![]() |
Oleh: Duski Samad
Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman
Tulisan ini dibuat membaca sambutan Bupati Padang Pariaman John Kenedy Azis (JKA) saat melantik dua puluh pejabat struktural hari ini 16 Desember 2025 di IKK Parit Malintang yang menegaskan pejabat mesti humanis dan totalitas.
Pencermatan dan bacaan penulis ajakan Bupati pejabat baru menjadi pejabat humanis dan totalitas adalah kontekstual dan sudah diteladankan sang Bupati dalam satu tahun kepemimpinannya. Lebih lagi saat musibah banjir begitu luas mengenai daerah ini.
Kehadiran pejabat di lokasi musibah lebih lagi Bupati menemui masyarakat dan memberikan solusi benar-benar menyejukkan dan menimbulkan optimisme yang tinggi. Alhamdulillah pemimpin kita di Sumatera Barat tahu dan melakukannya dengan optimal dan maksimal.
Banjir bandang yang melanda Kabupaten Padang Pariaman pada 28 November 2025 menjadi salah satu bencana paling serius dalam satu dekade terakhir. Curah hujan ekstrem, kerusakan daerah tangkapan air di hulu, serta pemukiman yang kian mendekati sempadan sungai, menyebabkan air bah turun dengan kecepatan tinggi, membawa lumpur, kayu, dan material berat yang menghantam permukiman warga.
Data lapangan yang dihimpun dari pemerintah daerah, relawan, dan tokoh nagari menunjukkan bahwa puluhan nagari terdampak, ribuan warga harus mengungsi, ratusan rumah mengalami rusak berat–ringan, fasilitas ibadah dan pendidikan terendam, serta akses jalan dan jembatan terputus di beberapa titik strategis. Aktivitas ekonomi lumpuh, dan trauma psikososial masih membekas hingga hari ini.
Dalam konteks inilah, pernyataan Bupati Padang Pariaman John Kenedy Azis tentang perlunya pejabat humanis dan totalitas menemukan maknanya yang paling konkret.
Bencana: Ujian Nyata Kepemimpinan Publik
Bencana tidak menunggu kesiapan birokrasi. Ia datang tiba-tiba dan menuntut kecepatan, empati, dan keberanian mengambil keputusan. Pada hari-hari awal pasca banjir bandang 28 November 2025, masyarakat Padang Pariaman menyaksikan langsung bagaimana kepemimpinan diuji di lapangan.
Bupati tidak berhenti pada laporan meja atau koordinasi jarak jauh. Ia turun langsung ke lokasi terdampak, berdialog dengan warga di pengungsian, mendengar keluhan ibu-ibu, lansia, dan anak-anak, serta memastikan distribusi logistik berjalan adil. Kehadiran fisik ini bukan simbolik, melainkan bagian dari pendekatan humanis yang menenangkan psikologi korban.
Dalam perspektif psikologi bencana, kehadiran pemimpin di titik krisis disebut sebagai protective factor—faktor pelindung yang menurunkan kecemasan kolektif dan meningkatkan kepercayaan sosial.
Humanisme yang Terwujud dalam Kebijakan
Pendekatan humanis tidak berhenti pada empati verbal. Ia terwujud dalam kebijakan cepat dan fleksibel:
Penyederhanaan prosedur bantuan darurat,
Optimalisasi peran camat dan wali nagari sebagai first responder,
Pelibatan tokoh adat, ulama, dan relawan lokal untuk menjangkau warga secara kultural dan spiritual.
Inilah implementasi nyata firman Allah SWT: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.”(QS. al-Mā’idah: 2)
Bencana tidak bisa dihadapi dengan pendekatan sektoral dan ego institusional. Ia menuntut kolaborasi dan kerendahan hati kepemimpinan.
Totalitas:
Bekerja Tanpa Jam Dinas
Banjir bandang Padang Pariaman juga menegaskan bahwa totalitas bukan slogan. Dalam kondisi krisis, jam kerja birokrasi kehilangan relevansinya. Totalitas berarti hadir siang dan malam, mengawal koordinasi lintas OPD, memastikan alat berat bergerak, membuka akses jalan, dan mengawal distribusi bantuan agar tidak menumpuk di satu titik.
Islam menempatkan sikap ini sebagai tanggung jawab moral kepemimpinan: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam teori kepemimpinan modern, sikap ini identik dengan crisis leadership dan servant leadership—pemimpin yang bekerja paling keras justru saat rakyat paling lemah.
Dimensi Etika, Adat, dan Kepercayaan Publik
Dalam adat Minangkabau, pemimpin adalah “urang gadang di kampuang”—tempat rakyat mengadu dan berlindung. Banjir bandang 28 November 2025 mengingatkan bahwa kepercayaan publik tidak dibangun melalui pencitraan media, tetapi melalui kehadiran konsisten dan keberpihakan nyata.
Kecekatan Bupati dan jajaran dalam merespons bencana telah memperkuat modal sosial masyarakat: gotong royong hidup kembali, solidaritas lintas nagari menguat, dan rasa sabarek saciok bak ayam, sadanciang bak basi kembali terasa.
Penutup
Banjir bandang Padang Pariaman 28 November 2025 adalah luka kolektif, tetapi juga cermin kepemimpinan. Di saat alam murka, pejabat diuji bukan oleh jabatan, melainkan oleh kemanusiaannya.
Penegasan tentang pejabat humanis dan totalitas bukan sekadar pesan seremonial, melainkan kebutuhan zaman. Kepemimpinan seperti inilah yang mampu mengubah bencana menjadi pelajaran, trauma menjadi kekuatan, dan penderitaan menjadi jalan menuju pemulihan yang bermartabat.
Di tengah krisis, pemimpin sejati tidak bersembunyi di balik meja, tetapi berdiri di tengah rakyatnya. DS.16122025.

