku Basa".

Senang dan suka, tentunya sekalian sunnah Rasul, dia memelihara jenggot. Tak sedikit pula orang memanggilnya Nku Jangguik.

Sepertinya, sejak tamat sekolah umum, Buya Zainuddin ini tak pernah lepas dari persoalan belajar dan mengajar. Hobi membaca, dan suka sekali beli kitab dan buku.

Ruangan tamu rumah kediamannya di komplek Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua tak pernah rapi. Kitab dan buku berserak, tanda sering diliat dan dibaca tentunya.

Hampir tiap pekan, selalu datang tukang pos, atau petugas JNE mengantar pesannya berupa kitab dan buku. Dari dulu hingga sekarang, sudah ribuan kitab yang dibacanya.

Ruangan tamu sudah bentuk ruangan pustaka saja. Begitu juga salah satu ruangan di pesantren juga berjejer oleh kitab dan buku.

Banyak kitab baru, hasil karya ulama kontemporer yang dipunyainya. Dia tak banyak cakap. Ketika ceramah, banyak hikmah dan pelajaran, serta cerita dan iktibar dari kisah-kisah zaman dulu. 

Buya kelahiran 1969 ini jarang melawak. Dan sepertinya, cerita yang mengandung banyak manfaat lebih patut disampaikan, ketimbang melawak.

Mengajar di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua, Buya Zainuddin tak pernah sepi dari tamu. Ada dan selalu saja tiba tamu dari berbagai kampung.

Tentu persoalan banyak hal pula tamu itu datang ke pondoknya yang sederhana itu. Ada yang sekedar curhat soal konflik dalam kampung, cerita soal pertanian, dan ada juga yang minta didoakan, lewat sebotol air putih untuk obat bagi tamu dan keluarganya, misalnya.

Dan banyak pula yang minta dirukyah lewah. Tamu ini datang lengkap dengan anak atau dunsanaknya yang sedang sakit. Lalu oleh Buya Zainuddin dirukyah.

Namun, ketika jam dia sedang mengajar, tamu harus sabar menunggu sampai selesai baru dilayaninya.

Sebab, mengajar adalah tugas pokok dalam pengabdiannya yang panjang di pesantren yang ikut didirikannya bersama Buya Ahmad Yusuf Tuanku Sidi itu.

Tak heran, tamu yang sudah tahu jamnya tak pernah datang pagi. Paling siang hingga malam.

Hanya tamu baru yang belum tahu jamnya mengajar, sering tiba pagi. Tapi beruntung, bila pagi itu libur mengaji, seperti hari Kamis, misalnya langsung saja ke tujuan maksud. 

Sepertinya, Buya Zainuddin, ayah dari tiga orang putra-putri ini mewarisi ulama besar dan hebat zaman dulu. Belajar tawaduk dan rendah hati dari Buya Musa Tapakis, Buya Tuanku Shaliah Lubuk Pandan, membuat dia selalu istiqamah.

Ditambah lagi, mengajar di Lubuk Pua, sebuah surau yang dulunya banyak melahirkan ulama hebat dan terkenal. Surau Pekuburan, nama asli Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua ini.

Terkenal dengan kehebatan seorang ulama besar, Tuanku Bagindo Lubuk Pua. Seorang ulama wars', selalu menjaga ibadah, dan terkenal keramatnya.

Sepertinya, kebesaran nama Lubuk Pua oleh Tuanku Bagindo dulunya, tak terputus. Terus bersambung dan bersambung hingga akhir yang panjang tentunya.

Tiap waktu suara azan bergema di surau itu, membuat pelaksanaan shalat berjemaah tak pernah putus di surau itu. (***)







Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.