Type Here to Get Search Results !

Rethinking Ilusi Transparansi

oleh ReO Fiksiwan

„Salah satu cara ampuh untuk membuat orang percaya pada kebohongan adalah dengan pengulangan yang sering, karena keakraban sulit dibedakan dari kebenaran.“ — Daniel Kahneman(1934-2024), Thinking, Fast and Slow(2011).

Ilusi transparansi(IT) sebagai sebuah istilah yang diperkenalkan melalui perspektif neuropolitika oleh dr. Tifa, kini menemukan relevansinya dalam pusaran kontroversi publik terkait tuduhan ijazah palsu Presiden Jokowi yang sempat menyeret GPK Polda Metro Jaya atas laporan Roy Suryo dan kawan-kawan. 

Artikel awal yang saya tulis di Facebook, “Ilusi Transparansi”, telah memantik perhatian lebih dari 28.000 netizen, dibaca lebih dari 1200 orang, dan ditanggapi lebih dari 330 komentar — pro-kontra — yang sebagian besar datang dari luar lingkaran followers saya. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa isu yang menyentuh ranah hukum dan politik sering kali melampaui batas komunitas, menjadi konsumsi publik yang sarat dengan bias kognitif.

Ilusi transparansi dalam konteks ini bukan sekadar istilah psikologi kognitif, melainkan sebuah fenomena psiko-patologi sosial. 

Publik merasa mampu membaca pikiran, motif, dan kebenaran dari pihak-pihak yang terlibat, padahal yang terjadi hanyalah proyeksi bias dan persepsi yang tidak didukung bukti empiris. 

Kant menyebutnya sebagai Weltanschauung, sebuah pandangan dunia yang dibentuk bukan oleh fakta, melainkan oleh konstruksi mental kolektif. 

Kasus ijazah palsu yang tidak menghasilkan konklusi faktual dari aparat hukum justru memperkuat ilusi ini: publik merasa transparan terhadap kebenaran, padahal yang ada hanyalah kabut persepsi.

Peraih Nobel Ekonomi 2002, psikolog kelahiran Israel, Daniel Kahneman, dalam Thinking, Fast and Slow dan Noise: A Flaw in Human Judgment(2021), menekankan bagaimana pikiran manusia rentan terhadap bias sistematis dan kebisingan dalam penilaian. 

Publik yang terjebak dalam kontroversi ijazah palsu menunjukkan kecenderungan berpikir cepat (System 1) yang intuitif, emosional, dan penuh prasangka, alih-alih berpikir lambat (System 2) yang analitis dan berbasis bukti. 

Lain lagi, Factfulness: Ten Reasons We're Wrong About the World – and Why Things Are Better Than You Think(2018) dari Hans Rosling bersama Ola Rosling dan Anna Rosling Rönnlund. 

Mereka mengingatkan bahwa dunia sering kali tampak lebih buruk atau lebih penuh krisis daripada kenyataan, karena manusia cenderung mengabaikan data faktual dan lebih mempercayai narasi dramatis. 

Ilusi transparansi adalah manifestasi dari kecenderungan ini: keyakinan bahwa kita memahami kebenaran, padahal kita hanya terjebak dalam bias persepsi.

Rethinking ilusi transparansi berarti mengajak publik untuk menyadari keterbatasan kognitif dalam membaca realitas politik dan hukum. 

Kontroversi yang tidak menghasilkan bukti faktual seharusnya menjadi pelajaran bahwa persepsi bukanlah kebenaran, dan opini publik yang kontradiktif tidak otomatis mencerminkan realitas empiris. 

Justru di sinilah letak psiko-patologi politik: publik yang kemaruk kasus hukum dan politik, namun gagal membedakan antara fakta dan bias. 

Ilusi transparansi memperlihatkan bagaimana demokrasi bisa terjebak dalam kebisingan persepsi, dan bagaimana publik perlu belajar kembali untuk menimbang bukti, bukan sekadar opini.

Dengan demikian, rethinking ilusi transparansi bukanlah sekadar refleksi akademis, melainkan sebuah ajakan untuk membangun kesadaran kolektif. 

Bahwa dalam dunia yang penuh kontroversi, transparansi sejati bukanlah ilusi yang lahir dari bias kognitif, melainkan hasil dari komitmen terhadap bukti, data, dan analisis yang jernih. 

Tanpa itu, publik akan terus hidup dalam bayang-bayang ilusi, merasa tahu segalanya, padahal sesungguhnya hanya menatap cermin bias mereka sendiri.

Selain itu, IT tidak hanya relevan dalam kasus tuduhan ijazah palsu, tetapi juga dapat dijadikan lensa untuk memahami fenomena sosial-politik lain di Indonesia. 

Dua contoh yang menonjol, akhir-akhir ini, adalah penanganan bencana di Sumatra dan pecahnya kepengurusan PBNU dalam dualisme versi Keramat vs Sultan.

Dalam penanganan bencana, publik sering kali merasa mampu membaca motif dan kapasitas pemerintah atau lembaga terkait hanya dari komunikasi yang disampaikan. 

Ketika terjadi banjir besar atau gempa di Sumatra, misalnya, masyarakat menilai transparansi informasi pemerintah sebagai cerminan langsung dari efektivitas penanganan. 

Padahal, seperti yang ditunjukkan Kahneman dalam Noise, persepsi publik sering kali dipengaruhi oleh bias emosional, framing media, dan ketidaklengkapan data. 

Ilusi transparansi membuat publik percaya bahwa mereka memahami sepenuhnya apa yang terjadi, padahal yang mereka tangkap hanyalah potongan narasi yang tidak selalu mencerminkan realitas lapangan. 

Implikasi praktisnya, penanganan bencana menjadi rentan terhadap politisasi dan delegitimasi, karena publik lebih cepat menilai daripada menunggu bukti empiris.

Fenomena serupa tampak dalam pecahnya kepengurusan PBNU antara versi Keramat dan Sultan. 

Mengacu Carol Kersten(61), Profesor Studi Islam di Universitas Katolik Leuven (KU Leuven), Belgia, sekaligus Emeritus Reader di King’s College London dalam Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi(2018), telah menunjukkan bagaimana ormas Islam besar seperti NU sering kali menjadi arena perebutan legitimasi wacana, bukan sekadar organisasi keagamaan. 

Ilusi transparansi di sini muncul ketika publik merasa mampu menilai siapa yang lebih sah atau lebih otentik hanya dari simbol, retorika, atau klaim moral yang ditampilkan. 

Padahal, realitas kepemimpinan ormas besar Islam tertua ini jauh lebih kompleks, melibatkan jaringan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak kasat mata. 

Implikasi praktisnya, dualisme kepemimpinan dapat memperkuat polarisasi umat, karena publik terjebak dalam bias kognitif yang menganggap kebenaran sudah jelas terlihat, padahal yang ada hanyalah konstruksi wacana yang diperebutkan.

Dengan demikian, rethinking ilusi transparansi mengajarkan bahwa baik dalam penanganan bencana maupun konflik kepemimpinan ormas, publik perlu menyadari keterbatasan persepsi mereka. 

Tanpa kesadaran ini, masyarakat akan terus terjebak dalam bias kognitif yang kontraproduktif, memperkuat polarisasi, dan melemahkan kapasitas kolektif untuk menghadapi krisis. 

Transparansi sejati bukanlah ilusi yang lahir dari persepsi, melainkan hasil dari komitmen pada bukti, data, dan komunikasi yang jernih.

#coverlagu: Album Iwan Fals(64) „Manusia Setengah Dewa” pertama kali dirilis pada 2004 oleh Musica Studios, lalu mengalami beberapa edisi ulang termasuk remaster 2024. 

Makna lagu ini adalah kritik sosial-politik, menyerukan agar pemimpin mendengar suara rakyat, menurunkan harga, memberi pekerjaan, dan tidak mempermainkan masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.